Muharram bukan saja menjadi bulan yang menandai pembukaan tahun dalam kalender Islam. Di bulan ini ada satu amalan ibadah yang sangat mulia, yakni puasa pada tanggal 10 Muharram. Puasa ini sudah lazim dilakukan para sahabat dan ulama salafussalih. Hanya saja, ada juga yang masih meragukan ibadah sunnah ini.
Apakah puasa 9 dan 10 Muharram ada bid’ah? Adakah dalilnya? Mungkin itu yang kerap ditanyakan dan membuat keraguan umat Islam.
Ada banyak sekali hadist yang dapat dijadikan dalil atas kesunnahan puasa 9 dan 10 Muharram. Misalnya, Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baiknya puasa setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Muharram. Dan sebaik-baiknya ibadah setelah ibadah wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim).
Hadist di atas belum secara eksplisit menjelaskan tanggal berapa dari Muharram yang disunnahkan oleh Nabi.
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: “ Ketika tiba di Madinah, Rasulullah mendapati orang-orang Yahudi mlakukan puasa Asyura. Kemudian beliau bertanya, hari yang kalian berpuasa ini hari apa? Orang-orang Yahudi menjawab: “Ini adalah hari yang mulia, ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya. Hari ini pula Fir’aun dan kaumnya di tenggelamkan. Musa berpuasa pada hari ini dalam rangka bersyukur. Maka Kamipun mengikuti beliau berpuasa pada hari ini.” Rasulullah kemudian bersabda: “ Kita seharusnya lebih berhak dan lebih utama mengikuti Musa dari pada kalian.” Lalu setelah itu Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa Asyura. (HR. Bukhari).
Hadist ini sudah cukup membuktikan kesunnahan dari puasa 10 Muharram. Tentang keutamannya. Nabi pernah ditanya tentang keutamaan puasa asyura ini. Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim ).
Tapi itu kan hanya hadist tentang 10 Muharram atau asyura, bagaimana dengan tanggal 9 Muharram?
Pada bulan Muharram umat Muslim dianjurkan untuk melakukan puasa sunnah baik puasa tanggal 9, Tasu’a, 10 ‘Asyuro, bahkan tanggal 11. Dari mana dalil ini didapatkan? Dalam sebuah hadist Nabi bersabda : “Puasalah kalian pada hari asyura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Kerjakan puasa dari satu hari sebelumnya sampai satu hari sesudahnya” (HR Ahmad).
Tentang hadist riwayat Ahmad ini, Ibnul Qayyim dan Ibnu Taimiyyah serta Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari, sepakat dengan cara tersebut. Dan termasuk yang memilih pendapat ini Asy-Syaukani dan Syaikh Muhamad Yusuf Al-Banury.
Bahkan dalam hadist lain Rasulullah bersabda, “Berpuasalah kalian pada tanggal sembilan dan sepuluh bulan Muharram dan janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi”. (HR. Baihaqi).
Jadi, sampai di sini cukup jelas, tidak ada yang meragukan kesunnahan puasa 9 dan 10 Muharram. Namun, ada yang mengatakan bukankah perintah puasa itu sebelum datangnya perintah puasa Ramadan?
Hadits Urwah, dari Aisyah bahwa saat zaman jahiliyah dahulu orang-orang Quraisy melaksanakan puasa Asyura. Lalu Rasulullah tetap memerintahkan umatnya untuk melaksanakan puasa tersebut. Sampai turun kewajiban puasa Ramadhan. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bagi yang ingin, silakan puasa, bagi yang tidak puasa juga tidak mengapa.”
Nah, hadist ini semakin memperjelas posisi puasa Muharram. Ia bukan kewajiban tetapi ibadah sunnah yang utama dilakukan dan tidak masalah jika ditinggalkan. Bagi yang ingin keutamaan puasa ini, tentu tidak menyia-nyiakannya.