Apakah Korban PHK Wajib Membayar Zakat? 

Berikut ini penjelasan terkait apakah korban PHK wajib membayar zakat? Pasalnya, di saat Covid-19 ini banyak masyarakat Indonesia yang menjadi korban Pumutusan Hubungan Kerja (PHK). Berikut penjelasannya.  

 Selain shalat dan puasa, rukun-rukun Islam lain yang juga wajib untuk dilakukan oleh semua umat Islam adalah mengeluarkan zakat, atas semua harta benda yang dimilikinya, baik berupa barang, tanaman, perdagangan dan semacamnya.

Rukun Islam nomor tiga setelah shalat ini sudah sangat maklum perihal kewajibannya. Dan, para ulama sejak dahulu sudah memutuskan semua itu. Sebab, Al-Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas, telah memberikan keputusan akan kewajiban zakat. Dalam Al-Qur’an, Allah swt. berfirman:

وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama dengan orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 43).

Dengan berdasarkan ayat ini, terbentuklah sebuah kesepakatan (konsensus) ijma’ dari para ulama, bahwa wajib mengeluarkan zakat bagi semua umat Islam tanpa terkecuali. Dan, orang yang ingkar akan kewajibannya, sama artinya ia ingkar pada ketentuan Allah dan rasul-Nya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya, ia mengatakan:

وُجُوْبُ الزَّكَاةِ مَعْلُوْمٌ مِنْ دِيْنِ اللهِ ضُرُوْرَةً فَمَنْ جَحَدَ وُجُوْبَهَا فَقَدْ كَذَبَ اللهَ وَكَذَبَ رَسُوْلَهُ

Artinya, “Kewajiban zakat sudah diketahui dari agama Allah (Islam) secara pasti. Maka, siapa yang ingkar akan kewajibannya, maka sungguh telah mengingkari Allah dan rasul-Nya.” (Imam Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 2001], juz V, halaman 331).

Kendati demikian, Islam sebagai agama universal dan paripurna, yang memiliki visi dan misi tidak memberi beban pada pemeluknya, perihal beberapa kewajiban-kewajiban dan ketentuan yang tidak mereka mampu, tentu memberikan dispensasi (keringanan) terhadap semuanya, termasuk zakat.

Selain itu, pada bulan puasa Ramadhan, Allah tidak hanya mewajibkan puasa bagi semua umat Islam, ada kewajiban lain yang juga harus dipenuhi oleh mereka, yaitu untuk mengeluarkan zakat fitrah, sebagai penyempurna dari puasanya selama satu tahun.

Kewajiban yang satu ini tentu tidak memandang ras dan suku, siapa saja yang beragama Islam maka wajib untuk mengeluarkannya. Hanya saja, Islam memberikan sebuah keringanan bagi mereka yang tidak mampu untuk mengeluarkan zakat fitrah.

Orang-orang yang tidak memiliki harta, misalnya, baik harta dagangan, harta pertanian, mereka tidak memiliki kewajiban zakat. Misalnya, orang fakir, yaitu orang tidak memiliki pekerjaan tetap dan tidak memiliki pemasukan (uang) dalam setiap harinya, maka orang yang seperti ini tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat.

Orang yang tidak wajib mengeluarkan zakat lainnya, adalah orang miskin, yaitu orang yang masih memiliki pemasukan (usaha) untuk menghidupi keluarganya, hanya saja semua hasil pemasukan tersebut tidak bisa memenuhi kebutuhannya dalam setiap hari.

Nah, dua orang dalam contoh di atas tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat. Semua itu tidak lain disebabkan syariat Islam merupakan ajaran mudah yang tidak pernah memberatkan bagi pemeluknya perihal kewajiban yang tidak mereka mampu. Nah, apakah orang yang di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) juga gugur kewajiban zakatnya? Mari kita bahas.

PHK dan Kewajiban Zakat

Perlu diketahui, bahwa orang yang di PHK adalah orang yang sebelumnya pernah memiliki pekerjaan tetap, dan penghasilan yang cukup. Hanya saja, ia dipecat dan akhirnya tidak lagi memiliki penghasilan dalam kebutuhan kesehariannya.

Orang-orang yang di PHK dalam ajaran Islam, terbagi menjadi dua bagian, ada yang masih mampu untuk mengeluarkan zakat fitrah, karena memiliki tabungan yang banyak misalnya, maka orang yang seperti masih memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah, sekalipun statusnya adalah orang yang di PHK.

Kedua, yaitu orang di PHK yang semua hartanya tidak ada. Sebab, selama ia bekerja, semua penghasilannya sudah cukup digunakan untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya, sehingga ketika ia harus di PHK, maka sama halnya ia tidak memiliki harta sedikit pun.

Nah, orang yang seperti ini dalam kitab-kitab turats dikenal dengan istilah mu’sir (orang yang tidak mampu). Apakah wajib zakat? Simak penjelasan berikut.

Imam Ibnu Hajar al-Haitami (wafat 974 H), dalam salah satu kitabnya memposisikan orang mi’sir (tidak mampu), sebagai orang yang tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah. Akan tetapi, gugurnya kewajiban ini apabila tidak mampunya di saat yang bersamaan dengan kwajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah.

Misalnya, orang di PHK pada bulan Ramadhan, dan tidak memiliki uang yang cukup untuk mengeluarkan zakat fitrah, maka kewajibannya gugur. Namun, jika di PHK pada sebelum bulan Ramadhan, dan ketika sudah memasuki bulan Ramadhan telah menemukan pekerjaan baru, misalnya, maka orang yang seperti ini tetap memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah.

Berbeda, jika misalnya ada orang di PHK di bulan Ramadhan, kemudian selama bulan Ramadhan ia tidak menemukan pekerjaan baru, usaha baru, dan penghasilan baru, kemudian di bulan selanjutnya menemukan pekerjaan tersebut, maka ia tetap tidak memiliki kewajiban mengeluarkan zakat. Sebab, waktu kewajibannya telah berlalu. Perhatikan penjelasan berikut,

 (وَلَا) فِطْرَةَ عَلَى (مُعْسِرٍ) وَقْتَ الْوُجُوبِ إجْمَاعًا وَإِنْ أَيْسَرَ بَعْدُ

Artinya, “Tidak wajib zakat fitrah bagi orang yang tidak mampu (mengeluarkan) pada saat waktu wajibnya (mengeluarkan zakat) secara ijma’ (konsensus), sekalipun ia menjadi mampu setelah waktu wajib.” (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatu al-Muhtaj fi Syarhi al-Minhaj, [Mesir, Maktabah at-Tijariyah Kubra: 1983], juz XII, halaman 406).

