Al Jazairi dalam Aisarut Tafasir li Kalamil Kabir (1/357) menulis, tidak pantas ilmu dan pengetahuan tentang syari’at-syari’at Allah dijadikan medium propaganda dan perpecahan.
Setiap pengetahuan tentang ilmu pengetahuan agama, terutama dalam masalah-masalah furu’ yang memerlukan ijtihad, tidak sepatutnya dijadikan sebagai media propaganda dan perpecahan. Sebagaimana terjadinya pendapat dikalangan imam madhab fikih yang kerapkali berbeda pendapat tentang status hukum suatu persoalan.
Berkaitan dengan hal ini ibadah haji memberikan pelajaran penting kepada para jemaah, demikian pula seluruh umat Islam, yaitu ibadah haji sesungguhnya merupakan satu ibadah yang disepakati oleh seluruh umat Islam sebagai suatu perintah wajib bagi muslim yang telah memenuhi syarat namun praktek dari rangkaian ritual peribadatannya tidak sama.
Ketika jemaah haji berada di Madinah untuk melaksanakan sholat arba’in, misalnya, masing-masing jemaah dari berbagai negara bahkan dari asal negara yang sama berbeda cara mengekspresikan shalatnya. Perbedaan cara mengekspresikan shalat ini karena perbedaan madzhab yang dipedomani.
Di sini letak pelajaran ibadah haji bagi umat Islam, bahwa perbedaan cara atau teknis mengekspresikan ritual ibadah bisa berbeda karena perbedaan madzhab. Tetapi, tentu tidak mengurangi nilai ibadah haji itu sendiri. Sebab, esensi ibadah haji tetap terealisasi dengan makna yang sebenarnya walaupun berbeda cara dan teknis dalam prakteknya.
Tentu tidak hanya perbedaan cara mengekspresikan shalat saja, beberapa rangakaian pelaksanaan ibadah haji teknisnya juga bisa tidak sama antara satu kelompok muslim dari suatu negara dengan muslim dari negara lain. Namun, perbedaan seperti itu bukan untuk dipersoalkan melainkan menjadi kekayaan ajaran Islam yang memang tidak mempersoalkan perbedaan tersebut.
Di masa Nabi perbedaan cara mengekspresikan ibadah seperti itu juga seringkali terjadi. Termasuk perbedaan para sahabat ketika menafsirkan perkataan Baginda Nabi. Kisah paling masyhur adalah pada saat perang khandaq atau perang parit, Bani Quraidzah yang sebelumnya sepakat untuk berdamai dengan umat Islam berkhianat. Mereka bergabung dengan kafir Quraisy untuk memerangi Nabi dan umat Islam dalam perang khandaq.
Malaikat Jibril menemui Nabi memberitakan ihwal pengkhianat tersebut serta menyampaikan perintah untuk menyerbu dan memerangi Bani Quraidzah. Beliau kemudian memberangkatkan pasukan dan Sayyidina Ali sebagai panglimanya. Nabi berpesan kepada mereka: “Kalian jangan shalat ashar kecuali di Bani Quraidzah”.
Namun di tengah perjalanan ternyata waktu shalat ashar telah masuk. Sekelompok sahabat tetap memegang perkataan Nabi di atas, mereka tidak shalat ashar. Sebagian melaksanakan shalat ashar karena menurut mereka larangan Nabi tersebut supaya kaum muslimin mempercepat perjalanan dan tiba pada saat waktu ashar.
Singkat cerita, ketika telah kembali ke Madinah usai memerangi Bani Quraidzah, mereka menyampaikan perbedaan tersebut. Beliau tidak menegur salah satu dua kelompok tersebut, bahkan tidak ada Wahyu yang membenarkan salah satu di antara dua kelompok yaitu berbeda sudut pandang dalam memahami perkataan Nabi.
Dengan demikian, perbedaan seperti wajar dan tidak perlu memurtadkan atau menuduh sesat terhadap kelompok yang berbeda. Demikian pula pada saat pelaksanaan ibadah haji, perbedaan cara mengekspresikan ibadah tidak untuk dipersoalkan karena masing-masing memiliki hujjah.
Pelajaran lain dari pelaksanaan ibadah haji adalah sebagai pemberitahuan kepada manusia bahwa mereka memiliki perbedaan adat dan budaya. Umat Islam dari berbagai penjuru dunia memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan muslim dari negara lain. Namun satu hal bagi mereka, bahwa semua umat Islam yang melaksanakan ibadah haji adalah saudara seagama yang harus dihormati.
Di hadapan Allah semua manusia sama, tanpa terkecuali. Pakaian ihram menunjukkan persamaan dan tidak ada bedanya muslim dari kalangan manapun, dari suku dan etnis apa serta dari negara mana. Maka, bagi jamaah haji sesungguhnya yang penting bukan menilai perbedaan madhab fikih dalam pelaksanaan ritual ibadah haji, namun sejatinya adalah untuk saling mengenal satu dengan yang lain.
Begitulah, ibadah haji meninggalkan banyak pelajaran bagi umat Islam, terutama bagi jamaah haji. Hikmah dari ibadah haji tersebut sejatinya melekat dalam sanubari. Bagaimanapun, perbedaan adalah suatu kasih sayang dari Allah kita tidak bisa menghilangkannya. Seharusnya, aksi saling caci, saling tuding dan fitnah tidak terjadi kalau kita memahami perbedaan hukum fikih adalah biasa. Semoga momentum Idul Adha kali menjadi pelajaran berharga baki kita semua, terutama dalam hal merespon cara mengekspresikan teknis suatu ibadah