Diistimewakan Allah Bersebab Niat Jujur Orangtua

Nabi Ismail, Nabi Ishaq dan Nabi diistimewakan Allah Ta’ala bersebab kuatnya tekad, jujurnya niat dan untuk mewakafkan anaknya di jalan Allah SWT

ADA yang Allah Ta’ala istimewakan karena doa orangtua yang tak kenal lelah, penuh harap, bersungguh-sungguh dan tak berputus asa dalam memohon. Selebihnya di luar doa, orangtua mengisi kehidupannya dengan perjuangan menegakkan dakwah meninggikan syiar agama ini.

Inilah yang kita dapati pada kisah Nabi Ismail, Ishaq maupun Yahya. Di luar itu, ada pula yang Allah Ta’ala istimewakan bersebab kuatnya tekad, jujurnya niat dan besarnya kesungguhan orangtua untuk mewakafkan anaknya di jalan Allah SWT.

Mereka pun tak putus-putus berdoa, tetapi yang paling istimewa adalah nadzarnya untuk menjadikan anaknya berkhidmat di Baitul Maqdis, menghabiskan umurnya untuk beribadah dan menolong agama ini.

Allah Ta’ala berfirman:

إِذۡ قَالَتِ ٱمۡرَأَتُ عِمۡرَٲنَ رَبِّ إِنِّى نَذَرۡتُ لَكَ مَا فِى بَطۡنِى مُحَرَّرً۬ا فَتَقَبَّلۡ مِنِّىٓ‌ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ

“(Ingatlah), ketika isteri ‘Imran (Hannah) berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menadzarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang shaleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nadzar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”  (QS: Ali Imran [3]: 35).

Istrinya Imran (ٱمۡرَأَتُ عِمۡرَٲنَ). Para ulama menyatakan bahwa ia adalah Hannah binti Faqudz. Muhammad bin Ishaq berkata, “Hannah binti Faqudz adalah seorang wanita yang tidak pernah hamil. Suatu hari ia melihat seekor burung memberi makan anak-anaknya, maka ia pun ingin mendapatkan anak. Lalu ia berdoa kepada Allah SWT agar memberinya seorang anak. Dan Allah SWT pun mengabulkan doanya. Setelah suaminya melakukan hubungan badan dengannya, maka ia pun hamil.”

Tatkala mengetahui dirinya benar-benar hamil itulah Hannah bernadzar kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan tekad yang sangat kuat. Ia sangat berharap anak laki-laki agar dapat sungguh-sungguh berkhidmat di Baitul Maqdis. Tetapi Allah Ta’ala rupanya menguji dengan memberikan anak perempuan.

فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّى وَضَعْتُهَآ أُنثَىٰ وَٱللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ ٱلذَّكَرُ كَٱلْأُنثَىٰ ۖ وَإِنِّى سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّىٓ أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ

“Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkan seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada setan yang terkutuk.”  (QS: Ali Imran [3]: 36).

Ada kekecewaan karena tak sesuai harapan, tetapi tidak menggugurkan nadzarnya. Ia tetap berkeinginan kuat agar anaknya dapat berkhidmat di Baitul Maqdis.

Allah SWT menyatakan, “وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡ. Dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu.”

Ia pun memohon perlindungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla bagi Maryam, putri yang baru dilahirkannya, beserta keturunannya. Allah Ta’ala terima nadzarnya sekaligus membaguskan pendidikannya.

Kelak Allah SWT berikan keturunan kepada Maryam seorang anak laki-laki yang mulia di masanya dan mulia pula ketika suatu saat nanti diturunkan kembali di muka bumi pada akhir zaman. Dialah Isa ‘alaihissalam.

Kelak ketika Maryam telah dewasa dan berkhidmat di Baitul Maqdis, Allah ‘Azza wa Jalla berikan keistimewaan berupa makanan dari surga; tersedia di mihrabnya. Ini mengherankan pamannya, Zakariya ‘alaihissalaam, seorang nabi yang mendapat amanah mengurusi Maryam.

فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُوۡلٍ حَسَنٍ وَّاَنۡۢبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا ۙ وَّكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا ‌ؕ كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيۡهَا زَكَرِيَّا الۡمِحۡرَابَۙ وَجَدَ عِنۡدَهَا رِزۡقًا ‌ۚ‌ قَالَ يٰمَرۡيَمُ اَنّٰى لَـكِ هٰذَا ؕ‌ قَالَتۡ هُوَ مِنۡ عِنۡدِ اللّٰهِ‌ؕ اِنَّ اللّٰهَ يَرۡزُقُ مَنۡ يَّشَآءُ بِغَيۡرِ حِسَابٍ

“Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nadzar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: “Hai Maryam darimana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (QS: Ali Imran [3]: 37).

Inilah kejadian berulang yang benar-benar menggugah Nabi Zakariya ‘alaihissalaam untuk berdoa memohon keturunan. Ia segera menadahkan tangan, meminta kepada Allah SWT sepenuh kesungguhan:

رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

“Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau keturunan yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do’a.” (QS: Ali Imran [3]: 38).

Sekali lagi kita belajar bahwa setiap permohonan, termasuk memohon keturunan, hendaklah tidak terlepas dari kebaikan. Dalam hal doa Nabi Zakariya ‘alaihissalam, beliau memohon ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً (keturunan yang bersih).

Jangan salah. Jika kita membaca ayat tersebut berurutan, seolah-olah doa Nabi Zakariya seketika dikabulkan dalam waktu sangat cepat. Adakalanya Allah SWT tidak seketika mengabulkan doa hamba-Nya justru karena hamba tersebut sangat dicintai-Nya.

Bukankah ini pula yang terjadi pada Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam saat berdoa memohon keturunan? Demikian pula pada Nabi Zakariya ‘alaihissalam hingga beliau berdo’a:

رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا

“Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. Sesungguhnya aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” (QS: Maryam [19]: 4 – 6).

Saat itu Nabi Zakariya ‘alaihissalam sudah sangat tua. Demikian pula istrinya. Sudah tak mungkin lagi mengandung dan melahirkan. Tidak akan ada kemungkinan itu, kecuali hanya jika Allah ‘Azza wa Jalla memberi kekhususan sebagaimana api yang tidak membakar NabiyuLlah Ibrahim.

Artinya, sesuai sunnatullah perempuan lanjut usia sudah tidak mungkin lagi mengandung. Tetapi Allah Mahakuasa untuk memperbaiki segala sesuatu.

“Ingatlah kisah Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya: “Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah waris yang paling baik. Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Aku perbaiki isterinya (sehingga dapat mengandung). Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (Al-Anbiya [21]: 89 – 90).

Dari sini jelas bahwa pada asalnya di usia yang sudah setua itu tak ada lagi peluang untuk mengandung. Namun ada perlakuan khusus dari Allah sebagai jawaban terhadap doa hamba-Nya yang shaleh. Allah SWT pun memberi kabar gembira:

يٰزَكَرِيَّاۤ اِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلٰمِ اۨسۡمُهٗ يَحۡيٰى ۙ لَمۡ نَجۡعَلْ لَّهٗ مِنۡ قَبۡلُ سَمِيًّا

“Wahai Zakariya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang bernama Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.” (QS: Maryam [19]: 7).

Alangkah istimewanya Yahya ‘alaihissalam. Belum pernah Allah ciptakan manusia yang serupa dengannya sebelum itu. Di antara keistimewaan sangat khusus yang diberikan kepadanya ialah hukma shabiyya (memiliki hikmah; kebijaksanaan saat masih kanak-kanak). Dan berbagai keistimewaan itu Allah karuniakan sebagai jawaban bagi doa tak putus-putus, terus-menerus hingga di saat yang serasa mustahil dari Nabi Zakariya ‘alaihissalam.

Nah, seperti apa doa kita untuk anak dan keturunan kita seluruhnya? sebagaimana orangtua kita?*

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim, Penulis buku-buku parenting

HIDAYATULLAH