Alhasil, orang yang tidak mampu mengeluarkan zakat fitrah, termasuk orang yang di PHK, tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah, dan tidak pula wajib untuk menggantinya (qadha).

Sebab, mengganti zakat fitrah hanya berlaku bagi orang yang mampu mengeluarkan zakat fitrah, hanya saja ia tidak membayarnya.

Demikian penjelasan terkait  apakah korban PHK Wajib membayar zakat? Wallahu a’lam bisshawab.

BINCANG SYARIAH

Zakat: Siapa Saja yang Berhak Menerima Zakat di Saat Ini?

Zakat memiliki makna khusus bagi umat Islam dan zakat hukumnya wajib bagi semua Muslim yang mampu secara finansial untuk memberikan minimal 2,5% dari akumulasi kekayaan mereka untuk kepentingan orang miskin. Zakat juga berarti penyucian atau bertumbuh.

Menurut sebuah laporan oleh Global Humanitarian Assistance: Indonesia, Malaysia, Qatar, Arab Saudi dan Yaman, yang merupakan sekitar 17% dari perkiraan populasi Muslim dunia, menunjukkan bahwa di negara-negara ini saja setidaknya Rp. 82,4 triliun saat ini dikumpulkan dalam Zakat setiap tahun.

Diperkirakan volume global Zakat yang dikumpulkan setiap tahun melalui jalur formal, setidaknya mencapai puluhan triliun rupiah. Jika kita juga mempertimbangkan Zakat yang dibayarkan melalui jalur informal, jumlah sebenarnya lebih dari nominal tersebut.

Mari kita lihat ayat Al-Qur’an yang mengatur tentang zakat:

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana [QS. At-Taubah (9): 60].

Dalil dan ketentuan pembagian zakat sudah ditetapkan oleh Allah SWT dalam ayat di atas. Karenanya, tulisan ini akan menjabarkan lebih detail siapa saja yang berhak menerima zakat khusus di zaman ini dan bagaimana mendistribusikannya.

Orang miskin

Definisi orang miskin akan berbeda dari satu tempat ke tempat lain dan juga dalam ukuran keluarga. Sekitar 767 juta orang di dunia hidup dengan penghasilan kurang dari rata-rata Rp. 30.000 per hari.

Orang yang membutuhkan

Definisi yang membutuhkan di sini merupakan orang yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya terpenuhi dengan baik.

Kebutuhan dasar meliputi makanan, pakaian dan tempat tinggal serta obat-obatan jika diperlukan. Ini juga dapat mencakup transportasi jika orang yang membutuhkan membutuhkannya untuk pergi bekerja.

Mereka mungkin berpenghasilan di atas garis kemiskinan tetapi mungkin tidak dalam posisi memiliki kemampuan dalam mengurus kebutuhan lainnya seperti obat-obatan atau makanan, transportasi atau pakaian mereka dengan benar.

Orang yang Bertanggung Jawab akan Hal ini

Termasuk orang-orang yang mengelola dana zakat baik di masjid maupun di lembaga lain. Jika seorang Imam masjid terlibat dalam pengumpulan dana zakat, ia dapat memenuhi syarat untuk menerima dari ketentuan pembagian zakat.

Orang yang Hatinya Dimenangkan

Mencakup muallaf, orang baru memeluk Islam, dan semua orang yang mungkin belum pernah mendengar tentang Islam atau yang mungkin memiliki sikap negatif terhadap Islam dan Muslim.

Dalam kategori ini termasuk individu dan kelompok yang terlibat dalam pekerjaan hubungan masyarakat untuk Islam, kelompok Muslim yang terlibat dalam pekerjaan antaragama dan antarkomunitas, media Muslim yang terutama ditujukan untuk mempromosikan Islam, universitas, dan perguruan tinggi yang mengajarkan Islam kepada non-Muslim.

Untuk Membebaskan Manusia dari Perbudakan

Ada 40 juta orang yang hidup dalam perbudakan di dunia kita saat ini. Ada sekitar 42 juta anak perempuan, wanita, dan anak laki-laki yang terpaksa menjual tubuhnya kepada orang lain karena tidak punya mata pencaharian lain. Juga, ada sekitar satu juta keluarga yang karena kemiskinan terpaksa menjual anak-anak mereka kepada orang lain (Islamic City, 2022).

Mereka yang Terbebani Utang

Orang-orang yang berutang termasuk mereka yang berada di atas garis kemiskinan dan yang kebutuhan dasarnya juga ditutupi serta terbebani oleh utang sedemikian rupa sehingga mereka tidak dapat melaksanakan tanggung jawab rumah tangga mereka dengan baik.

Untuk Setiap Perjuangan di Jalan Allah SWT

Ini termasuk mereka yang berada di luar sana untuk menyebarkan firman Allah SWT dan yang membela keadilan sosial dan kesetaraan serta melawan penindasan.

Untuk Para Musafir

Mereka yang berpergian dengan kemampuan terbatas atau orang-orang terlantar termasuk pengungsi atau bahkan tunawisma.

Kemudian, bagaimana seharusnya zakat didistribusikan?

Zakat bisa dilakukan secara individua tau bisa dilakukan melalui organisasi, badan amil, lembaga khusus zakat dan masjid yang memiliki keahlian di bidang ini.

Situasi yang ideal adalah memiliki badan pusat di setiap negara bagian atau kota untuk mengumpulkan dana zakat secara transparan. Syukurnya kita memiliki banyak lembaga yang kompatibel dalam urusan Zakat seperti BAZNAS.

Lalu, kelompok pengumpul dan individu harus mendidik masyarakat tentang pemusatan sumber daya dan kemudian melalui konsultasi dengan orang-orang terpercaya dari masyarakat mendistribusikan ke penerima di setiap kategori.

Selain itu, yang penting disadari juga adalah ketika zakat disalurkan melalui lembaga dan masjid, maka masyarakat harus diberitahu tentang distribusinya. Dengan kata lain, harus ada transparansi mutlak dalam pengumpulan dan pendistribusian zakat.

