Keluhuran etika memang dimiliki oleh Islam. Bahkan etika dalam Islam bersifat modern dan relevan dengan semua zaman, dan Islam paham atas semua persoalan yang ada.
Namun Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif meyakini etika tersebut masih belum terinternalisasi dalam jiwa umat Islam. Buya bahkan mengibaratkan etika bagi umat Islam seperti cinta tak sampai, yang hanya sebatas ajaran saja. Hanya diagung-agungkan bahwa Islam memiliki etika yang luhur, namun belum terwujud dalam kehidupan.
“Kalau hidup kita masih jauh dari etika ya mohon dimaklumi karena etika itu ada, tapi tidak tercapai. Lain hal kalau etika itu menjadi bagian dari jiwa, setiap hari kita akan menjadi sumber etika,” katanya menegaskan dalam pengajian bulanan Muhammadiyah, Jumat (12/6).
Dari segi antropologi, Buya menjelaskan bahwa etika bagi umat Islam belum menjadi bagian kognitif dalam hidup. Etika juga belum tercampur dalam dimensi afektif. Dan etika belum pernah menjadi dimensi evaluatif, yaitu tergabungnya hal-hal abstrak yang diserap dalam kesadaran intelektual hati kita, lalu termanifestasi dalam hidup.
Kemudian dia menjelaskan etika yang bersentuhan dengan sastra, kebudayaan dan sejarah, serta yang menjadi tradisi kehidupan bukan merupakan etika dari langit, melainkan applied ethic. Semua yang sudah menjadi etika sehari-hari, yang menjadi tendensi privat, moralistik, dan psikologis, berjalan merupakan etika yang dapat diaplikasikan.
Etika mengajarkan cara menilai orang, dan mewanti-wanti dalam melihat orang lain bukan dari penampilan.
Sekecil apapun, jika mengenai keluhuran mari kita terapkan, yang terpenting dalam kehidupan seberapa besar orang menjunjung tinggi etika keluhuran,” ujarnya.