Problem Kristenisasi, dari Masa Buya Hamka hingga Koh Steven

Buya HAMKA dan Koh Steven berbeda generasi, namun masing-masing berusaha memberikan andilnya dalam menghadapi kristenisasi dan pembinaan mualaf

TIDAK  banyak yang penulis ketahui tentang Koh Seteven. Dulu, sempat dengar perannya, pada masa pandemi, menjual rumah dan Moge-nya (yang kabarnya laku 14 M) untuk didermakan untuk kepentingan masyarakat luas, penyintas pandemi.

Setelah kewafatannya pada hari Jum’at (14/10/2022), dunia maya tiba-tiba banyak berisi berita dan quote-quote menarik seputar sosok yang menyebut dirinya sebagai Pemulung Amal ini.

Dengan lembaga MCI (Muallaf Center Indonesia), beliau sudah mengislamkan lebih dari 60 ribu orang. Kabarnya, pernah juga mengislamkan pekerja asing di Mekkah yang jumlahnya ratusan, sehingga membuat Syekh Sudais ingin bertemu langsung dengannya. Dakwahnya, tidak berhenti pada tataran tabligh via lisan berupa ceramah dan nasihat, tapi yang menjadi titik prioritas adalah amal perbuatan.

Seorang dai yang membuktikan bisa berbisnis tanpa riba dimulai dari titik nol. Dulu bisnis kopinya diawali dari rumah kontrakan dan menyewa tanah untuk menanam kopi, sampai kemudian omsetnya bisa mencapai lebih dari 20 milyar. Ada juga bisnis ikan lele dan domba yang memiliki cabang cukup banyak. Menariknya, bisnis itu bukan untuk dinikmati sendiri.

Banyak infak dan sedekah yang telah dikeluarkan dari hasil bisnisnya. Kabarnya, sudah 900 lebih masjid yang dibangun. Belum lagi sekolah dan amal lain yang tidak bisa disebutkan semua di sini.

Dakwahnya dalam membina muallaf dan mebimbing orang untuk masuk Islam benar-benar luar biasa. Beliau bisa dikatakan praktisi, bukan sekadar pembicara problem, bahkan beliau adalah seorang problem solver.

Untuk tujuan luhur ini, bukan hanya harta, bahkan keselamatannya seringkali terancam. Beliau pernah cerita dalam salah satu obrolan di Youtube, pernah dipukuli orang hingga gigi geraham dan depannya patah, sehingga beliau tidak bisa makan makanan yang keras, dan harus menggunakan gigi palsu.

Ini sekilas yang penulis tahu tentang Koh Steven. Bagi yang ingin lebih banyak mengetahui beliau, silakan tonton di Youtube, ada banyak sekali video tentang Pemulung Amal ini.

***

Lantas apa hubungannya problem kristenisasi dari masa Buya Hamka hingga Koh Steven? Sudah jamak diketahui bahwa Hamka adalah ulama besar multitalenta yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Di antara perhatian yang beragam itu adalah perhatian beliau terhadap problem kristenisasi.

Beliau termasuk ulama yang memiliki kepedulian besar di bidang ini. Itu dibuktikan melalui karya tulis dan aksi nyata. Banyak sekali yang masuk Islam atas bimbingan beliau.

Termasuk orang keturunan China, yang di antara mereka ada disebut sebagai anak ke-11 dari Buya Hamka (untuk masalah ini bisa dirujuk dalam buku Rusydi Hamka, “Buya Hamka Pribadi & Martabat”), seperti Jusuf Hamka (Babah Alun/Joseph Alun).

Terkait hal ini, Buya Hamka pernah menulis, “Penulis,” maksudnya Buya Hamka, “hampir tiap hari menerima kedatangan pemuda Kristen masuk Islam. Ada dari Protestan, ada dari Katholik, ada laki-laki dan perempuan.”

Di antara karya tulis beliau di bidang ini misalnya “Umat Islam Menghadapi Tantangan Kristenisasi”. Ada juga yang bertebaran melalui berbagai majalah. Semuanya itu menunjukkan kesungguhan beliau dalam memperhatikan dan mencari solusi masalah ini. Ini sekilas tentang Buya Hamka.