ISLAM KAFFAH

Memburu Cinta Allah Melalui Ibadah Zakat

Zakat dalam Islam merupakan sebuah perintah Allah SWT yang harus ditunaikan oleh setiap insan yang mengaku muslim dan mampu mengeluarkannya. Ia termasuk dari salah satu rukun Islam yang lima dan menempati urutan yang ke tiga setelah shalat dan puasa

Perintah menunaikan zakat tersebut terekam jelas di dalam Alquran. Di dalam Alquran dijelaskan bahwa harta yang dimilikinya sejatinya merupakan titipan Allah SWT yang harus diteruskan kepada orang lain yang lebih membutuhkan. 

Dalam arti, bahwa setiap hamba merupakan persambungan tangan Allah untuk meneruskan amanatnya kepada penduduk bumi. Sebagai wakil Tuhan, maka dia tidak boleh koruspi atas tugas-tugas yang sedang ia emban tersebut agar senantiasa menjadi pemimpin yang amanah, loyal, integritas dan peduli terhadap sesamanya.

Sesungguhnya harta yang dimiliki oleh setiap insan tersebut merupakan titipan Allah yang harus disampaikan kepada orang-orang yang lebih berhak menerimanya. Karena itu harus disalurkan. Perintah zakat sejatinya merupakan serangkaian kegiatan ibadah yang bertujuan untuk mengembalikan harta tersebut kepada mereka yang lebih berhak menerima dan membutuhkan daripadanya. Dalam Alquran berbunyi:

وفي اموالهم للسآئل والمحروم

  “Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta” (QS. Adz-Dzariyat, ayat 19).

Rifqi Fairuz, mengutip pernyataan Prof. Quraish Shihab dalam bukunya “Islam Yang Saya Anut; dasar-dasar Ajaran Islam”, menjelaskan bahwa dalam al-Quran, redaksi perintah zakat sering menggunakan kata “aatu az-zakat”. 

Kata aatu ini merupakan akar dari beragam kata dengan ragam makna, antara lain: istiqamah, cepat, segera dan bergegas melakukan sesuatu, mengantar, dan memudahkan jalan. Dari sini, ragam kata redaksi perintah zakat tersebut memiliki hikmah tersendiri dalam pelaksanaan zakat (islami.co 22 Mei 2020).

Jadi, perintah zakat menjadi sebuah keharusan yang harus disegerakan supaya semua hamba-Nya dapat merasakan kenikmatan yang sudah Allah siapkan untuk mereka. Dalam kitab Al Mawaidz Al ‘Ushfuriyyah karya Syekh Muhammad bin Abu Bakar Al-Ushfuri dijelaskan bahwa Allah memiliki sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim.

Dengan sifat Ar-Rahman, Allah masih memberikan haknya kepada hamba-hamba-Nyalaya meskipun ia ingkar, layaknya makan, tempat tidur dan seluruh kebutuhan hidupnya secara menyeluruh kepada seluruh hamba, tidak terkecuali kepada mereka yang beragama non-muslim.

Lihat misalnya kisah Nabi Ibrahim as yang mendapatkan teguran dari Allah lantaran enggan memberikan makanan kepada non-muslim. Kepada non-muslim saja Allah tetap memberikan haknya terus kenapa dalam urusan mengeluarkan zakat yang merupakan kewajiban pokok umat muslim masih berat melakukannya?. 

Syekh Muhammad bin Abu Bakar Al-Ushfuri mengutip sebuah hadist: 

الراحمون يرحمهم الرحمن، ارحموا من في الارض يرحمكم من في السماء

“Para Penyayang itu akan disayang Allah, Sayangilah siapapun yang ada di bumi, niscaya ia akan disayang oleh para penduduk yang ada di langit”.

Hadis tersebut menekankan akan pentingnya untuk saling mencintai satu sama lain. Mencintai harus dasar ikhlas. Karena hal itu akan menyebabkan dirinya disayang Tuhan. Melalui perintah zakat sejatinya adalah untuk menanamkan rasa spirit saling cinta untuk sesamanya supaya terjalin rasa simpati dan empati di antara mereka.

Sebelumnya, sudah dilakukan serangkaian ibadah puasa selama satu bulan penuh untuk membangkitkan semangat solidaritas, sehingga melalui pendidikan puasa tersebut agar seluruh umat muslim dapat merasakan lapar sebagaimana telah dirasakan selama ini oleh saudaranya yang fakir dan miskin tersebut. 

Dengan demikian, dengan memasukkan kebagian melalui pendidikan zakat tersebut, kata Syekh Muhammad bin Abu Bakar, mengutip hadist yang lain, adalah lebih baik dari beribadah 60 tahun (hal. 155).

Alhasil, di dalam menunaikan ibadah zakat fitrah di sini harus dilepaskan dari rasa sesuatu apapun yang sekiranya dapat mengotori niat baik untuk menjalankan tugasnya berupa ibadah zakat ini. 

Dalam menunaikan ibadah zakat ini harus dengan dasar ikhlas supaya menjadi hamba yang dapat disayang Tuhan, didasari rasa sayang dan tanpa pamrih (QS. Al-Baqarah, (2): 264). Inilah kata Syekh Abdul Qodir Jailani yang disebut berinfak di jalan Allah (Ali Imran, (3): 92). Selamat Merenungkan pesan-pesan Allah SWT yang sarat dengan cinta. (*)

BINCANG SYARIAH

Apakah Zakat Fitrah Harus Dibagikan Pada 8 Golongan, atau Hanya untuk Fakir-Miskin?

Kewajiban zakat fitrah harus didistribusikan kepada orang-orang yang telah ditentukan. Namun, praktek yang sering terjadi di masyarakat adalah penyerahan zakat fitrah hanya kepada golongan fakir dan miskin saja. Lantas, Apakah zakat fitrah harus dibagikan kepada seluruh golongan delapan (asnaf tsamaniyah) atau khusus diberikan pada fakir-miskin?

