Zakat 2,5 Persen dari Modal atau Pendapatan?

Bisa disimpulkan bahwa zakat 2,5 persen dibebankan pada modal dan pendapatan.

DIASUH OLEH DR ONI SAHRONI, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamualaikum Wr Wb. Saya masing bingung terkait cara perhitungan zakat perdagangan. Apakah dikeluarkan dari modal atau pendapatan tahunan? Mohon penjelasan Ustaz! — Sulaiman, Bogor

Waalaikumussalam Wr Wb.

Pertama, di antara kekhasan zakat perdagangan yang membedakannya dari ragam zakat yang lainnya adalah 2,5 persen yang menjadi tarif zakat itu dibebankan kepada modal dan hasil (ra’sul mal wa nama’uhu) seperti halnya zakat hewan. Seperti yang ditegaskan dalam hadis Rasulullah Muhammad SAW dari Samurah bin Jundub, ia berkata: “Adapun sesudahnya, sesungguhnya Rasulullah Muhammad SAW memerintah kami untuk mengeluarkan zakat dari yang kami persiapkan untuk jual beli (berniaga).” (HR Abu Daud dan Imam Malik dalam al-Muwatho’).

Berdasarkan hadis ini, kewajiban zakat itu ditunaikan, salah satunya dari komoditas yang diperjualbelikan. Maksudnya, tidak hanya hasil, tetapi juga modal. Hal ini berbeda dengan zakat pertanian yang 5 sampai 10 persennya diambil dari hasil (omzet dari produksi).

Kedua, para ahli fikih, khususnya para ulama tabiin menjelaskan secara lebih tegas tentang sumber tarif zakat 2,5 persen dalam tarif perdagangan tersebut sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Ubaid dalam kitab al-Amwal sebagai berikut.

Maimun bin Mihran berkata: “Apabila telah sampai haul waktu zakatmu, lihatlah aset yang kau miliki seperti uang tunai atau barang dagangan, kemudian valuasi. Begitu pula dengan piutang yang bisa ditagih, kemudian hitunglah semuanya dan kurangi dengan utang yang menjadi kewajibanmu, kemudian tunaikan zakat dari sisanya.”

Imam Hasan Al-Bashri berkata: “Apabila telah datang waktu wajib zakat, wajib mengeluarkan zakatnya atas setiap dana tunai yang dimiliki dan barang dagangannya beserta piutangnya, kecuali piutang yang tidak mungkin ditagih.”

Ibrahim an-Nakha’i berkata: “Pelaku usaha itu memvaluasi objek dagangannya. Apabila dimaksudkan untuk perniagaan dan sudah jatuh tempo zakat, ia menunaikan zakatnya beserta harta yang dimilikinya.” (Dikutip al-Qardhawi, Fikih Zakat, Muasasah ar-Risalah, Beirut, Jilid 1).

Berdasarkan pandangan tersebut, rumusan menghitung zakat perdagangan adalah menggabung seluruh modal yang diputar (inventori) ditambah pendapatan, dana tunai atau simpanan, piutang lancar, kemudian diperinci daftar komoditasnya dan divaluasi. Setelah itu dikeluarkan 2,5 persen sebagai tarif zakat.

Ketiga, hal yang sama ditegaskan dalam peraturan menteri agama: Penghitungan dilakukan dengan cara sebagai berikut. (a) Menghitung aktiva lancar yang dimiliki badan usaha pada saat haul. (b) Menghitung kewajiban jangka pendek yang harus dibayar oleh badan usaha pada saat haul. (c) Menghitung selisih aktiva lancar dengan kewajiban jangka pendek.

Jika mencapai nisab, jatuh kewajiban menunaikan zakat perniagaan (Peraturan Menteri Agama No 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah serta Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif).

Keempat, hal yang sama juga dipraktikkan oleh beberapa lembaga zakat dengan model perhitungan sebagai berikut. (a) Aset lancar utang jangka pendek x 2,5 persen. (b) (Modal +keuntungan + piutang) (utang +kerugian) x 2,5 persen. (c) (Modal yang diputar + keuntungan + piutang yang dapat dicairkan)(utang kerugian) x 2,5 persen. (d) (Modal diputar +keuntungan + piutang) (utang +kerugian) x 2,5 persen.

Setahu penulis hingga saat ini belum ada standar akuntansi syariah yang mengatur rumus penghitungan zakat perdagangan. Karena itu, dengan beragamnya rumus perhitungan yang terjadi, diharapkan otoritas Dewan Standar Akuntansi Syariah menerbitkan standar yang berisi rumusan perhitungan zakat perdagangan.

Berdasarkan penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa zakat dibebankan pada modal dan pendapatan (ra’sul mal wa an-nama’) sebagaimana hadis dari Samurah bin Jundub dan penafsiran Maimun bin Mihran, Hasan al-Basri, dan an-Nakha’i. Karena beragam model perhitungan pada tataran praktik, kehadiran standar akuntansi yang mengatur model perhitungan menjadi kebutuhan yang mendesak.

Wallahu a’lam.

REPUBLIKA.id


Dr Oni Sahroni: Rahasia Haji Mabrur Ibarat Jihad dan Bayi Baru Lahir

Setiap orang yang pergi haji ingin meraih gelar haji mabrur. Mengapa haji mabrur begitu penting? Menurut Dr Oni Sahroni, ada dua hadits terkait dengan  kedudukan haji mabrur.

“Pertama, haji mabrur adalah perbuatan yang palingmulia disetarakan dengan jihad,” ujar doktor fiqih muamalat lulusan Al-Azhar University Kairo, Mesir itu kepada Republika, Selasa (1/9).

Oni menambahkan,  jihad (berjuang atau berperang di jalan Allah)  mengorbankan aset yang paling mahal yang dimiliki manusia, yakni nyawanya.

“Begitulah kira-kira kedudukan dan fungsi haji. Karena begitu beratnya ibadah haji, maka balasan yang Allah siapkan tidak kalah mulianya dengan jihad,” papar Oni yang juga direktur dan peneliti SIBER-C SEBI, Depok, Jawa Barat.

Dalam hadis kedua, kata Oni,  dijelaskan bahwa haji mabrur itu akan bisa diperoleh manakala seorang jamaah haji tidak melakukan rafats (mengeluarkan kata-kata kotor) dan fusuq  (melakukan kemaksiatan).

“Jamaah haji yang komitmen untuk tidak melakukan kata-kata kotor dan maksiat diibaratkan oleh rasulullah sebagai seorang bayi yang baru lahir, bersih tidak berdosa,” papar Oni yang juga anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI).

 

sumber: Republika Online