Melafalkan Niat Puasa, Bid`ah? Inilah Pendapat Madzhab Empat

Melafalkan niat puasa di bulan Ramadhan jamak dilakukan oleh sebagian umat Islam di Indonesia. Namun sebagian yang lainnya menolak perbuatan itu dan menilainya sebagai perbuatan bid’ah yang harus ditinggalkan. Nah, bagaimana sebenarnya hukum melafalkan niat puasa di bulan Ramadhan menurut madzhab empat? Mari kita merujuk kepada kitab-kitab rujukan dalam masing-masing madzhab.

Madzhab Hanafi

Ibnu Nujaim menyatakan bahwasannya letak niat adalah hati, dan tidak cukup dengan melafalkannya melalui lisan. Namun ia mengutip,”Dan barang siapa tidak mampu menghadirkan hatinya untuk berniat dengan hatinya atau kesusahan dalam berniat maka cukup baginya mengucapkan dengan lisannya.” (Al Asybah wa An Nadza`i, 1/39).

Ath Thahthawi menyampaikan mengenai niat puasa,”Dan tidaklah mengatakannya dengan lisan sebagai syarat. Hanya saja melafalkannya merupakan sunnah, sebagaimana dalam Al Haddadi, yakni sunnah para masyayikh sebagaimana dalam Tuhfah Al Akhyar.” (Hasyiyah Ath Thahthawi `ala Maraqi Al Falah, hal. 242).

Madzhab Maliki

Syihabuddin An Nafarawi menyatakan, ”Dan mustahab baginya pula meninggalkan palafadzan dari ihram akan tetapi mencukupkan dengan niat. Sebagimana dimakruhkan baginya melafadzkan ‘nawaitu’ pada shalat maupun puasa. Kacuali terjangkit perasaan waswas atau melakukan hal itu dengan dimaksudkan untuk toleransi dalam khilaf.” (Fawaqih Ad Dawani, 1/353).

Madzhab Syafi’i

Imam An Nawawi berkata menganai niat puasa,”Dan tempatnya niat di dalam hati. Dan tidak disyaratkan mengucapkan dengan lisan tanpa khilaf. Dan tidak cukup dengan lisan tanpa khilaf akan tetapi mustahab pelafalan bersama dengan hati sebagaimana yang telah lampau dalam wudhu dan shalat.” (Al Majmu` Syarh Al Muhadzdzab, 6/296).

Madzhab Hanbali

Musa Al Hajjawi Al Maqdisi menyatakan, ”Dan melafalkan niat dan apa-apa yang diniatkannya di sini (yakni dalam mandi, wudhu dan tayamum) dan di seluruh perbiadatan bid’ah dan telah menyatakan bahwa ia mustahab secara sirr bersamaan dengan hati banyak dari kalangan muta`akhirin dan dinashkan oleh Imam Ahmad beserta sejumlah muhaqqiqin kebalikannya.” (Al Iqna`, 1/24)

Dalam madzhab Al Hanbali sendiri yang menyatakan bahwa melafalkan niat adalah bid’ah adalah Ibnu Taimiyah. Sedangkan mereka yang menyatakan mustahab menyatakan agar apa yang diucapkan menuntun hati. Termasuk yang menyatakan mustahab adalah Ibnu Ubaidan, Ibnu Tamim, Ibnu Razin. Az Zarkasyi menyatakan,”Ia lebih utama bagi kalangan muta’akhirin.” Al Mardawi dan Asy Syihab Al Futuhi menyatakan bahwa pendapat mustahab merupakan pendapat madzhab. (Lihat, Kasysyaf Al Qina`, 1/87).

Kesimpulan

Semua ulama dari madzhab empat sepakat bahwasannya melafalkan niat puasa bukan merupakan syarat sah. Adapun madzhab Hanafi dan Syafi`i serta pendapat madzhab dalam Hambali menyatakan mustahab dan sunnah. Sedangkan madzhab Maliki menyatakan makruh (tidak haram). Adapun sebagian ulama madzhab Hanbali seperti Ibnu Taimiyah menyatakan bahwasannya hal itu bi’dah.

Jika demikian, memanglah masalah melafalkan niat merupakan mesalah yang mana ada perselisihan para ulama mengenai hal itu sejak dulu. Dalam menyikapi perkara seperti ini maka berlaku kaidah yang disebutkan Imam As Suyuthi dalam Al Asybah wa An Nadzair (hal. 158):

((لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ))

Artinya: Tidak diinkari perkara yang diperselisihkan padanya, dan sesungguhnya yang diinkari perkara yang ada kesepakatan atasnya (yakni perkara yang disepakati untuk dilarang). Wallahu a`lam bish shawwab.*

HIDAYATULLAH