Dalam literatur kitah fikih Syafi’i, pendistribusian zakat fitrah sama dengan pembagian zakat mal yaitu didistribusikan kepada delapan kelompok. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Muhazzab, juz 6, halaman 185 berikut,

وَيَجِبُ صَرْفُ جَمِيعِ الصَّدَقَاتِ إِلَى ثَمَانِيَةِ أَصْنَافٍ وَهُم الْفُقَرَاءُ وَالْمَسَاكِينُ وَالْعَامِلُونَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلِّفَةُ قَلُووبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمُونَ وَفِى سَبِيلِ اللهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ….. (وَقَالَ)أَبُو سَعِيدَ الاُصْطُخْرِيُّ تُصَرَّفُ زَكَاةُ الْفِطْرِ إِلَى ثَلَاثَةٍ مِنَ الْففُقَرَاءِ لَأَنَّهُ قَدْرٌ قَلِيلٌ

Artinya : “Wajib mendistribusikan seluruh sedekah kepada delapan golongan. Mereka adalah orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat para muallaf, budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Abū Sa’īd al-Ustukhrī berkata, bahwa zakat fitrah disalurkan pada tiga orang fakir karena kadar yang sedikit.”

Namun demikian, pendapat yang masyhur dari kalangan Syafii ini ditolak oleh Ibnu Qayyim. Menurutnya, zakat fitrah itu khusus diberikan kepada fakir-miskin. Sebab Rasulullah Saw, sahabat dan generasi sesudahnya tidak pernah memberikan zakat fitrah kecuali kepada fakir-miskin. 

Pendapat ini adalah pendapat yang lebih shahih dan juga didukung oleh mazhab Imam Malik . dan salah satu riwayat dari mazhab al-Syafi’i.  Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fiqh al-Zakat juz 2, halaman 241 berikut

هَلْ تُفَرَّقُ عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ؟ وَهَلْ يَقْتَصِرُ صَرْفُهَا عَلَى الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ أَمْ تَعَمُّمٌ عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ ؟ الْمَشْهُورَ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهُ يَجِبُ صَرْفُ الفُطْرَةِ إِلَى الأَصْنَافِ الَّذِينَ تُصْرَفُ إِلَيْهِمْ زَكَاةُ الْمَالِ، وَهُمْ المَذْكُوْرُنَ فِي آيَةٍ:(إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ التَّوْبَةَ: (60), وَتَلْزَمُ قِسْمَتُهَا بَيْنَهُمْ بِالسَّوِيَّةِ (الْمَجْمُوعَ 144/6)، وَهُوَ مَذْهَبُ اِبْنِ حَزْمٍ، فَإِذَا فَرَّقَهَا المُزَكِّي بِنَفْسِهِ سَقَطَ سَهْمُ الْعَامِلِينَ لِعَدَمِ وُجُودِهِمْ، وَالْمُؤَلَّفَةِ لِأَنَّ أَمْرَهُمْ إِلَى الْإمَامِ لَا إِلَى غَيْرِهِ (الْمَحَلِّي : (145-143/6)

وَرَدَّ اِبْنُ الْقَيِّمِ عَلَى هَذَا الرَّأْيِ فَقَالَ:” وَكَانَ مِنْ هَدْيِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-تَخْصِيصُ الْمَسَاكِينِ بِهَذِهِ الصَّدَقَةِ، وَلَمْ يَكُنْ يُقَسِّمُهَا عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ قَبْضَة قَبْضَة، وَلَا أَمْرٌ بِذَلِكَ، وَلَا فَعَلَهُ  أحَدٌ مِنْ أَصْحَابِهِ، وَلَا مَنْ بَعْدَهُمْ بَلْ أحَدُ الْقَوْلَيْنِ عِنْدَنَا: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ إِخْرَاجُهَا إِلَّا عَلَى الْمَسَاكِينِ خَاصَّةً. وَهَذَا الْقَوْلُ أَرْجَحُ مِنَ الْقَوْلِ بِوُجُوبِ قِسْمَتِهَا عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ وَعِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ: إِنَّمَا تُصْرَفُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ، وَلَا تُصْرَفُ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا وَلَا لِمُؤَلَّفِ قَلْبِهِ، وَلَا فِي الرِّقَابِ، وَلَا لِغَارِمٍ وَلَا لِمُجَاهِدٍ وَلَا لِاِبْنِ سَبِيلٍ يَتَوَصَّلُ بِهَا لِبَلَدِهِ، بَلْ لَا تُعْطَى إِلَّا بِوَصْفِ الْفَقْرِ.

Artinya : “Apakah zakat fitrah dibagikan kepada delapan golongan? Dan apakah pendistribusian zakat fitrah hanya dicukupkan terhadap fakir dan miskin ataukah dibagikan secara merata kepada delapan golongan? 

Yang masyhur dalam mazhab Syafi’i bahwasanya zakat fitrah wajib didistribusikan pada golongan yang dalam zakat mal mendapatkan bagian, sebagaimana tertera dalam ayat “Innama assshadaqatu” dan wajib dibagi secara merata. 

Ini merupakan mazhab Ibnu Hazm, Ibnu al-Qayyim menolak pendapat ini seraya berkata, “Termasuk dari petunjuk Rasulullah Saw adalah mengkhususkan shadaqah pada orang-orang miskin, tidak memberikan shadaqah pada delapan golongan secara merata, tidak memerintahkan. 

Hal itu, tak seorang pun dari sahabat melakukannya, demikian pula orang-orang setelah sahabat. Akan tetapi, salah satu dari dua pendapat dari kalangan kita, tidak boleh menyalurkan zakat fitrah kecuali kepada orang-orang miskin secara khusus. 

Pendapat ini lebih unggul dibandingkan perkataan orang yang mewajibkan pembagian zakat pada delapan golongan.

Menurut malikiyah, zakat fitrah hanya diberikan pada fakir dan miskin, tidak boleh diberikan pada pengurus zakat dan yang lemah imannya, memerdekakan budak, orang yang berhutang, prajurit, dan ibnu sabil yang dapat sampai ke negerinya melalui zakat fitrah, bahkan  tidak dapat diberikan terkecuali memiliki sifat fakir.”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa menurut mazhab Syafi’i, pendistribusian zakat fitrah sama dengan pembagian zakat mal yaitu didistribusikan kepada delapan kelompok.

Tetapi, pendapat dari kalangan Syafi’i ini ditolak oleh Ibnu Qayyim. Menurutnya, zakat fitrah itu khusus diberikan kepada fakir-miskin. Sebab Rasulullah Saw, sahabat dan generasi sesudahnya tidak pernah memberikan zakat fitrah kecuali kepada fakir-miskin.

Pendapat ini adalah pendapat yang lebih sahih dan juga didukung oleh mazhab Imam Malik. Demikian penjelasan mengenai hukum zakat fitrah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Apakah Korban PHK Wajib Membayar Zakat?

Berikut ini penjelasan terkait apakah korban PHK wajib membayar zakat? Pasalnya, di saat Covid-19 ini banyak masyarakat Indonesia yang menjadi korban Pumutusan Hubungan Kerja (PHK). Berikut penjelasannya.  

 Selain shalat dan puasa, rukun-rukun Islam lain yang juga wajib untuk dilakukan oleh semua umat Islam adalah mengeluarkan zakat, atas semua harta benda yang dimilikinya, baik berupa barang, tanaman, perdagangan dan semacamnya.

Rukun Islam nomor tiga setelah shalat ini sudah sangat maklum perihal kewajibannya. Dan, para ulama sejak dahulu sudah memutuskan semua itu. Sebab, Al-Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas, telah memberikan keputusan akan kewajiban zakat. Dalam Al-Qur’an, Allah swt. berfirman:

وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama dengan orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 43).

Dengan berdasarkan ayat ini, terbentuklah sebuah kesepakatan (konsensus) ijma’ dari para ulama, bahwa wajib mengeluarkan zakat bagi semua umat Islam tanpa terkecuali. Dan, orang yang ingkar akan kewajibannya, sama artinya ia ingkar pada ketentuan Allah dan rasul-Nya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya, ia mengatakan:

وُجُوْبُ الزَّكَاةِ مَعْلُوْمٌ مِنْ دِيْنِ اللهِ ضُرُوْرَةً فَمَنْ جَحَدَ وُجُوْبَهَا فَقَدْ كَذَبَ اللهَ وَكَذَبَ رَسُوْلَهُ

Artinya, “Kewajiban zakat sudah diketahui dari agama Allah (Islam) secara pasti. Maka, siapa yang ingkar akan kewajibannya, maka sungguh telah mengingkari Allah dan rasul-Nya.” (Imam Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 2001], juz V, halaman 331).

Kendati demikian, Islam sebagai agama universal dan paripurna, yang memiliki visi dan misi tidak memberi beban pada pemeluknya, perihal beberapa kewajiban-kewajiban dan ketentuan yang tidak mereka mampu, tentu memberikan dispensasi (keringanan) terhadap semuanya, termasuk zakat.

Selain itu, pada bulan puasa Ramadhan, Allah tidak hanya mewajibkan puasa bagi semua umat Islam, ada kewajiban lain yang juga harus dipenuhi oleh mereka, yaitu untuk mengeluarkan zakat fitrah, sebagai penyempurna dari puasanya selama satu tahun.

Kewajiban yang satu ini tentu tidak memandang ras dan suku, siapa saja yang beragama Islam maka wajib untuk mengeluarkannya. Hanya saja, Islam memberikan sebuah keringanan bagi mereka yang tidak mampu untuk mengeluarkan zakat fitrah.

Orang-orang yang tidak memiliki harta, misalnya, baik harta dagangan, harta pertanian, mereka tidak memiliki kewajiban zakat. Misalnya, orang fakir, yaitu orang tidak memiliki pekerjaan tetap dan tidak memiliki pemasukan (uang) dalam setiap harinya, maka orang yang seperti ini tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat.

Orang yang tidak wajib mengeluarkan zakat lainnya, adalah orang miskin, yaitu orang yang masih memiliki pemasukan (usaha) untuk menghidupi keluarganya, hanya saja semua hasil pemasukan tersebut tidak bisa memenuhi kebutuhannya dalam setiap hari.

Nah, dua orang dalam contoh di atas tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat. Semua itu tidak lain disebabkan syariat Islam merupakan ajaran mudah yang tidak pernah memberatkan bagi pemeluknya perihal kewajiban yang tidak mereka mampu. Nah, apakah orang yang di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) juga gugur kewajiban zakatnya? Mari kita bahas.

PHK dan Kewajiban Zakat

Perlu diketahui, bahwa orang yang di PHK adalah orang yang sebelumnya pernah memiliki pekerjaan tetap, dan penghasilan yang cukup. Hanya saja, ia dipecat dan akhirnya tidak lagi memiliki penghasilan dalam kebutuhan kesehariannya.

Orang-orang yang di PHK dalam ajaran Islam, terbagi menjadi dua bagian, ada yang masih mampu untuk mengeluarkan zakat fitrah, karena memiliki tabungan yang banyak misalnya, maka orang yang seperti masih memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah, sekalipun statusnya adalah orang yang di PHK.

Kedua, yaitu orang di PHK yang semua hartanya tidak ada. Sebab, selama ia bekerja, semua penghasilannya sudah cukup digunakan untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya, sehingga ketika ia harus di PHK, maka sama halnya ia tidak memiliki harta sedikit pun.

Nah, orang yang seperti ini dalam kitab-kitab turats dikenal dengan istilah mu’sir (orang yang tidak mampu). Apakah wajib zakat? Simak penjelasan berikut.

Imam Ibnu Hajar al-Haitami (wafat 974 H), dalam salah satu kitabnya memposisikan orang mi’sir (tidak mampu), sebagai orang yang tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah. Akan tetapi, gugurnya kewajiban ini apabila tidak mampunya di saat yang bersamaan dengan kwajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah.

Misalnya, orang di PHK pada bulan Ramadhan, dan tidak memiliki uang yang cukup untuk mengeluarkan zakat fitrah, maka kewajibannya gugur. Namun, jika di PHK pada sebelum bulan Ramadhan, dan ketika sudah memasuki bulan Ramadhan telah menemukan pekerjaan baru, misalnya, maka orang yang seperti ini tetap memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah.

Berbeda, jika misalnya ada orang di PHK di bulan Ramadhan, kemudian selama bulan Ramadhan ia tidak menemukan pekerjaan baru, usaha baru, dan penghasilan baru, kemudian di bulan selanjutnya menemukan pekerjaan tersebut, maka ia tetap tidak memiliki kewajiban mengeluarkan zakat. Sebab, waktu kewajibannya telah berlalu. Perhatikan penjelasan berikut,

 (وَلَا) فِطْرَةَ عَلَى (مُعْسِرٍ) وَقْتَ الْوُجُوبِ إجْمَاعًا وَإِنْ أَيْسَرَ بَعْدُ

Artinya, “Tidak wajib zakat fitrah bagi orang yang tidak mampu (mengeluarkan) pada saat waktu wajibnya (mengeluarkan zakat) secara ijma’ (konsensus), sekalipun ia menjadi mampu setelah waktu wajib.” (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatu al-Muhtaj fi Syarhi al-Minhaj, [Mesir, Maktabah at-Tijariyah Kubra: 1983], juz XII, halaman 406).

