Semua muslim mengaku cinta pada Nabi Muhammad, bagaimana jika kalangan sekuler-liberal mengklaim cinta kepada Nabi Muhammad? Tentu itu adalah cinta yang basa-basi
SEMUA orang Islam mengaku cinta kepada Baginda Nabi Muhammad ﷺ. Tetapi seperti apa bentuk rasa cintanya? Masing-masing bisa mengukurnya.
Secara fitrah, setiap Muslim, sebagaimana manusia pada umumnya, dihiasi oleh rasa suka atau cinta terhadap istri, anak-anak, harta dan perhiasan, kendaraan, hewan piaraan, kebun dan tanaman, dll (Lihat QS Ali Imran [3]: 14). Namun demikian, kecintaan seorang Muslim atas semua itu tidak boleh mengalahkan cintanya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Hal demikian dicela oleh Allah SWT sebagaimana firman-Nya:
قُلۡ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ وَإِخۡوَٰنُكُمۡ وَأَزۡوَٰجُكُمۡ وَعَشِيرَتُكُمۡ وَأَمۡوَٰلٌ ٱقۡتَرَفۡتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٞ تَخۡشَوۡنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرۡضَوۡنَهَآ أَحَبَّ إِلَيۡكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّىٰ يَأۡتِيَ ٱللَّهُ بِأَمۡرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَٰسِقِينَ
“Katakanlah, “Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian, keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perdagangan yang kalian khawatirkan kerugiannya serta rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai itu lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan (azab)-Nya.” Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang fasik.” (Lihat: QS at-Taubah [9]: 24).
Rasulullah ﷺ pun pernah bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidaklah sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dia cintai daripada anak-anaknya, ibu-bapaknya dan seluruh manusia.” (HR: Muslim).
Karena itu kecintaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya harus ditempatkan paling tinggi di atas kecintaan pada apapun. Allah SWT mengukur cinta seorang hamba kepada Diri-Nya dengan sejauh mana hamba itu mencintai dan mengikuti (meneladani) Rasulullah ﷺ, sebagaimana firman-Nya:
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
“Katakanlah, “Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Dia akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (QS: Ali Imran [3]: 31).
Mengikuti Nabi ﷺ tidak lain dengan menjalankan Islam secara kaaffah (total); mengamalkan dan menerapkan seluruh syariah Allah SWT. Tidak hanya dalam level pribadi dan keluarga, tetapi juga di level masyarakat dan negara. Itulah wujud cinta sejati kita kepada Nabi ﷺ
Pasalnya, Rasulullah ﷺ pun tak hanya mengamalkan dan menerapkan syariah Islam dalam level pribadi dan keluarga, tetapi juga dalam level masyarakat dan negara. Bahkan sebagai kepala negara Islam yang pertama di Madinah, beliau memimpin hanya dengan Islam dan mengelola negara hanya dengan menerapkan syariah Islam. Bukan yang lain.
Alhasil, saat syariah-Nya hanya diterapkan di level pribadi dan keluarga (itu pun mungkin baru sebagiannya), belum diterapkan dalam level masyarakat apalagi negara sebagaimana saat ini, sebetulnya itu menunjukkan bahwa cinta umat ini kepada Nabi Muhammad ﷺ belum merupakan cinta sejati. Belum merupakan cinta sepenuh hati, tapi mungkin baru cinta setengah hati.
Lalu bagaimana jika ada kalangan Muslim–sebagaimana kalangan sekuler-liberal–yang mengklaim cinta kepada Nabi Muhammad ﷺ, namun membenci setengah mati syariah-Nya diterapkan di level masyarakat dan negara?
Tentu klaim cintanya kepada Nabi Muhammad ﷺ hanyalah cinta basa-basi. Tak layak untuk dipercayai. Apalagi diikuti. Wa maa tawfîiqii illa bilLaah.*/ Arief B. Iskandar, khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor