Sejak persoalan Covid-19 semakin parah dan ditetapkan sebagai Pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), beberapa negara di dunia bahkan sampai menerapkan isolasi sementara agar tidak ada orang yang masuk ke negaranya dan sebaliknya tidak ada dari warganya yang keluar negeri, seperti yang dilakukan di China, Italia, dan Arab Saudi. Di Arab Saudi, sejak 27 Februari lalu, secara resmi Pemerintahnya telah melakukan pembatasan kunjungan Warga Negara Asing (WNA) termasuk larangan kedatangan para jamaah yang ingin melaksanakan umrah sampai waktu yang ditentukan. Bahkan sejak 15 Maret lalu Arab Saudi juga menghentikan sementara penerbangan internasional dan meliburkan sekolah
Sejak pelarangan umrah tersebut, beredar di media sosial sejumlah foto yang menunjukkan situasi Masjidil Haram yang begitu sepi. Saat ini sebenarnya yang masih diperbolehkan adalah masyarakat di sekitar Masjidil Haram untuk shalat disana namun tidak diperbolehkan ada yang tidur di masjid. Menurut Kepala Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, Syaikh Abdurrahman As-Sudais, penutupan masuk Masjidil Haram hanya sejak setelah isya’ hingga satu jam sebelum shalat subuh.
Sebagian orang kemudian mengaitkan fenomena tersebut sebagai tanda kiamat. Persoalan Masjidil Haram tidak dikunjungi orang dituduh sebagai tanda kiamat pernah diulas mendiang K.H. Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya Teror di Tanah Suci (2016). Pandangan tersebut yang sejatinya tidak boleh disampaikan secara terburu-buru, disebut-disebut mendasarinya dengan hadis diantaranya yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la al-Maushuli dan al-Hakim an-Naisabburi, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda,
لا تقوم الساعة حتى لا يحج البيت
“tidak akan terjadi Hari Kiamat sampai Baitullah tidak dikunjungi lagi orang berhaji.
Hadis ini menurut Imam As-Suyuthi dan al-Munawi bernilai shahih. Namun, bagaimana maksudnya ?
Menurut Guru Besar Ilmu Hadis Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta ini, hadis ini perlu dikomparasikan dengan data sejarah. Pernahkah terjadi penutupan Masjidil Haram sehinga tidak dilaksanakan haji ?
Rupanya, dalam data sejarah, seperti dikutip dari kitab Syifa’ al-Gharam bi Akhbar Balad al-haram karya Ahmad bin Muhammad al-Fasi (w. 825 H), tidak disebutkan bahwa Baitullah pernah tidak dikunjungi orang sama sekali. Yang adalah kejadian tidak adanya wukuf. Penyebabnya yang parah misalnya, bentrok antara jamaah haji Mesir dan Irak. Namun yang paling parah dicatat dalam buku ini adalah peristiwa pemberontakan golongan Qaramithah di tahun 317 H. Waktu itu, mereka sampai mendongkel makam Nabi Ibrahim dan mengambil hajar Aswad dan di tangan mereka selama 22 tahun.
Sebagai perbandingan, Qahthah al-‘Abusy dalam artikelnya berjudul Ba’da Ighlaaq bi Sabab Kuruna, Kam Marratan Ughliqa al-Masjid al-Haram ‘abra at-Tarikh, meringkas empat kali dalam sejarah Masjidil Haram tidak dikunjungi orang.
Pertama, saat serangan Raja Abrahah ke Mekkah, satu tahun sebelum Nabi Saw. dilahirkan. Kisah ini sampai didokumentasikan dalam Al-Qur’an.
Kedua, serangan Hajjaj bin Musa at-Tsaqafi, panglima di era Bani Umayyah ketika terjadi konflik politik antara Bani Umayyah dengan Abdullah bin Zubair bin Awwam. Serangan Hajjaj menggunakan al-manjaniq (Meriam bola api) ke Masjidil Haram membuat masjid waktu itu rusak, terjadi pertumpahan darah, bahkan ibadah sempat berhenti di Masjidil Haram pada saat itu.
Ketiga, pemberontakan Qaramithah di tahun 317 H.
Dan keempat, terjadi di abad ke-20 ketika ada dua orang mantan tentara Arab Saudi bernama Juhaiman al-‘Utaibi dan Muhammad al-Qahthani yang melakukan gerakan terorisme dengan menawan ratusan orang di Masjidil Haram selama dua minggu sebelum bisa ditaklukkan pasukan keamanan. Peristiwa itu terjadi di tahun 1979.