Alhasil, orang yang tidak mampu mengeluarkan zakat fitrah, termasuk orang yang di PHK, tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah, dan tidak pula wajib untuk menggantinya (qadha).

Sebab, mengganti zakat fitrah hanya berlaku bagi orang yang mampu mengeluarkan zakat fitrah, hanya saja ia tidak membayarnya.

Demikian penjelasan terkait  apakah korban PHK Wajib membayar zakat? Wallahu a’lam bisshawab.

BINCANG SYARIAH

Inilah Empat Hikmah Disyariatkan Zakat

Berikut penjelasan terkait inilah empat hikmah disyariatkan zakat.  Pasalnya salah satu rukun Islam adalah menunaikan zakat. Kewajiban ini, sama seperti ibadah lainnya, memiliki syarat dan ketentuan tertentu.

Ada empat hikmah disyariatkan zakat menurut Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu. Allah mensyariatkan zakat karena manusia dilebihkan satu hal dari lainnya, termasuk rezeki berupa materi. Sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 71;

وَاللّٰهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ فِى الرِّزْقِۚ

Artinya: Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rezeki.

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa sebagian hambaNya dilebihkan dalam harta. Maka pensyariatan zakat dimaksudkan untuk berbagi kepada yang membutuhkan dan menyadari bahwa rezeki materi itu juga datangnya dari Allah. Di dalamnya terdapat hak orang lain,

وَفِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِ

Artinya: Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta.

Syekh Wahbah Zuhaili merangkum empat hikmah disyariatkannya zakat kepada umat muslim yang memenuhi syarat tertentu.

Pertama, menjaga harta dari penyalahgunaan.. Penunaian zakat dimaksudkan untuk menjaga harta dari penyalahgunaan baik oleh orang-orang zalim dan tak bertanggung jawab.

Jika seseorang dilebihkan dalam hartanya, ia cenderung menginginkan benda atau materi dalam mengalokasikannya. Maka hikmah zakat salah satunya adalah demikian. Hal ini merujuk pada hadis Nabi riwayat Ibnu Mas’ud,

حَصِّنُوا أَمْوَالَكُمْ بِالزَّكَاةِ وَدَاوَوْا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ وَأَعِدُّوْا لِلْبَلَاءِ الدُّعَاءَ

Artinya: Jagalah hartamu dengan menunaikan zakat dan sembuhkanlah sakit kalian dengan bersedekah dan cegahlah bahaya dengan doa. (HR. Thabrani dan Abu Na’im) Meski sanad hadis ini berstatus dhaif, tapi maknanya bisa diamalkan karena berupa keutamaan amal.

Hikmah ini lebih pada pengendalian diri yang bersifat individual.

Kedua, menolong orang miskin dan yang membutuhkan. Hikmah ini menunjukkan bahwa zakat menjadi ibadah yang bersifat sosial. Masyarakat memiliki tanggung jawab terhadap orang miskin yang ada di sekitarnya.

Dengan menunaikan zakat, seseorang berpartisipasi menumbuhkan dan memperkuat perekonomian dan daya beli orang miskin dan yang membutuhkan. Dengan zakat pula, konsep kesalingan dan tukar peran antar masyarakat bisa terwujud.

Ketiga, membersihkan diri dari sifat bakhil dan rakus. Zakat juga memiliki hikmah untuk membiasakan seseorang memiliki sifat mulia dan lapang dada karena mereka merayakan sebagian hartanya.

Seseorang yang menunaikan zakat juga berpartisipasi dalam meningkatkan ekonomi yang juga menjadi peran pemerintah.

Keempat, wujud bersyukur. Membayar zakat menjadi salah satu bentuk syukur kepada Allah atas harta yang dititipkan. Bersyukur artinya mentasarufkan rezeki sesuai dengan jalan yang dibenarkan oleh Allah.

Demikian empat hikmah disyariatkannya zakat oleh Allah. Hikmah yang tidak hanya kembali pada diri sendiri tapi juga orang lain. Dari empat hikmah tersebut, kita memahami bahwa zakat merupakan ibadah bersifat individual karena sebagai pemenuhan kewajiban hamba kepada Allah yang tertuang dalam nash baik Alquran maupun hadis.

Zakat juga bersifat sosial karena memangkas kesenjangan ekonomi dalam suatu lingkup masyarakat.  Demikian penjelasan terkait empat hikmah disyariatkan zakat.

BINCANG SYARIAH

Siapa Saja Kerabat yang Boleh Disalurkan Zakat dan Manakah yang Tidak Boleh?

Apakah boleh menyalurkan zakat kepada kerabat kita sendiri?

Nah, ini butuh rincian.

Yang jelas, golongan yang menerima zakat sudahlah jelas sebagaimana diterangkan dalam ayat berikut ini,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk (1) orang-orang fakir, (2) orang-orang miskin, (3) amil zakat, (4) para mu’allaf yang dibujuk hatinya, (5) untuk (memerdekakan) budak, (6) orang-orang yang terlilit utang, (7) untuk jalan Allah (fii sabilillah), dan (8) untuk mereka yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil), sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)

Keterangan:

  1. Fakir: orang yang pendapatannya 0 – 49% dari kebutuhan hidupnya.
  2. Miskin: orang yang pendapatannya 50 – 99 % dari kebutuhan hidupnya.
  3. Amil: orang yang mengumpulkan dan menyalurkan zakat.
  4. Muallaf: orang non-muslim yang diharapkan keislamannya dan orang yang baru masuk Islam yang diharapkan keteguhannya dalam Islam.
  5. Riqob: hamba sahaya.
  6. Gharim: orang yang berutang untuk tujuan syari yang tidak menemukan harta untuk melunasi utang tersebut.
  7. Fii sabilillah: orang yang berjihad, dai, penuntut ilmu agama, dan semacamnya.
  8. Ibnu sabil: musafir yang terpisah dari kelompoknya.

Baca juga: Golongan Penerima Zakat

Adapun memberikan zakat kepada kerabat itu punya keutamaan sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Salman bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ

Sesungguhnya sedekah kepada orang miskin pahalanya satu sedekah. Sedangkan sedekah kepada kerabat pahalanya dua, yaitu pahala sedekah dan pahala menjalin hubungan kekerabatan.” (HR. An-Nasai, no. 2582; Tirmidzi, no. 658; Ibnu Majah, no. 1844. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Baca juga: Memberi Zakat Kepada Kerabat

Adapun siapa saja yang berhak diberi zakat dari keluarga dan yang tidak berhak, kami bantu dengan menjelaskan dalam tabel berikut ini.

Hubungan KerabatHukumCatatan
Ayah dan ibuTIDAK BOLEHWajib memberikan nafkah kepada mereka
Kakek dan nenekTIDAK BOLEHWajib memberikan nafkah kepada mereka
Anak laki-laki dan anak perempuanTIDAK BOLEHWajib memberikan nafkah kepada mereka
IstriTIDAK BOLEHWajib memberikan nafkah kepadanya
Suami[1]BOLEHDisyaratkan termasuk delapan ashnaf
Saudara laki-laki dan saudara perempuanBOLEHDisyaratkan termasuk delapan ashnaf
Saudara laki-laki dan perempuan dari ayahBOLEHDisyaratkan termasuk delapan ashnaf
Saudara laki-laki dan perempuan dari ibuBOLEHDisyaratkan termasuk delapan ashnaf
Kerabat yang lainBOLEHDisyaratkan termasuk delapan ashnaf

[1] Bolehnya seorang istri menyalurkan zakat pada suaminya atau anaknya karena istri tidak punya kewajiban menanggung nafkah suami dan anaknya. Yang menjadi penanggung jawab nafkah untuk anak-anak adalah suami. Jadi sah-sah saja jika istri menyerahkan zakat pada suami atau anaknya.

Hal di atas dapat dilihat dari kisah Zainab Ats-Tsaqafiyah, istri ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, di mana ia memberikan zakat kepada suaminya dan disetujui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari, no. 1466 dan Muslim, no. 1000).

Baca juga: Zakat kepada Kerabat yang Janda

Silakan unduh buku PDF: PANDUAN PRAKTIS ZAKAT MAAL KONTEMPORER

Semoga menjadi ilmu yang manfaat.

Senin sore, 16 Ramadhan 1443 H, 18 April 2022

@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/33295-siapa-saja-kerabat-yang-boleh-disalurkan-zakat-dan-manakah-yang-tidak-boleh.html

Adakah Kewajiban Zakat untuk Harta Anak Kecil dan Orang Gila?

Penjelasan Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Rahimahullah

Pertanyaan:

Adakah kewajiban zakat untuk harta yang dimiliki anak kecil dan orang gila?

Jawaban:

Terdapat perselisihan ulama Rahimahumullah dalam masalah ini. Sebagian di antara mereka mengatakan bahwa tidak ada kewajiban zakat untuk harta yang dimiliki anak kecil (yang belum balig, pent.) dan orang gila. Hal ini mempertimbangkan bahwa mereka tidak dikenai kewajiban (beban) syariat (taklif). Telah dipahami bahwa anak kecil (yang belum balig) dan orang gila itu tidak termasuk mukallaf (orang yang dikenai beban syariat), sehingga tidak ada kewajiban zakat berkaitan dengan harta yang mereka berdua miliki.

Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa zakat itu tetap wajib atas mereka. Inilah pendapat yang tepat. Hal ini karena zakat itu termasuk dalam hak harta (yang harus ditunaikan, pent.), dan tidak melihat status pemilik harta (apakah termasuk mukallaf ataukah tidak, pent.). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS. At-Taubah: 103)

Maka Allah Ta’ala kaitkan (adanya) kewajiban zakat itu dengan (kepemilikan) harta. Seperti halnya perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“(Dan jika mereka telah menaatinya), maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka sedekah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang faqir mereka” (HR. Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19).

Berdasarkan dalil tersebut, maka terdapat kewajiban zakat atas harta yang dimiliki oleh anak kecil dan orang gila. Dan yang mengurus (pembayaran) zakatnya adalah walinya.

***

@Rumah Kasongan, 4 Jumadil ula 1443/ 9 Desember 2021

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

 Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Diterjemahkan dari kitab Fataawa Arkaanil Islaam, hal. 509-510, pertanyaan no. 356.

Sumber: https://muslim.or.id/70991-kewajiban-zakat-untuk-harta-anak-kecil-orang-gila.html

Hukum Memberikan Harta Zakat untuk Membangun Masjid

Penjelasan Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Apakah hukum memberikan (mendistribusikan) zakat untuk membangun masjid? Dan siapakah yang disebut dengan fakir?

Jawaban:

Zakat tidak boleh diberikan, kecuali kepada delapan golongan yang telah Allah Ta’ala sebutkan saja. Hal ini karena Allah Ta’ala menyebutkan (delapan golongan) tersebut dengan diksi pembatasan (yaitu dengan kata “innamaa” [hanyalah]). Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk di jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)

(Berdasarkan ayat tersebut), maka tidak boleh mendistribusikan zakat untuk membangun masjid, mengajarkan ilmu, dan sejenisnya. Adapun kalau sedekah yang hukumnya sunah, maka yang afdal (utama) adalah untuk perkara yang paling bermanfaat.

Adapun yang dimaksud dengan orang fakir yang berhak untuk mendapatkan zakat adalah mereka yang tidak memiliki harta (penghasilan) yang cukup untuk (menghidupi) dirinya atau keluarga (kerabat) yang dia tanggung nafkahnya selama satu tahun sesuai dengan kondisi zaman dan tempat tertentu. Maka terkadang 1.000 riyal di suatu zaman dan tempat sudah bisa dianggap sebagai orang kaya. Akan tetapi, di suatu zaman dan tempat yang lain tidak dianggap sebagai orang kaya karena tingginya kebutuhan, atau sejenisnya.

Pertanyaan:

Apakah mendistribusikan zakat untuk membangun masjid itu sesuai dengan firman Allah Ta’ala berkaitan dengan orang-orang yang berhak menerima zakat,

وَفِي سَبِيلِ اللّهِ

dan untuk di jalan Allah … ” (QS. At-Taubah: 60)?

Jawaban:

Sesungguhnya, membangun masjid itu tidak termasuk dalam kandungan firman Allah Ta’ala,

وَفِي سَبِيلِ اللّهِ

dan untuk di jalan Allah … ” (QS. At-Taubah: 60)

Karena, sebagaimana penjelasan ahli tafsir rahimahumullah terhadap ayat tersebut, bahwa yang dimaksud dengan “fii sabiilillah” adalah “jihad fii sabiilillah”. Seandainya kita katakan bahwa yang dimaksud dengan fii sabiilillah (dalam ayat tersebut) adalah seluruh bentuk kebaikan (apapun bentuknya, termasuk membangun masjid, pent.), maka konsekuensinya tidak ada faidah adanya diksi pembatasan dalam firman Allah Ta’ala,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir … ” (QS. At-Taubah: 60)

Maksud diksi pembatasan (hashr) -sebagaimana yang telah diketahui- adalah menetapkan hukum (hanya) untuk perkara yang disebutkan dan meniadakan hukum dari perkara yang tidak disebutkan. Oleh karena itu, jika kita katakan bahwa (yang dimaksud dengan),

وَفِي سَبِيلِ اللّهِ

dan untuk di jalan Allah … ” adalah semua jalan kebaikan, maka ayat tersebut tidak ada faidahnya meskipun diawali dengan kata (إِنَّمَا) yang menunjukkan adanya pembatasan.

Selain itu, jika mendistribusikan zakat untuk membangun masjid dan juga untuk jalan kebaikan yang lain itu diperbolehkan, maka hal itu akan meniadakan kebaikan (untuk orang miskin yang berhak menerima zakat, pent.). Hal ini karena banyak manusia memiliki jiwa yang pelit (kikir atau bakhil). Jika mereka melihat bahwa (ada jalan untuk) membangun masjid, dan juga jalan kebaikan lain, dan diperbolehkan bagi mereka untuk mendistribusikan zakat ke jalan tersebut, mereka pasti akan lebih memilih jalan tersebut (daripada mereka berikan kepada fakir miskin yang membutuhkan, pent.). Konsekuensinya, orang fakir dan miskin akan selalu berada dalam kesusahan.

***

@Kantor Mikro, 4 Jumadil ula 1443/ 9 Desember 2021

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/70986-hukum-memberikan-harta-zakat-untuk-membangun-masjid.html

Pesan Rasulullah Bagi Orang yang tak Mau Zakat

Setelah dua tahun hijrah dari Makkah ke Madinah, Rasulullah Saw baru menerapkan sistem zakat secara lembaga. Diawali dengan diwajibkannya zakat fitrah pada bulan Ramadhan dan diwajibkannya zakat maal pada berikutnya.

Mengapa sistem zakat secara lembaga baru dimulai pada tahun kedua hijrah?

Alasannya, pada tahun pertama perekonomian Muslim masih dalam tahap pemulihan pascaperistiwa hijrah dari Makkah. Kaum Muhajirin tidak membawa banyak harta ketika hijrah sebab aset kekayaan mereka berada di Makkah. Alhasil ketika di Madinah mereka pun memulai kembali untuk membangun perekonomian mereka.

Ibnu Katsir menerangkan zakat yang dilaksanakan setelah tahun kedua hijrah adalah kewajiban yang didirikan secara khusus, sedangkan zakat yang dilaksanakan waktu di Makkah adalah kewajiban yang dilakukan oleh sukarela perseorangan semata.

Pada tahun kedua hijrah, perekonomian umat muslim sudah  lebih baik. Kaum Muhajirin sudah mulai memiliki ketahanan ekonomi. Rasulullah memberikan kebijakan wajib zakat. Rasulullah mengutus Mu’adz bin Jabal untuk menjadi Qadhi dan amil zakat di Yaman.

Rasulullah juga mengangkat dan menginstruksikan kepada beberapa sahabat seperti Umar bin Khattab dan Ibn Qais ‘Ubadah Ibn Shamit sebagai amil zakat di tingkat daerah. Sebagai kepala negara, perintah Rasul langsung dijalankan oleh seluruh umat muslim dengan sigap.

Rasulullah mensosialisasikan aturan-aturan dasar, bentuk harta yang wajib dizakatkan, siapa saja yang harus membayar zakat, serta siapa saja yang menerima zakat.

Zakat yang diterapkan Nabi Muhammad mengalami perubahan sifat. Saat di Makkah, zakat dilakukan hanya bersifat sukarela. Setelah hijrah, zakat menjadi kewajiban sosial yang dilembagakan, dan harus dipenuhi oleh setiap muslim yang memiliki harta dan telah mencapai nisab.

Ini beberapa konsekuensi bagi orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat.

1. Siksa bagi orang yang tak mau berzakat

قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَلَمْ يُؤَدِّزَكَاتَهُ مُثِّلَ  لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًاأَقْرَعَ لَهُ زَبِيْبَتَانِ يُطَوِّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُبِلَهْزَمَتَيْهِ يَعْنِى شِدْقَيْهِ ثُمَّ يَقُوْلُ اَنَا مَالُكَ اَنَا كَنْزُكَ ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْاَيَةَ  : وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ – اِلْاَيَة.

Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa diberi harta oleh Allah, dan tidak mengeluarkan zakatnya, niscaya pada hari kiamat ia diserupakan dengan ular botak yang mampunyai dua taring. Ular itu melilitnya pada hari kiamat kemudian menangkap dengan kedua rahangnya, lalu ia berkata, “Aku adalah harta bendamu, aku adalah barang simpananmu” Kemudian rasul membaca ayat (yang artinya), “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan hartanya (HR. Bukhari dan Muslim).

2. Ekonomi seseorang akan hancur bila tak mau berzakat

قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  مَاتَلِفَ مَالٌ فِى بَرٍّ وَلَا بَحْرٍ اِلَّا بَحْرٍبِحَسْبِ الزَّكَاةِ.

Rasulullah Saw bersabda: Tidak jadi rusak harta di daratan dan di lautan kecuali dengan menahan zakat (HR. Thabarani).

3. Neraka bagi orang tak mau zakat

قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَانِعُ الزَّكَاةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِى النَّارِ.

Rasulullah Saw bersabda: Orang yang menahan zakat, pada hari kiamat bertempat di neraka  (HR. Thabarani)

4. Belum diterima puasanya orang yang belum berzakat

قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : صَوْمُ شَهْرِرَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِوَالْأَرْضِ وَلَا يُرْفَعُ اِلَّا بِزَكَاةِ الْفِطْرِ.

Rasulullah Saw bersabda: Puasa Ramadhan itu digantungkan antara langit dan bumi, dan tidak diangkat puasa itu kecuali dengan zakat fitrah  (HR. Abu Hafsh bin Syahin)

IHRAM