Dari Mana Datangnya Rezeki

Salah jika ada orang yang memahami rezeki itu harus berupa harta.

DIASUH OLEH USTAZ DR AMIR FAISHOL FATH; Pakar Tafsir Alquran, Dai Nasional, CEO Fath Institute

Surah adz-Dzariyat dibuka dengan sumpah yang di dalamnya menegaskan bahwa hanya Allah SWT yang memberikan rezeki dan mencegahnya. Para ulama tafsir ketika menerangkan tentang sumpah-sumpah Allah SWT dalam Alquran itu untuk menunjukkan keagungan-Nya.

Maka ketika Allah SWT bersumpah angin dan awan itu membuktikan bahwa sesuatu tersebut sangat agung bagi-Nya. Perhatikan Allah SWT membuka sumpah-Nya dengan angin yang membuyarkan awan sehingga tidak terjadi hujan (Wadzdzaariyaati dzarwaa).

Lalu dilanjutkan dengan sumpah berikutnya, yaitu awan yang menggumpal yang datang darinya hujan (Falhaamilaati wiqraa) (QS adz-Dzariyat: 1-2).

Maka ketika Allah SWT bersumpah angin dan awan itu membuktikan bahwa sesuatu tersebut sangat agung bagi-Nya.

Kedua sumpah ini menggambarkan bahwa yang menggagalkan hujan dan menurunkannya adalah Allah SWT. Apapun penyebabnya, entah dengan dikirimkannya angin sehingga awan menjadi buyar sehingga tidak jadi turun hujan, atau dengan digumpalkannya awan sehingga terjadi turunnya hujan.

Itu semua tidak terlepas dari ketentuan-Nya. Artinya bahwa rezeki yang dirasakan setiap manusia tidak lain hanyalah karunia-Nya.

Jadi surah adz-Dzariyat sejatinya adalah surah tentang rezeki. Allah SWT menegaskan pada ayat 22 bahwa di langit itulah rezeki manusia ditentukan (Wafis samaai rizqukum).

Ini bukti bahwa yang menjamin rezeki adalah langit, bukan usaha manusia. Memang usaha wajib dilakukan, tetapi harus dipahami bahwa usaha tidak bisa memberikan kepastian.

Karena itu tidak perlu manusia ngoyo dalam mencari rezeki sehingga tidak sempat melaksankan kewajibannya kepada Allah SWT, misalnya tidak sempat shalat pada waktunya.

Sebab, bagaimanapun tidak ada rezeki tertukar. Rezeki akan datang tepat sasaran sekalipun dihalangi oleh berbagai tangan jahil manusia. Maka janganlah manusia merasa hebat dengan jabatan dan kepintarananya karena kehebatan tersebut tidak lain hanyalah karunia-Nya.

Sebab, bagaimanapun tidak ada rezeki tertukar. Rezeki akan datang tepat sasaran sekalipun dihalangi oleh berbagai tangan jahil manusia.

Bahkan langit yang membentang di angkasa raya dengan sangat luasnya tanpa tiang itu dari Allah SWT, bumi pun tempat manusia berpijak juga dari-Nya. Termasuk penciptaan manusia berpasang-pasangan sehingga terjadi keberlanjutan hidup juga dari-Nya.

Sungguh tidak ada yang pantas manusia sombongkan kecuali hanya mengakui kebesaran-Nya. Inilah makna takbir yang selalu diulang-ulang dalam setiap gerakan shalat supaya setiap hamba Allah menyadari kebesaran-Nya.

Berdasarkan ini maka Allah SWT memanggil manusia agar segera kembali kepada-Nya (Fafirruu ilallahi) (QS adz-Dzariyat: 50). Kata “fafirru” (berlarilah) menunjukkan makna segera tanpa berlambat-lambat.

Panggilan ini sangat indah menggambarkan betapa kehambaan itu harus dibuktikan dengan cara bersegera dan berlomba menuju Allah SWT. Sebab, hanya dengan mendekat kepada-Nya manusia akan menjadi bahagia.

Silakan manusia menggunakan segala fasilitas yang dimilikinya untuk mencari kebahagiaan, tetapi tanpa Allah SWT pasti akan jatuh dalam kesengsaraan.

Dari sini kita mengerti mengapa pada ayat 56, Allah SWT memastikan bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya (Wa ma khalaqtul jinna wal insa illaa liya’buduuni). Hanya dengan jalan ibadah kepada Allah SWT, manusia akan menjadi benar-benar manusia.

Sebaliknya, ketika manusia menjauh dari Allah SWT dan tidak membuktikan kehambaannya kepada-Nya, dipastikan ia akan sengsara di dunia dan di akhirat.

Surah adz-Dzariyat: 28-30 menggambarkan tentang kisah Nabi Ibrahim dan istrinya yang mendapatkan kabar gembira dengan datangnya seorang anak. Padahal, istri Nabi Ibrahim sudah mandul (Wa qaalat ‘ajuuzun ‘aqiim).

Cerita ini diselipkan dalam surah ini yang membicarakan tentang rezeki untuk menunjukkan bahwa definisi rezeki bagi Allah SWT bukan hanya harta, tetapi mencakup apa saja yang dirasakan manfaatnya (Ar rizqu huwa maa tantafiu bihii). Jadi rezeki bisa berupa kesehatan, ketenangan, kebahagiaan, dan sebagainya. Termasuk diberinya seorang anak juga adalah rezeki.

Maka salah jika ada orang yang memahami rezeki itu harus berupa harta, sehingga merasa tidak puas jika tertakdirkan sebagai orang miskin. Padahal boleh jadi Anda dari segi harta tidak kaya, tetapi secara medis Anda sehat.

Bayangkan seorang yang dari segi harta kaya, tetapi setiap hari ia keluar masuk rumah sakit karena harus melakukan pengobatan atas penyakit kronisnya sehingga hartanya habis untuk pembiayaan medis.

REPUBLIKA