***

Lalu sekali lagi, apa kaitannya problem kristenisasi yang dihadapi Buya Hamka dengan masa Koh Steven? Meski belum pernah ada perjumpaan fisik antara keduanya, cuma kita bisa menyambungkan problem Kristenisasi yang dihadapi oleh dua sosok pemerhati dan praktisi problem kristenisasi ini.

Misalnya, masalah peternakan babi yang sengaja dilakukan oleh orang Kristen di kampung-kampung baru yang mereka tinggal di dalamnya. Pada tahun 1979, dalam rubrik Dari Hati Ke Hati, Buya Hamka menulis artikel berjudul “Hak-hak Azasi Manusia dan Pendirian Gereja” (Panjimas, 263, XX [1979]).

Di dalam artikel itu Hamka mengungkap fakta bahwa setelah Kesultanan Serdang (Sumatra Utara) di bawah kuasa Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah sudah tidak ada, orang-orang Kristen berlomba-lomba menduduki tanah kosong di daerah itu. Didirikanlah rumah dan geraja.

Penduduk asli tidak bisa berbuat apa-apa. Jika bereaksi, mereka takut dituduh “Kontra Revolusioner” karena menghalangi berdirinya gereja. Apalagi kondisi masyarakat asli secara ekonomi miskin-miskin.

Mereka, para pendatang baru ini memelihara babi. Bahkan babi-babi itu dilepaskan sehingga berjalan liar ke kampung-kampung masyarakat muslim. Mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, takut disebut tidak toleran dan anti kerukunan hidup beragama.

Senada dengan cerita itu, kata Buya Hamka ada di sebelah Rao Rimba Panti (wilayah Minangkabau). Tanah-tanah kosong yang dikuasai Penghulu Ninik-Mamak dan kepunyaan Nagari, tiba-tiba ditempati begitu saja oleh pendatang Kristen.

Awalnya membuat rumah, kemudian sampai membangun gereja. Kemudian, ternak babi, yang mana berkeliaran di kampung muslim. Mereka mengangkat semboyan, atas nama hak asasi manusia. Penduduk yang tidak kuat, akhirnya pindah dari daerah itu.

Saat Buya Hamka berkunjung ke Lho’Seumawe, Aceh, beliau mendapat info dari masyarakat muslim setempat bahwa ternak babi juga dilakukan di daerah ini sebagaimana yang terjadi di Rao.

Tanah-tanah kosong diisi orang Kristen. Polanya sama, bikin rumah, gereja kemudian melepas ternak babi. Penduduk yang berani, akhirnya meracun babi itu hingga mati. Sehingga orang Kristen tidak melanjutkan melepas babi.

***

Rupanya, yang dihadapi oleh Koh Steven dalam dakwahnya di daerah-daerah pedalaman, di antaranya juga masalah peternakan babi. Itu berada di kampung-kampung muslim, bahkan yang ternak pun ada yang beragama Islam bahkan sudah bergelar haji. Kalau ditanya perihal ini, jawabnya, “Yang penting ‘kan tidak saya makan.”

Koh Steven tidak mungkin melarang tanpa ada solusi atau alternatif. Akhirnya, beliau membuat alternatif dengan memulai bisni domba. Yang mana, di samping sebagai alternatif, juga bisa memberikan masukan penghasilan untuk warga yang notabene mayoritas muslim. Kabarnya, bisnis domba ini juga sudah banyak cabangnya.

***

Kalau diperhatikan, problem Kristenisasi dari dulu pola dan ragamnya sama. Hanya saja, zaman Hamka skalanya mungkin tidak terlalu banyak, sehingga memberi peringatan dalam buku dan tulisan dirasa sebagai solusi cukup jitu sehingga menjadi peringatan di kalangan umat Islam.

Pada zaman Koh Steven, peternakan babi bukan hanyak masuk kampung muslim pedalaman, tapi juga para peternaknya pun ada yang muslim bahkan haji. Maka, yang dilakukan Koh Steven adalah solusi yang lebih konkret berupa membuat usaha alternatif berupa ternak domba yang hasilnya bisa membantu masyarakat sekitar yang sudah biasa beternak babi.

Dengan demikian, terjawablah ketersambungan problem antara zaman Hamka dan Koh Steven. Meski berbeda generasi, masing-masing berusaha memberikan andilnya dalam menghadapi kristenisasi dan pembinaan mualaf. Rahimahumallah Rahmatan Waasi’ah.*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH