Hukuman untuk Mereka yang Menolak Membayar Zakat

Diriwayatkan dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فِي كُلِّ سَائِمَةِ إِبِلٍ فِي أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ، وَلَا يُفَرَّقُ إِبِلٌ عَنْ حِسَابِهَا مَنْ أَعْطَاهَا مُؤْتَجِرًا – قَالَ ابْنُ الْعَلَاءِ مُؤْتَجِرًا بِهَا – فَلَهُ أَجْرُهَا، وَمَنْ مَنَعَهَا فَإِنَّا آخِذُوهَا وَشَطْرَ مَالِهِ، عَزْمَةً مِنْ عَزَمَاتِ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ، لَيْسَ لِآلِ مُحَمَّدٍ مِنْهَا شَيْءٌ

“Pada setiap empat puluh unta saimah (unta yang digembalakan) terdapat zakat satu unta bintu labun (unta yang memiliki umur dua tahun), dan unta tidak boleh dipisahkan dari hitungannya. Barangsiapa yang membayar zakat karena mengharapkan pahala, maka baginya pahala. Dan barangsiapa yang enggan membayarnya, maka kami akan mengambilnya dan (juga mengambil) setengah hartanya; sebagai kewajiban di antara kewajiban-kewajiban Allah ‘Azza wa Jalla. Dan keluarga Muhammad tidak berhak sedikit pun dari harta zakat tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 1575, An-Nasa’i no. 2444, Ahmad 33: 220, dan Al-Hakim 1: 398)

Hakim bin Hazm adalah seorang perawi yang statusnya diperbincangkan oleh para ulama hadis. Abu Hatim berkata, “Syaikh, haditsnya dicatat, namun tak dapat digunakan sebagai hujjah.” Asy-Syafi’i berkata, “Bukan hujjah.” Ibnu Ma’in berkata, “Tsiqqah.” Demikian pula yang dikatakan oleh An-Nasa’i. (Lihat Tahdzibut Tahdzib, 1: 437)

Ibnu Hibban berkata, “Dia kadang salah (meriwayatkan hadis). Adapun Imam Ahmad dan Ishaq bin Ibrahim rahimahumallah berhujjah dengannya dan meriwayatkan hadis darinya. Sedangkan sejumlah imam kami meninggalkan (tidak meriwayatkan hadis darinya). Seandainya bukan karena hadis, “Kami akan mengambilnya dan setengah hartanya; sebagai kewajiban di antara kewajiban-kewajiban Allah ‘Azza wa Jalla”, maka kami akan memasukkan beliau dalam Ats-Tsiqat. Beliau salah satu perawi yang saya beristikharah kepada Allah dalam menilainya (maksudnya, beliau ragu-ragu tentang statusnya, pent.).” (Al-Majrukhin, 1: 222)

Adz-Dzahabi berkata, “Tidak ada seorang ulama pun yang meninggalkan riwayatnya. Mereka hanyalah tawaquf (abstain) untuk berhujah dengan riwayatnya.” (Al-Mizan, 1: 354)

Ibnu Katsir berkata. “Mayoritas ulama berhujah dengannya, seperti Ahmad, Ishaq, Ali bin Al-Madini, Ibnu Ma’in, Abu Dawud, An-Nasa’i … “ (Al-Irsyad, 1: 266)

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Shaduq.”

Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Sanad hadis ini hasan, berdasarkan pembahasan sebelumnya tentang Bahz bin Hakim dan bapaknya. Mereka berdua adalah perawi yang berderajat shaduq.” (Minhatul ‘Allam, 4: 408). Hadis ini juga dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani.

Faedah hadis

Faedah pertama, bagian pertama hadis ini berkaitan dengan zakat hewan ternak berupa unta. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik tentang surat dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengenai zakat (HR. Bukhari no. 1454) dijelaskan bahwa jika seseorang memiliki unta sebanyak 36 sampai 45 ekor, maka wajib mengeluarkan zakat berupa 1 bintu labun, yaitu unta betina yang sudah berumur 2 tahun. Oleh karena itu, redaksi hadis tersebut sesuai, bahwa orang yang mempunyai 40 ekor unta, maka kewajibannya adalah 1 bintu labun, karena angka 40 masih berada pada rentang 36 sampai 45.

Dalam hadis Anas bin Malik tersebut, juga dijelaskan bahwa seseorang yang memiliki unta 121 ekor ke atas, maka kewajiban zakatnya adalah 1 bintu labun setiap kelipatan 40. Sehingga hadis ini juga bisa dimaknai bahwa kewajiban 1 bintu labun tersebut adalah mereka yang memiliki unta sebanyak 121 ekor ke atas.

Faedah kedua, dalam hadis tersebut terdapat larangan memisahkan harta yang pada asalnya bercampur dalam rangka menghindari kewajiban zakat. Contohnya, nishab zakat unta adalah minimal 5 ekor. Kewajiban zakat untuk unta sebanyak 5 sampai 9 ekor adalah 1 ekor kambing. Lalu ada dua orang yang berserikat dalam kepemilikan enam ekor unta. Ketika petugas zakat datang, mereka memisahnya menjadi seolah-olah masing-masing memiliki 3 ekor unta (sehingga masih di bawah nishab). Akal-akalan semacam ini, untuk menghindar dari kewajiban zakat, tidaklah diperbolehkan.

Faedah ketiga, hadis tersebut merupakan dalil bahwa siapa saja yang mengeluarkan (membayar) zakat dengan kerelaan hatinya dan dalam rangka mengharap pahala dari Allah Ta’ala, maka baginya pahala dari Allah Ta’ala. Dan siapa saja yang menolak (enggan) untuk membayar zakat, maka dia berhak mendapatkan hukuman. Hal ini karena dia telah menghancurkan salah satu rukun Islam, yaitu zakat. Sedangkan hisabnya ada di sisi Allah Ta’ala.

Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Siapa saja yang mengeluarkan zakat dalam rangka mengharap pahala (dari Allah), makanya baginya pahala. Di dalam hadis ini terdapat motivasi kepada orang-orang yang memiliki harta untuk mengeluarkan zakat dengan kerelaan hatinya, mengharap pahala dari Allah, dengan gembira dan bahagia. Dia tidak menganggap zakat sebagai denda hukuman atau kerugian, atau pengurangan hartanya. Tidak demikian. Bahkan sebaliknya, zakat adalah penambahan, pengembangan, penyucian, dan keberkahan. Kalaulah tidak ada kewajiban zakat, maka tidak akan ada keberkahan dalam hartanya. Maka hatinya pun rela (mengeluarkan zakat) dan mengharapkan pahala dari sisi Allah Ta’ala.” (Tashilul Ilmam, 3: 111)

Faedah keempat, dalam hadis ini juga terdapat dalil boleh bagi penguasa untuk mengambil zakat tersebut secara paksa dari orang-orang yang enggan membayar zakat. Hal ini berdasarkan ijmak (kesepakatan) para ulama.

Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Adapun orang yang enggan membayar zakat, wajib bagi ulil amri untuk mengambilnya secara paksa, karena zakat adalah kewajiban atasnya. Jika dia enggan mengeluarkan zakat karena pelit, maka ulil amri boleh melakukan tindakan (intervensi) dan mengambilnya secara paksa. Ketika sebagian orang menolak membayar zakat pada masa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, maka beliau dan para sahabat memerangi mereka dan memaksa mereka untuk membayar zakat.” (Tashilul Ilmam, 3: 111)

Faedah kelima, hadis ini merupakan dalil bagi sebagian ulama yang berpendapat bolehnya menerapkan hukuman ta’zir terhadap harta bagi mereka yang enggan membayar zakat. Hukuman ta’zir adalah hukuman yang  tidak ditentukan bentuk dan ukurannya dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Diambilnya setengah harta (tidak terbatas hanya sejumlah harta yang harus dikeluarkan zakatnya) dari orang yang enggan membayar zakat itu dinilai sebagai hukuman ta’zir yang dikenakan pada harta seseorang. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Farkhun dari ulama Malikiyah. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 28: 113-118, 29: 294; Tahdzhib Mukhtashar As-Sunan, 2: 192)

Sehingga ulil amri mengambil secara paksa sejumlah harta yang seharusnya wajib dibayarkan sebagai zakat, dan ditambah lagi dengan hukuman dalam bentuk setengah harta bendanya pun diambil. Hal ini sebagai hukuman karena dia enggan membayar zakat sehingga didenda dengan jumlah yang besar.

Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim, keduanya menguatkan pendapat pertama, yaitu bolehnya memberikan hukuman ta’zir dengan mengambil harta (penolak zakat) jika ulil amri melihat adanya maslahat. (Jika ada maslahat), maka ulil amri boleh mengambil secara paksa atau merampas sebagian hartanya sebagai hukuman untuk orang tersebut. Inilah pendapat yang lebih mendekati (kebenaran), wallahu a’lam.” (Tashilul Ilmam, 3: 112-113)

Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh memberikan hukuman ta’zir dengan mengambil harta. Karena hal itu bertentangan dengan dalil-dalil yang menunjukkan kehormatan harta seorang muslim sehingga tidak boleh diambil tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat. (Lihat Al-Mughni, 12: 526; Syarh Fathul Qadir, 5: 345; Hasyiyah Ad-Dasuqi, 4: 355)

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لايحل مال امرئ مسلم إلا بطيبة نفسه

“Tidaklah halal (mengambil) harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.” (HR. Ahmad no. 15488)

Sedangkan dalam kasus ini, harta tersebut diambil tanpa kerelaan si pemilik harta; dia pun tidak rida hartanya diambil. Oleh karena itu, tidak boleh merampas setengah harta orang yang enggan membayar zakat. Yang dirampas atau diambil paksa hanyalah sesuai kadar harta yang wajib dizakati, tidak boleh lebih dari itu. Ulil amri boleh menghukum dalam bentuk lain, misalnya dipukul, dipenjara, atau bentuk hukuman ta’zir yang lain. Adapun merampas harta melebihi jumlah yang wajib dizakati, hal itu tidak diperbolehkan.

Para ulama tersebut juga mengatakan bahwa hadis ini (yang menjadi dalil bagi ulama yang membolehkan) diperbincangkan statusnya oleh ulama jarh wat ta’dil. Mereka membicarakan tentang Bahz bin Hakim, apakah beliau merupakan perawi yang riwayatnya layak dijadikan hujjah atau tidak.

Kita tidak boleh mengambil setengah harta seseorang kecuali dengan dalil yang kuat, yang tidak ada keraguan di dalamnya. Meskipun sebagian ulama memberikan tautsiq kepada Bahz bin Hakim, akan tetapi kandungan hadis yang dibawakannya dalam masalah ini, sangat bertentangan dengan hukum asal harta seorang muslim yang haram  diambil tanpa alasan yang bisa dibenarkan.

Selain itu, tidak ada perawi lain yang bisa menjadi mutaba’ah sehingga menguatkan riwayat Bahz bin Hakim. Dan bisa jadi setengah harta itu jumlah yang sangat besar bagi orang tertentu, sehingga mengambilnya tidak boleh didasarkan pada hadis semacam ini, apalagi bertentangan dengan hukum asal dan mengandung syubhat.

Yang lebih mendekati kebenaran dalam masalah ini, wallahu Ta’ala a’lam, adalah penguasa (ulil amri) menghukum dengan suatu hukuman yang betul-betul bisa memberikan efek jera bagi penolak zakat. Adapun mengambil (merampas) harta penolak zakat, sebaiknya tidak diterapkan atau tidak dilakukan. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ash-Shan’ani. (Lihat Subulus Salam, 2: 245)

Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

@Kantor Pogung, 14 Jumadil awal 1445/ 28 November 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/90424-hukuman-untuk-mereka-yang-menolak-membayar-zakat.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Hadis: Zakat Hewan Ternak (Bag. 1)

Pada serial kali ini, penulis akan membahas beberapa hadis terkait zakat hewan ternak yang terdapat dalam kitab Bulughul Maram, karya Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah. Tiga hadis pertama dalam serial tulisan ini adalah surat dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ketika mengutusnya ke negeri Bahrain. Beberapa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari di beberapa tempat dalam kitab Shahih-nya, kemudian dijadikan satu oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah. Untuk memudahkan pembahasan, hadis-hadis tersebut kami sebutkan secara terpisah.

Teks hadis pertama

Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، كَتَبَ لَهُ هَذَا الكِتَابَ لَمَّا وَجَّهَهُ إِلَى البَحْرَيْنِ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ هَذِهِ فَرِيضَةُ الصَّدَقَةِ الَّتِي فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى المُسْلِمِينَ، وَالَّتِي أَمَرَ اللَّهُ بِهَا رَسُولَهُ، «فَمَنْ سُئِلَهَا مِنَ المُسْلِمِينَ عَلَى وَجْهِهَا، فَلْيُعْطِهَا وَمَنْ سُئِلَ فَوْقَهَا فَلاَ يُعْطِ فِي أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ مِنَ الإِبِلِ، فَمَا دُونَهَا مِنَ الغَنَمِ مِنْ كُلِّ خَمْسٍ شَاةٌ إِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا وَعِشْرِينَ إِلَى خَمْسٍ وَثَلاَثِينَ، فَفِيهَا بِنْتُ مَخَاضٍ أُنْثَى، فَإِذَا بَلَغَتْ سِتًّا وَثَلاَثِينَ إِلَى خَمْسٍ وَأَرْبَعِينَ فَفِيهَا بِنْتُ لَبُونٍ أُنْثَى، فَإِذَا بَلَغَتْ سِتًّا وَأَرْبَعِينَ إِلَى سِتِّينَ فَفِيهَا حِقَّةٌ طَرُوقَةُ الجَمَلِ، فَإِذَا بَلَغَتْ وَاحِدَةً وَسِتِّينَ إِلَى خَمْسٍ وَسَبْعِينَ، فَفِيهَا جَذَعَةٌ فَإِذَا بَلَغَتْ يَعْنِي سِتًّا وَسَبْعِينَ إِلَى تِسْعِينَ، فَفِيهَا بِنْتَا لَبُونٍ فَإِذَا بَلَغَتْ إِحْدَى وَتِسْعِينَ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ، فَفِيهَا حِقَّتَانِ طَرُوقَتَا الجَمَلِ، فَإِذَا زَادَتْ عَلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ، فَفِي كُلِّ أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ وَفِي كُلِّ خَمْسِينَ حِقَّةٌ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ إِلَّا أَرْبَعٌ مِنَ الإِبِلِ، فَلَيْسَ فِيهَا صَدَقَةٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا، فَإِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا مِنَ الإِبِلِ، فَفِيهَا شَاةٌ وَفِي صَدَقَةِ الغَنَمِ فِي سَائِمَتِهَا إِذَا كَانَتْ أَرْبَعِينَ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ شَاةٌ، فَإِذَا زَادَتْ عَلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ إِلَى مِائَتَيْنِ شَاتَانِ، فَإِذَا زَادَتْ عَلَى مِائَتَيْنِ إِلَى ثَلاَثِ مِائَةٍ، فَفِيهَا ثَلاَثُ شِيَاهٍ، فَإِذَا زَادَتْ عَلَى ثَلاَثِ مِائَةٍ، فَفِي كُلِّ مِائَةٍ شَاةٌ، فَإِذَا كَانَتْ سَائِمَةُ الرَّجُلِ نَاقِصَةً مِنْ أَرْبَعِينَ شَاةً وَاحِدَةً، فَلَيْسَ فِيهَا صَدَقَةٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا وَفِي الرِّقَّةِ رُبْعُ العُشْرِ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ إِلَّا تِسْعِينَ وَمِائَةً، فَلَيْسَ فِيهَا شَيْءٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا

“Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu telah menulis surat ini kepadanya (tentang aturan zakat) ketika dia mengutusnya ke negeri Bahrain, “Bismillahirrahmaanirrahiim. Inilah kewajiban zakat yang telah diwajibkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap kaum muslimin dan seperti yang diperintahklan oleh Allah dan Rasul-Nya tentangnya. Barangsiapa dari kaum muslimin diminta tentang zakat sesuai ketentuan, maka berikanlah; dan apabila diminta melebihi ketentuan, maka jangan memberinya.

Yaitu (dalam ketentuan zakat unta), pada setiap dua puluh empat ekor unta dan yang kurang dari itu, zakatnya dengan kambing. Setiap 5 ekor unta, zakatnya adalah 1 ekor kambing. Apabila mencapai 25 hingga 35 ekor unta, maka zakatnya 1 ekor bintu makhadh betina. Apabila mencapai 36 hingga 45 ekor unta, maka zakatnya 1 ekor bintu labun betina. Jika mencapai 46 hingga 60 ekor unta, maka zakatnya satu ekor hiqqah yang sudah siap dibuahi oleh unta pejantan. Jika telah mencapai 61 hingga 75 ekor unta, maka zakatnya 1 ekor jadza’ah. Jika telah mencapai 76 hingga 90 ekor unta, maka zakatnya 2 ekor bintu labun. Jika telah mencapai 91 hingga 120 ekor unta, maka zakatnya 2 ekor hiqqah yang sudah siap dibuahi unta jantan. Apabila sudah lebih dari 120, maka ketentuannya adalah pada setiap kelipatan 40 ekor, zakatnya satu ekor bintu labun; dan setiap kelipatan 50 ekor, zakatnya satu ekor hiqqah. Dan barangsiapa yang tidak memiliki unta kecuali hanya 4 ekor saja, maka tidak ada kewajiban zakat baginya kecuali bila pemiliknya mau mengeluarkan sedekah. Karena hanya pada setiap 5 ekor unta, baru ada zakatnya yaitu 1 ekor kambing.

Dan untuk zakat kambing sa’imah (yang digembalakan, bukan dipelihara di kandang), ketentuannya adalah apabila telah mencapai jumlah 40 hingga 120 ekor, maka zakatnya adalah 1 ekor kambing. Apabila lebih dari 120 hingga 200 ekor, maka zakatnya 2 ekor kambing. Apabila lebih dari 200 hingga 300 ekor, maka zakatnya 3 ekor kambing. Apabila lebih dari 300 ekor, maka pada setiap kelipatan 100 ekor, zakatnya adalah 1 ekor kambing. Dan apabila seorang penggembala memiliki kurang satu ekor saja dari 40 ekor kambing, maka tidak ada kewajiban zakat baginya, kecuali jika pemiliknya mau mengeluarkan sedekah.

Dan untuk zakat uang perak (dirham), maka ketentuannya seperempat puluh apabila (telah mencapai dua ratus dirham). Dan apabila tidak mencapai jumlah itu namun hanya seratus sembilan puluh, maka tidak ada kewajiban zakatnya kecuali jika pemiliknya mau mengeluarkan sedekah.” (HR. Bukhari no. 1454)

Dalam redaksi yang lain disebutkan,

وَلاَ يُجْمَعُ بَيْنَ مُتَفَرِّقٍ، وَلاَ يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ خَشْيَةَ الصَّدَقَةِ

“Dan tidak boleh menggabungkan ternak yang terpisah dan tidak boleh memisahkan yang sudah berkumpul, karena ingin menghindari atau mengurangi kewajiban zakat.” (HR. Bukhari no. 1450)

Penjelasan teks hadis

Dalam hadis di atas, terdapat beberapa istilah yang perlu dijelaskan terlebih dahulu:

Bintu makhadh: Unta betina yang genap berusia satu tahun, dan saat ini memasuki tahun kedua. Disebut makhadh karena biasanya, induknya sudah hamil lagi. Ada istilah “makhidh”, yang artinya induk betina yang baru hamil dan hampir melahirkan. Meskipun demikian, tidaklah dipersyaratkan bahwa induknya harus sudah hamil untuk disebut sebagai bintu makhadh. Hal ini karena penamaan tersebut disesuaikan dengan kondisi pada umumnya.

Bintu labun: Unta betina yang genap berusia dua tahun, dan saat ini memasuki tahun ketiga. Disebut demikian karena pada umumnya, induknya biasanya sudah beranak lagi, dan memiliki susu.

Hiqqah: Unta betina yang genap berumur tiga tahun, dan saat ini memasuki tahun keempat. Disebut demikian karena pada usia tersebut, unta itu sudah bisa dinaiki dan diberi beban berupa barang bawaan di atasnya; atau sudah bisa dibuahi oleh unta jantan.

Jadza’ah: Unta betina yang genap berumur empat tahun, dan saat ini memasuki tahun kelima. Disebut demikian karena pada saat itu, giginya sudah rontok. Ini adalah umur unta yang paling tua yang digunakan untuk membayar zakat. Karena pada saat itu, unta tersebut telah mencapai pertumbuhan yang sempurna.

Baca juga: Masuk Surga dan Neraka karena Hewan

Kandungan hadis pertama

Pertama, hadis ini adalah dalil tentang wajibnya zakat unta jika mencapai minimal lima ekor. Untuk setiap lima ekor unta, zakatnya adalah satu ekor kambing. Sehingga yang memiliki dua puluh ekor unta, zakatnya adalah empat ekor kambing. Dalam ketentuan ini, syariat membuat ketentuan bahwa zakat untuk unta di bawah 25 ekor adalah berupa kambing. Padahal, zakat untuk setiap harta itu biasanya sejenis dengan harta yang dimiliki, unta dengan unta, emas dengan emas, dan seterusnya. Mengapa unta di bawah 25 ekor itu kewajiban zakatnya dengan kambing, karena unta sejumlah itu masih dianggap kecil (sedikit) oleh pemiliknya. Meskipun demikian, unta 5 ekor sebetulnya harta yang besar; apabila tidak ada kewajiban zakat, hal itu bisa menghilangkan manfaat untuk orang-orang fakir. Akan tetapi, jika kewajiban zakatnya adalah berupa 1 ekor unta, itu merupakan harta yang sangat berharga untuk pemiliknya, karena nanti untanya tinggal empat. Maka dari sini, tampaklah kebijaksanaan syariat dalam ketentuan zakat unta ini. Adapun yang hanya memiliki empat ekor unta, maka tidak ada kewajiban zakatnya, kecuali jika pemiliknya ingin bersedekah sunah.

Kedua, untuk memudahkan, kadar wajib zakat unta kami ringkas sebagaimana tabel berikut ini.

Nishab (jumlah unta)Kadar wajib zakat
5-9 ekor1 kambing
10-14 ekor2 kambing
15-19 ekor3 kambing
20-24 ekor4 kambing
25-35 ekor1 bintu makhadh
36-45 ekor1 bintu labun
46-60 ekor1 hiqqah
61-75 ekor1 jadza’ah
76-90 ekor2 bintu labun
91-120 ekor2 hiqqah
121 ekor ke atas, kaidahnya: setiap kelipatan 40 ekor: 1 bintu labun; setiap kelipatan 50 ekor: 1 hiqqah
121 – 129 ekor3 bintu labun
130 – 139 ekor1 hiqqah dan 2 bintu labun
140 – 149 ekor2 hiqqah dan 1 bintu labun
150 – 159 ekor3 hiqqah
160 – 169 ekor4 bintu labun
Dan seterusnya …

Untuk 121 ekor ke atas, jika seseorang memiliki 130 ekor unta (misalnya), maka kewajiban zakatnya adalah: 1 hiqqah dan 2 bintu labun. Setiap kali ada penambahan 10 ekor unta, maka kewajiban zakatnya berubah. Adapun jika penambahannya kurang dari sepuluh, maka dimaafkan (tidak ada penambahan zakat yang dibayarkan). Misalnya, untuk 140 ekor unta, kewajiban zakatnya adalah 2 hiqqah dan 1 bintu labun. Sedangkan untuk 150 ekor unta, kewajiban zakatnya adalah 3 hiqqah. Dan demikianlah seterusnya.

Ketiga, hadis tersebut merupakan dalil wajibnya zakat untuk kepemilikan kambing. Kambing yang wajib dizakati adalah kambing sa’imah; sehingga jika bukan kambing sa’imah, tidak dikenai kewajiban zakat. Persyaratan sa’imah ini tidak disebutkan ketika menyebutkan unta. Hal ini karena pada umumnya, unta itu adalah sa’imah, berbeda dengan kambing.

Lalu, apa itu sa’imah? Sa’imah artinya hewan yang digembalakan di padang rumput untuk mencari makan, bukan dengan membeli pakan khusus ternak untuk kebutuhan makannya, atau dengan membeli tanaman atau rumput untuk memberi makan (disebut dengan hewan ma’lufah). Para ulama fikih mempersyaratkan bahwa untuk disebut sa’imah, hewan tersebut digembalakan di mayoritas bulan dalam setahun, misalnya tujuh bulan. Hal ini karena untuk mayoritas, diberlakukan sama hukumnya seperti keseluruhan.

Adapun hewan ma’lufah, maka tidak ada kewajiban zakatnya, kecuali jika hewan tersebut digunakan sebagai barang yang diperdagangkan. Hewan seperti ini akan dikenai zakat barang yang diperdagangkan, meskipun hanya satu ekor saja. Hewan ma’lufah tidak dikenai kewajiban zakat karena biaya untuk memberi pakan ternak yang mahal, sehingga tentu saja memberatkan jika masih ditambah dengan kewajiban zakat.

Keempat, untuk memudahkan, kadar wajib zakat kambing kami ringkas sebagaimana tabel berikut ini.

Nishab (jumlah kambing)Kadar wajib zakat
40-120 ekor1 kambing
121-200 ekor2 kambing
201-300 ekor3 kambing
301 ekor ke atasPada setiap kelipatan seratus ekor, zakatnya adalah satu ekor kambing.

Kelima, adanya al-waqash (الوقص) dalam zakat hewan ternak. Al-waqash adalah jumlah hewan ternak yang terletak di antara dua kelompok. Kita ambil contoh, untuk orang yang memiliki 25-35 ekor unta, kewajiban zakatnya adalah 1 bintu makhadh. Sama saja apakah orang itu memiliki 25, 26, atau 30 ekor unta, kewajiban zakatnya sama, yaitu 1 bintu makhadh. Artinya, adanya penambahan harta berupa hewan ternak, tidak otomatis menyebabkan penambahan harta yang dikeluarkan untuk zakat. Begitu pula dengan zakat kambing. Orang yang memiliki 40, atau 50, atau 60 ekor kambing, kewajiban zakatnya sama, yaitu 1 ekor kambing.

Adanya al-waqash dalam zakat hewan ternak ini menunjukkan belas kasihnya syariat terhadap pemilik hewan ternak. Karena hewan ternak ini memerlukan biaya perawatan yang besar, baik tenaga untuk menggembalakan, memberi minum, menjaga, biaya pengobatan (jika sakit), atau tenaga untuk memerah susu, dan sebagainya. Hal ini hanya dialami oleh pemilik hewan ternak, berbeda halnya dengan pemilik harta yang lain berupa emas atau perak. Oleh karena itu, jika harta berupa emas atau perak bertambah setelah mencapai nishab, maka jumlah yang harus dikeluarkan zakatnya juga akan semakin besar.

Keenam, hadis di atas menunjukkan haramnya perbuatan akal-akalan untuk menghindari kewajiban zakat, yaitu dengan memisahkan hewan ternak, padahal seharusnya dijadikan satu. Misalnya, seseorang memiliki 40 ekor kambing. Ketika dia tahu bahwa akan ada petugas zakat, dia memisahkan hewan ternaknya di dua lokasi, 20 ekor di satu lokasi, 20 ekor sisanya di lokasi lainnya. Sehingga seolah-olah kambingnya masih berada di bawah nishab 40 ekor.

Atau sebaliknya, dia menjadikan satu, padahal seharusnya terpisah. Contohnya, ada tiga orang yang masing-masing memiliki 40 ekor kambing. Seharusnya, setiap orang wajib mengeluarkan zakat 1 kambing, sehingga totalnya menjadi 3 kambing. Agar zakat yang dikeluarkan tidak terlalu besar, maka mereka menjadikan satu kambing-kambing tersebut sehingga seolah-olah jumlahnya 120 ekor kambing (dalam satu satuan kepemilikan). Sedangkan jika 120 kambing, kewajiban zakatnya adalah 1 ekor kambing. Sehingga dengan akal-akalan ini, mereka untung 2 ekor kambing.

Ketujuh, hadis di atas menunjukkan adanya berserikat (khulthoh), yaitu berserikat dalam kepemilikan hewan ternak, bukan harta yang lainnya. Khulthoh ini memiliki pengaruh dalam ada atau tidaknya kewajiban zakat. Hal ini karena dengan adanya khulthoh, harta tersebut dihukumi seperti harta yang satu dalam kaitannya dengan kewajiban zakat.

Misalnya, ada dua orang yang mendapatkan warisan 40 ekor kambing, masing-masing mendapatkan jatah 20 ekor kambing. Maka kewajiban zakatnya adalah 1 ekor kambing. Jika 1 ekor kambing tersebut diambil dari kambing salah satu pemilik, maka pemilik lainnya harus mengganti senilai harga setengah ekor kambing.

Contoh lain, jika ada dua orang berserikat membeli 40 ekor kambing, satu orang menyumbang 1/3 bagian; dan orang kedua menyumbang 2/3 bagian modal. Jika 1 ekor kambing diambil dari pemilik modal 1/3, maka orang yang lain wajib mengganti senilai harga 2/3 ekor kambing.

[Bersambung]

***

@Rumah Kasongan, 16 Jumadil awal 1445/ 30 November 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/90562-zakat-hewan-ternak-bag-1.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Apakah Korban PHK Wajib Membayar Zakat? 

Berikut ini penjelasan terkait apakah korban PHK wajib membayar zakat? Pasalnya, di saat Covid-19 ini banyak masyarakat Indonesia yang menjadi korban Pumutusan Hubungan Kerja (PHK). Berikut penjelasannya.  

 Selain shalat dan puasa, rukun-rukun Islam lain yang juga wajib untuk dilakukan oleh semua umat Islam adalah mengeluarkan zakat, atas semua harta benda yang dimilikinya, baik berupa barang, tanaman, perdagangan dan semacamnya.

Rukun Islam nomor tiga setelah shalat ini sudah sangat maklum perihal kewajibannya. Dan, para ulama sejak dahulu sudah memutuskan semua itu. Sebab, Al-Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas, telah memberikan keputusan akan kewajiban zakat. Dalam Al-Qur’an, Allah swt. berfirman:

وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama dengan orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 43).

Dengan berdasarkan ayat ini, terbentuklah sebuah kesepakatan (konsensus) ijma’ dari para ulama, bahwa wajib mengeluarkan zakat bagi semua umat Islam tanpa terkecuali. Dan, orang yang ingkar akan kewajibannya, sama artinya ia ingkar pada ketentuan Allah dan rasul-Nya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya, ia mengatakan:

وُجُوْبُ الزَّكَاةِ مَعْلُوْمٌ مِنْ دِيْنِ اللهِ ضُرُوْرَةً فَمَنْ جَحَدَ وُجُوْبَهَا فَقَدْ كَذَبَ اللهَ وَكَذَبَ رَسُوْلَهُ

Artinya, “Kewajiban zakat sudah diketahui dari agama Allah (Islam) secara pasti. Maka, siapa yang ingkar akan kewajibannya, maka sungguh telah mengingkari Allah dan rasul-Nya.” (Imam Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 2001], juz V, halaman 331).

Kendati demikian, Islam sebagai agama universal dan paripurna, yang memiliki visi dan misi tidak memberi beban pada pemeluknya, perihal beberapa kewajiban-kewajiban dan ketentuan yang tidak mereka mampu, tentu memberikan dispensasi (keringanan) terhadap semuanya, termasuk zakat.

Selain itu, pada bulan puasa Ramadhan, Allah tidak hanya mewajibkan puasa bagi semua umat Islam, ada kewajiban lain yang juga harus dipenuhi oleh mereka, yaitu untuk mengeluarkan zakat fitrah, sebagai penyempurna dari puasanya selama satu tahun.

Kewajiban yang satu ini tentu tidak memandang ras dan suku, siapa saja yang beragama Islam maka wajib untuk mengeluarkannya. Hanya saja, Islam memberikan sebuah keringanan bagi mereka yang tidak mampu untuk mengeluarkan zakat fitrah.

Orang-orang yang tidak memiliki harta, misalnya, baik harta dagangan, harta pertanian, mereka tidak memiliki kewajiban zakat. Misalnya, orang fakir, yaitu orang tidak memiliki pekerjaan tetap dan tidak memiliki pemasukan (uang) dalam setiap harinya, maka orang yang seperti ini tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat.

Orang yang tidak wajib mengeluarkan zakat lainnya, adalah orang miskin, yaitu orang yang masih memiliki pemasukan (usaha) untuk menghidupi keluarganya, hanya saja semua hasil pemasukan tersebut tidak bisa memenuhi kebutuhannya dalam setiap hari.

Nah, dua orang dalam contoh di atas tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat. Semua itu tidak lain disebabkan syariat Islam merupakan ajaran mudah yang tidak pernah memberatkan bagi pemeluknya perihal kewajiban yang tidak mereka mampu. Nah, apakah orang yang di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) juga gugur kewajiban zakatnya? Mari kita bahas.

PHK dan Kewajiban Zakat

Perlu diketahui, bahwa orang yang di PHK adalah orang yang sebelumnya pernah memiliki pekerjaan tetap, dan penghasilan yang cukup. Hanya saja, ia dipecat dan akhirnya tidak lagi memiliki penghasilan dalam kebutuhan kesehariannya.

Orang-orang yang di PHK dalam ajaran Islam, terbagi menjadi dua bagian, ada yang masih mampu untuk mengeluarkan zakat fitrah, karena memiliki tabungan yang banyak misalnya, maka orang yang seperti masih memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah, sekalipun statusnya adalah orang yang di PHK.

Kedua, yaitu orang di PHK yang semua hartanya tidak ada. Sebab, selama ia bekerja, semua penghasilannya sudah cukup digunakan untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya, sehingga ketika ia harus di PHK, maka sama halnya ia tidak memiliki harta sedikit pun.

Nah, orang yang seperti ini dalam kitab-kitab turats dikenal dengan istilah mu’sir (orang yang tidak mampu). Apakah wajib zakat? Simak penjelasan berikut.

Imam Ibnu Hajar al-Haitami (wafat 974 H), dalam salah satu kitabnya memposisikan orang mi’sir (tidak mampu), sebagai orang yang tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah. Akan tetapi, gugurnya kewajiban ini apabila tidak mampunya di saat yang bersamaan dengan kwajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah.

Misalnya, orang di PHK pada bulan Ramadhan, dan tidak memiliki uang yang cukup untuk mengeluarkan zakat fitrah, maka kewajibannya gugur. Namun, jika di PHK pada sebelum bulan Ramadhan, dan ketika sudah memasuki bulan Ramadhan telah menemukan pekerjaan baru, misalnya, maka orang yang seperti ini tetap memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah.

Berbeda, jika misalnya ada orang di PHK di bulan Ramadhan, kemudian selama bulan Ramadhan ia tidak menemukan pekerjaan baru, usaha baru, dan penghasilan baru, kemudian di bulan selanjutnya menemukan pekerjaan tersebut, maka ia tetap tidak memiliki kewajiban mengeluarkan zakat. Sebab, waktu kewajibannya telah berlalu. Perhatikan penjelasan berikut,

 (وَلَا) فِطْرَةَ عَلَى (مُعْسِرٍ) وَقْتَ الْوُجُوبِ إجْمَاعًا وَإِنْ أَيْسَرَ بَعْدُ

Artinya, “Tidak wajib zakat fitrah bagi orang yang tidak mampu (mengeluarkan) pada saat waktu wajibnya (mengeluarkan zakat) secara ijma’ (konsensus), sekalipun ia menjadi mampu setelah waktu wajib.” (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatu al-Muhtaj fi Syarhi al-Minhaj, [Mesir, Maktabah at-Tijariyah Kubra: 1983], juz XII, halaman 406).

Alhasil, orang yang tidak mampu mengeluarkan zakat fitrah, termasuk orang yang di PHK, tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah, dan tidak pula wajib untuk menggantinya (qadha).

Sebab, mengganti zakat fitrah hanya berlaku bagi orang yang mampu mengeluarkan zakat fitrah, hanya saja ia tidak membayarnya.

Demikian penjelasan terkait  apakah korban PHK Wajib membayar zakat? Wallahu a’lam bisshawab.

BINCANG SYARIAH

Zakat: Siapa Saja yang Berhak Menerima Zakat di Saat Ini?

Zakat memiliki makna khusus bagi umat Islam dan zakat hukumnya wajib bagi semua Muslim yang mampu secara finansial untuk memberikan minimal 2,5% dari akumulasi kekayaan mereka untuk kepentingan orang miskin. Zakat juga berarti penyucian atau bertumbuh.

Menurut sebuah laporan oleh Global Humanitarian Assistance: Indonesia, Malaysia, Qatar, Arab Saudi dan Yaman, yang merupakan sekitar 17% dari perkiraan populasi Muslim dunia, menunjukkan bahwa di negara-negara ini saja setidaknya Rp. 82,4 triliun saat ini dikumpulkan dalam Zakat setiap tahun.

Diperkirakan volume global Zakat yang dikumpulkan setiap tahun melalui jalur formal, setidaknya mencapai puluhan triliun rupiah. Jika kita juga mempertimbangkan Zakat yang dibayarkan melalui jalur informal, jumlah sebenarnya lebih dari nominal tersebut.

Mari kita lihat ayat Al-Qur’an yang mengatur tentang zakat:

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana [QS. At-Taubah (9): 60].

Dalil dan ketentuan pembagian zakat sudah ditetapkan oleh Allah SWT dalam ayat di atas. Karenanya, tulisan ini akan menjabarkan lebih detail siapa saja yang berhak menerima zakat khusus di zaman ini dan bagaimana mendistribusikannya.

Orang miskin

Definisi orang miskin akan berbeda dari satu tempat ke tempat lain dan juga dalam ukuran keluarga. Sekitar 767 juta orang di dunia hidup dengan penghasilan kurang dari rata-rata Rp. 30.000 per hari.

Orang yang membutuhkan

Definisi yang membutuhkan di sini merupakan orang yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya terpenuhi dengan baik.

Kebutuhan dasar meliputi makanan, pakaian dan tempat tinggal serta obat-obatan jika diperlukan. Ini juga dapat mencakup transportasi jika orang yang membutuhkan membutuhkannya untuk pergi bekerja.

Mereka mungkin berpenghasilan di atas garis kemiskinan tetapi mungkin tidak dalam posisi memiliki kemampuan dalam mengurus kebutuhan lainnya seperti obat-obatan atau makanan, transportasi atau pakaian mereka dengan benar.

Orang yang Bertanggung Jawab akan Hal ini

Termasuk orang-orang yang mengelola dana zakat baik di masjid maupun di lembaga lain. Jika seorang Imam masjid terlibat dalam pengumpulan dana zakat, ia dapat memenuhi syarat untuk menerima dari ketentuan pembagian zakat.

Orang yang Hatinya Dimenangkan

Mencakup muallaf, orang baru memeluk Islam, dan semua orang yang mungkin belum pernah mendengar tentang Islam atau yang mungkin memiliki sikap negatif terhadap Islam dan Muslim.

Dalam kategori ini termasuk individu dan kelompok yang terlibat dalam pekerjaan hubungan masyarakat untuk Islam, kelompok Muslim yang terlibat dalam pekerjaan antaragama dan antarkomunitas, media Muslim yang terutama ditujukan untuk mempromosikan Islam, universitas, dan perguruan tinggi yang mengajarkan Islam kepada non-Muslim.

Untuk Membebaskan Manusia dari Perbudakan

Ada 40 juta orang yang hidup dalam perbudakan di dunia kita saat ini. Ada sekitar 42 juta anak perempuan, wanita, dan anak laki-laki yang terpaksa menjual tubuhnya kepada orang lain karena tidak punya mata pencaharian lain. Juga, ada sekitar satu juta keluarga yang karena kemiskinan terpaksa menjual anak-anak mereka kepada orang lain (Islamic City, 2022).

Mereka yang Terbebani Utang

Orang-orang yang berutang termasuk mereka yang berada di atas garis kemiskinan dan yang kebutuhan dasarnya juga ditutupi serta terbebani oleh utang sedemikian rupa sehingga mereka tidak dapat melaksanakan tanggung jawab rumah tangga mereka dengan baik.

Untuk Setiap Perjuangan di Jalan Allah SWT

Ini termasuk mereka yang berada di luar sana untuk menyebarkan firman Allah SWT dan yang membela keadilan sosial dan kesetaraan serta melawan penindasan.

Untuk Para Musafir

Mereka yang berpergian dengan kemampuan terbatas atau orang-orang terlantar termasuk pengungsi atau bahkan tunawisma.

Kemudian, bagaimana seharusnya zakat didistribusikan?

Zakat bisa dilakukan secara individua tau bisa dilakukan melalui organisasi, badan amil, lembaga khusus zakat dan masjid yang memiliki keahlian di bidang ini.

Situasi yang ideal adalah memiliki badan pusat di setiap negara bagian atau kota untuk mengumpulkan dana zakat secara transparan. Syukurnya kita memiliki banyak lembaga yang kompatibel dalam urusan Zakat seperti BAZNAS.

Lalu, kelompok pengumpul dan individu harus mendidik masyarakat tentang pemusatan sumber daya dan kemudian melalui konsultasi dengan orang-orang terpercaya dari masyarakat mendistribusikan ke penerima di setiap kategori.

Selain itu, yang penting disadari juga adalah ketika zakat disalurkan melalui lembaga dan masjid, maka masyarakat harus diberitahu tentang distribusinya. Dengan kata lain, harus ada transparansi mutlak dalam pengumpulan dan pendistribusian zakat.

ISLAM KAFFAH

Memburu Cinta Allah Melalui Ibadah Zakat

Zakat dalam Islam merupakan sebuah perintah Allah SWT yang harus ditunaikan oleh setiap insan yang mengaku muslim dan mampu mengeluarkannya. Ia termasuk dari salah satu rukun Islam yang lima dan menempati urutan yang ke tiga setelah shalat dan puasa

Perintah menunaikan zakat tersebut terekam jelas di dalam Alquran. Di dalam Alquran dijelaskan bahwa harta yang dimilikinya sejatinya merupakan titipan Allah SWT yang harus diteruskan kepada orang lain yang lebih membutuhkan. 

Dalam arti, bahwa setiap hamba merupakan persambungan tangan Allah untuk meneruskan amanatnya kepada penduduk bumi. Sebagai wakil Tuhan, maka dia tidak boleh koruspi atas tugas-tugas yang sedang ia emban tersebut agar senantiasa menjadi pemimpin yang amanah, loyal, integritas dan peduli terhadap sesamanya.

Sesungguhnya harta yang dimiliki oleh setiap insan tersebut merupakan titipan Allah yang harus disampaikan kepada orang-orang yang lebih berhak menerimanya. Karena itu harus disalurkan. Perintah zakat sejatinya merupakan serangkaian kegiatan ibadah yang bertujuan untuk mengembalikan harta tersebut kepada mereka yang lebih berhak menerima dan membutuhkan daripadanya. Dalam Alquran berbunyi:

وفي اموالهم للسآئل والمحروم

  “Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta” (QS. Adz-Dzariyat, ayat 19).

Rifqi Fairuz, mengutip pernyataan Prof. Quraish Shihab dalam bukunya “Islam Yang Saya Anut; dasar-dasar Ajaran Islam”, menjelaskan bahwa dalam al-Quran, redaksi perintah zakat sering menggunakan kata “aatu az-zakat”. 

Kata aatu ini merupakan akar dari beragam kata dengan ragam makna, antara lain: istiqamah, cepat, segera dan bergegas melakukan sesuatu, mengantar, dan memudahkan jalan. Dari sini, ragam kata redaksi perintah zakat tersebut memiliki hikmah tersendiri dalam pelaksanaan zakat (islami.co 22 Mei 2020).

Jadi, perintah zakat menjadi sebuah keharusan yang harus disegerakan supaya semua hamba-Nya dapat merasakan kenikmatan yang sudah Allah siapkan untuk mereka. Dalam kitab Al Mawaidz Al ‘Ushfuriyyah karya Syekh Muhammad bin Abu Bakar Al-Ushfuri dijelaskan bahwa Allah memiliki sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim.

Dengan sifat Ar-Rahman, Allah masih memberikan haknya kepada hamba-hamba-Nyalaya meskipun ia ingkar, layaknya makan, tempat tidur dan seluruh kebutuhan hidupnya secara menyeluruh kepada seluruh hamba, tidak terkecuali kepada mereka yang beragama non-muslim.

Lihat misalnya kisah Nabi Ibrahim as yang mendapatkan teguran dari Allah lantaran enggan memberikan makanan kepada non-muslim. Kepada non-muslim saja Allah tetap memberikan haknya terus kenapa dalam urusan mengeluarkan zakat yang merupakan kewajiban pokok umat muslim masih berat melakukannya?. 

Syekh Muhammad bin Abu Bakar Al-Ushfuri mengutip sebuah hadist: 

الراحمون يرحمهم الرحمن، ارحموا من في الارض يرحمكم من في السماء

“Para Penyayang itu akan disayang Allah, Sayangilah siapapun yang ada di bumi, niscaya ia akan disayang oleh para penduduk yang ada di langit”.

Hadis tersebut menekankan akan pentingnya untuk saling mencintai satu sama lain. Mencintai harus dasar ikhlas. Karena hal itu akan menyebabkan dirinya disayang Tuhan. Melalui perintah zakat sejatinya adalah untuk menanamkan rasa spirit saling cinta untuk sesamanya supaya terjalin rasa simpati dan empati di antara mereka.

Sebelumnya, sudah dilakukan serangkaian ibadah puasa selama satu bulan penuh untuk membangkitkan semangat solidaritas, sehingga melalui pendidikan puasa tersebut agar seluruh umat muslim dapat merasakan lapar sebagaimana telah dirasakan selama ini oleh saudaranya yang fakir dan miskin tersebut. 

Dengan demikian, dengan memasukkan kebagian melalui pendidikan zakat tersebut, kata Syekh Muhammad bin Abu Bakar, mengutip hadist yang lain, adalah lebih baik dari beribadah 60 tahun (hal. 155).

Alhasil, di dalam menunaikan ibadah zakat fitrah di sini harus dilepaskan dari rasa sesuatu apapun yang sekiranya dapat mengotori niat baik untuk menjalankan tugasnya berupa ibadah zakat ini. 

Dalam menunaikan ibadah zakat ini harus dengan dasar ikhlas supaya menjadi hamba yang dapat disayang Tuhan, didasari rasa sayang dan tanpa pamrih (QS. Al-Baqarah, (2): 264). Inilah kata Syekh Abdul Qodir Jailani yang disebut berinfak di jalan Allah (Ali Imran, (3): 92). Selamat Merenungkan pesan-pesan Allah SWT yang sarat dengan cinta. (*)

BINCANG SYARIAH

Apakah Zakat Fitrah Harus Dibagikan Pada 8 Golongan, atau Hanya untuk Fakir-Miskin?

Kewajiban zakat fitrah harus didistribusikan kepada orang-orang yang telah ditentukan. Namun, praktek yang sering terjadi di masyarakat adalah penyerahan zakat fitrah hanya kepada golongan fakir dan miskin saja. Lantas, Apakah zakat fitrah harus dibagikan kepada seluruh golongan delapan (asnaf tsamaniyah) atau khusus diberikan pada fakir-miskin?

Dalam literatur kitah fikih Syafi’i, pendistribusian zakat fitrah sama dengan pembagian zakat mal yaitu didistribusikan kepada delapan kelompok. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Muhazzab, juz 6, halaman 185 berikut,

وَيَجِبُ صَرْفُ جَمِيعِ الصَّدَقَاتِ إِلَى ثَمَانِيَةِ أَصْنَافٍ وَهُم الْفُقَرَاءُ وَالْمَسَاكِينُ وَالْعَامِلُونَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلِّفَةُ قَلُووبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمُونَ وَفِى سَبِيلِ اللهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ….. (وَقَالَ)أَبُو سَعِيدَ الاُصْطُخْرِيُّ تُصَرَّفُ زَكَاةُ الْفِطْرِ إِلَى ثَلَاثَةٍ مِنَ الْففُقَرَاءِ لَأَنَّهُ قَدْرٌ قَلِيلٌ

Artinya : “Wajib mendistribusikan seluruh sedekah kepada delapan golongan. Mereka adalah orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat para muallaf, budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Abū Sa’īd al-Ustukhrī berkata, bahwa zakat fitrah disalurkan pada tiga orang fakir karena kadar yang sedikit.”

Namun demikian, pendapat yang masyhur dari kalangan Syafii ini ditolak oleh Ibnu Qayyim. Menurutnya, zakat fitrah itu khusus diberikan kepada fakir-miskin. Sebab Rasulullah Saw, sahabat dan generasi sesudahnya tidak pernah memberikan zakat fitrah kecuali kepada fakir-miskin. 

Pendapat ini adalah pendapat yang lebih shahih dan juga didukung oleh mazhab Imam Malik . dan salah satu riwayat dari mazhab al-Syafi’i.  Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fiqh al-Zakat juz 2, halaman 241 berikut

هَلْ تُفَرَّقُ عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ؟ وَهَلْ يَقْتَصِرُ صَرْفُهَا عَلَى الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ أَمْ تَعَمُّمٌ عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ ؟ الْمَشْهُورَ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهُ يَجِبُ صَرْفُ الفُطْرَةِ إِلَى الأَصْنَافِ الَّذِينَ تُصْرَفُ إِلَيْهِمْ زَكَاةُ الْمَالِ، وَهُمْ المَذْكُوْرُنَ فِي آيَةٍ:(إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ التَّوْبَةَ: (60), وَتَلْزَمُ قِسْمَتُهَا بَيْنَهُمْ بِالسَّوِيَّةِ (الْمَجْمُوعَ 144/6)، وَهُوَ مَذْهَبُ اِبْنِ حَزْمٍ، فَإِذَا فَرَّقَهَا المُزَكِّي بِنَفْسِهِ سَقَطَ سَهْمُ الْعَامِلِينَ لِعَدَمِ وُجُودِهِمْ، وَالْمُؤَلَّفَةِ لِأَنَّ أَمْرَهُمْ إِلَى الْإمَامِ لَا إِلَى غَيْرِهِ (الْمَحَلِّي : (145-143/6)

وَرَدَّ اِبْنُ الْقَيِّمِ عَلَى هَذَا الرَّأْيِ فَقَالَ:” وَكَانَ مِنْ هَدْيِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-تَخْصِيصُ الْمَسَاكِينِ بِهَذِهِ الصَّدَقَةِ، وَلَمْ يَكُنْ يُقَسِّمُهَا عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ قَبْضَة قَبْضَة، وَلَا أَمْرٌ بِذَلِكَ، وَلَا فَعَلَهُ  أحَدٌ مِنْ أَصْحَابِهِ، وَلَا مَنْ بَعْدَهُمْ بَلْ أحَدُ الْقَوْلَيْنِ عِنْدَنَا: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ إِخْرَاجُهَا إِلَّا عَلَى الْمَسَاكِينِ خَاصَّةً. وَهَذَا الْقَوْلُ أَرْجَحُ مِنَ الْقَوْلِ بِوُجُوبِ قِسْمَتِهَا عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ وَعِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ: إِنَّمَا تُصْرَفُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ، وَلَا تُصْرَفُ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا وَلَا لِمُؤَلَّفِ قَلْبِهِ، وَلَا فِي الرِّقَابِ، وَلَا لِغَارِمٍ وَلَا لِمُجَاهِدٍ وَلَا لِاِبْنِ سَبِيلٍ يَتَوَصَّلُ بِهَا لِبَلَدِهِ، بَلْ لَا تُعْطَى إِلَّا بِوَصْفِ الْفَقْرِ.

Artinya : “Apakah zakat fitrah dibagikan kepada delapan golongan? Dan apakah pendistribusian zakat fitrah hanya dicukupkan terhadap fakir dan miskin ataukah dibagikan secara merata kepada delapan golongan? 

Yang masyhur dalam mazhab Syafi’i bahwasanya zakat fitrah wajib didistribusikan pada golongan yang dalam zakat mal mendapatkan bagian, sebagaimana tertera dalam ayat “Innama assshadaqatu” dan wajib dibagi secara merata. 

Ini merupakan mazhab Ibnu Hazm, Ibnu al-Qayyim menolak pendapat ini seraya berkata, “Termasuk dari petunjuk Rasulullah Saw adalah mengkhususkan shadaqah pada orang-orang miskin, tidak memberikan shadaqah pada delapan golongan secara merata, tidak memerintahkan. 

Hal itu, tak seorang pun dari sahabat melakukannya, demikian pula orang-orang setelah sahabat. Akan tetapi, salah satu dari dua pendapat dari kalangan kita, tidak boleh menyalurkan zakat fitrah kecuali kepada orang-orang miskin secara khusus. 

Pendapat ini lebih unggul dibandingkan perkataan orang yang mewajibkan pembagian zakat pada delapan golongan.

Menurut malikiyah, zakat fitrah hanya diberikan pada fakir dan miskin, tidak boleh diberikan pada pengurus zakat dan yang lemah imannya, memerdekakan budak, orang yang berhutang, prajurit, dan ibnu sabil yang dapat sampai ke negerinya melalui zakat fitrah, bahkan  tidak dapat diberikan terkecuali memiliki sifat fakir.”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa menurut mazhab Syafi’i, pendistribusian zakat fitrah sama dengan pembagian zakat mal yaitu didistribusikan kepada delapan kelompok.

Tetapi, pendapat dari kalangan Syafi’i ini ditolak oleh Ibnu Qayyim. Menurutnya, zakat fitrah itu khusus diberikan kepada fakir-miskin. Sebab Rasulullah Saw, sahabat dan generasi sesudahnya tidak pernah memberikan zakat fitrah kecuali kepada fakir-miskin.

Pendapat ini adalah pendapat yang lebih sahih dan juga didukung oleh mazhab Imam Malik. Demikian penjelasan mengenai hukum zakat fitrah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Apakah Korban PHK Wajib Membayar Zakat?

Berikut ini penjelasan terkait apakah korban PHK wajib membayar zakat? Pasalnya, di saat Covid-19 ini banyak masyarakat Indonesia yang menjadi korban Pumutusan Hubungan Kerja (PHK). Berikut penjelasannya.  

 Selain shalat dan puasa, rukun-rukun Islam lain yang juga wajib untuk dilakukan oleh semua umat Islam adalah mengeluarkan zakat, atas semua harta benda yang dimilikinya, baik berupa barang, tanaman, perdagangan dan semacamnya.

Rukun Islam nomor tiga setelah shalat ini sudah sangat maklum perihal kewajibannya. Dan, para ulama sejak dahulu sudah memutuskan semua itu. Sebab, Al-Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas, telah memberikan keputusan akan kewajiban zakat. Dalam Al-Qur’an, Allah swt. berfirman:

وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama dengan orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 43).

Dengan berdasarkan ayat ini, terbentuklah sebuah kesepakatan (konsensus) ijma’ dari para ulama, bahwa wajib mengeluarkan zakat bagi semua umat Islam tanpa terkecuali. Dan, orang yang ingkar akan kewajibannya, sama artinya ia ingkar pada ketentuan Allah dan rasul-Nya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya, ia mengatakan:

وُجُوْبُ الزَّكَاةِ مَعْلُوْمٌ مِنْ دِيْنِ اللهِ ضُرُوْرَةً فَمَنْ جَحَدَ وُجُوْبَهَا فَقَدْ كَذَبَ اللهَ وَكَذَبَ رَسُوْلَهُ

Artinya, “Kewajiban zakat sudah diketahui dari agama Allah (Islam) secara pasti. Maka, siapa yang ingkar akan kewajibannya, maka sungguh telah mengingkari Allah dan rasul-Nya.” (Imam Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 2001], juz V, halaman 331).

Kendati demikian, Islam sebagai agama universal dan paripurna, yang memiliki visi dan misi tidak memberi beban pada pemeluknya, perihal beberapa kewajiban-kewajiban dan ketentuan yang tidak mereka mampu, tentu memberikan dispensasi (keringanan) terhadap semuanya, termasuk zakat.

Selain itu, pada bulan puasa Ramadhan, Allah tidak hanya mewajibkan puasa bagi semua umat Islam, ada kewajiban lain yang juga harus dipenuhi oleh mereka, yaitu untuk mengeluarkan zakat fitrah, sebagai penyempurna dari puasanya selama satu tahun.

Kewajiban yang satu ini tentu tidak memandang ras dan suku, siapa saja yang beragama Islam maka wajib untuk mengeluarkannya. Hanya saja, Islam memberikan sebuah keringanan bagi mereka yang tidak mampu untuk mengeluarkan zakat fitrah.

Orang-orang yang tidak memiliki harta, misalnya, baik harta dagangan, harta pertanian, mereka tidak memiliki kewajiban zakat. Misalnya, orang fakir, yaitu orang tidak memiliki pekerjaan tetap dan tidak memiliki pemasukan (uang) dalam setiap harinya, maka orang yang seperti ini tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat.

Orang yang tidak wajib mengeluarkan zakat lainnya, adalah orang miskin, yaitu orang yang masih memiliki pemasukan (usaha) untuk menghidupi keluarganya, hanya saja semua hasil pemasukan tersebut tidak bisa memenuhi kebutuhannya dalam setiap hari.

Nah, dua orang dalam contoh di atas tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat. Semua itu tidak lain disebabkan syariat Islam merupakan ajaran mudah yang tidak pernah memberatkan bagi pemeluknya perihal kewajiban yang tidak mereka mampu. Nah, apakah orang yang di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) juga gugur kewajiban zakatnya? Mari kita bahas.

PHK dan Kewajiban Zakat

Perlu diketahui, bahwa orang yang di PHK adalah orang yang sebelumnya pernah memiliki pekerjaan tetap, dan penghasilan yang cukup. Hanya saja, ia dipecat dan akhirnya tidak lagi memiliki penghasilan dalam kebutuhan kesehariannya.

Orang-orang yang di PHK dalam ajaran Islam, terbagi menjadi dua bagian, ada yang masih mampu untuk mengeluarkan zakat fitrah, karena memiliki tabungan yang banyak misalnya, maka orang yang seperti masih memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah, sekalipun statusnya adalah orang yang di PHK.

Kedua, yaitu orang di PHK yang semua hartanya tidak ada. Sebab, selama ia bekerja, semua penghasilannya sudah cukup digunakan untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya, sehingga ketika ia harus di PHK, maka sama halnya ia tidak memiliki harta sedikit pun.

Nah, orang yang seperti ini dalam kitab-kitab turats dikenal dengan istilah mu’sir (orang yang tidak mampu). Apakah wajib zakat? Simak penjelasan berikut.

Imam Ibnu Hajar al-Haitami (wafat 974 H), dalam salah satu kitabnya memposisikan orang mi’sir (tidak mampu), sebagai orang yang tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah. Akan tetapi, gugurnya kewajiban ini apabila tidak mampunya di saat yang bersamaan dengan kwajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah.

Misalnya, orang di PHK pada bulan Ramadhan, dan tidak memiliki uang yang cukup untuk mengeluarkan zakat fitrah, maka kewajibannya gugur. Namun, jika di PHK pada sebelum bulan Ramadhan, dan ketika sudah memasuki bulan Ramadhan telah menemukan pekerjaan baru, misalnya, maka orang yang seperti ini tetap memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah.

Berbeda, jika misalnya ada orang di PHK di bulan Ramadhan, kemudian selama bulan Ramadhan ia tidak menemukan pekerjaan baru, usaha baru, dan penghasilan baru, kemudian di bulan selanjutnya menemukan pekerjaan tersebut, maka ia tetap tidak memiliki kewajiban mengeluarkan zakat. Sebab, waktu kewajibannya telah berlalu. Perhatikan penjelasan berikut,

 (وَلَا) فِطْرَةَ عَلَى (مُعْسِرٍ) وَقْتَ الْوُجُوبِ إجْمَاعًا وَإِنْ أَيْسَرَ بَعْدُ

Artinya, “Tidak wajib zakat fitrah bagi orang yang tidak mampu (mengeluarkan) pada saat waktu wajibnya (mengeluarkan zakat) secara ijma’ (konsensus), sekalipun ia menjadi mampu setelah waktu wajib.” (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatu al-Muhtaj fi Syarhi al-Minhaj, [Mesir, Maktabah at-Tijariyah Kubra: 1983], juz XII, halaman 406).

Alhasil, orang yang tidak mampu mengeluarkan zakat fitrah, termasuk orang yang di PHK, tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah, dan tidak pula wajib untuk menggantinya (qadha).

Sebab, mengganti zakat fitrah hanya berlaku bagi orang yang mampu mengeluarkan zakat fitrah, hanya saja ia tidak membayarnya.

Demikian penjelasan terkait  apakah korban PHK Wajib membayar zakat? Wallahu a’lam bisshawab.

BINCANG SYARIAH

Inilah Empat Hikmah Disyariatkan Zakat

Berikut penjelasan terkait inilah empat hikmah disyariatkan zakat.  Pasalnya salah satu rukun Islam adalah menunaikan zakat. Kewajiban ini, sama seperti ibadah lainnya, memiliki syarat dan ketentuan tertentu.

Ada empat hikmah disyariatkan zakat menurut Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu. Allah mensyariatkan zakat karena manusia dilebihkan satu hal dari lainnya, termasuk rezeki berupa materi. Sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 71;

وَاللّٰهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ فِى الرِّزْقِۚ

Artinya: Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rezeki.

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa sebagian hambaNya dilebihkan dalam harta. Maka pensyariatan zakat dimaksudkan untuk berbagi kepada yang membutuhkan dan menyadari bahwa rezeki materi itu juga datangnya dari Allah. Di dalamnya terdapat hak orang lain,

وَفِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِ

Artinya: Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta.

Syekh Wahbah Zuhaili merangkum empat hikmah disyariatkannya zakat kepada umat muslim yang memenuhi syarat tertentu.

Pertama, menjaga harta dari penyalahgunaan.. Penunaian zakat dimaksudkan untuk menjaga harta dari penyalahgunaan baik oleh orang-orang zalim dan tak bertanggung jawab.

Jika seseorang dilebihkan dalam hartanya, ia cenderung menginginkan benda atau materi dalam mengalokasikannya. Maka hikmah zakat salah satunya adalah demikian. Hal ini merujuk pada hadis Nabi riwayat Ibnu Mas’ud,

حَصِّنُوا أَمْوَالَكُمْ بِالزَّكَاةِ وَدَاوَوْا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ وَأَعِدُّوْا لِلْبَلَاءِ الدُّعَاءَ

Artinya: Jagalah hartamu dengan menunaikan zakat dan sembuhkanlah sakit kalian dengan bersedekah dan cegahlah bahaya dengan doa. (HR. Thabrani dan Abu Na’im) Meski sanad hadis ini berstatus dhaif, tapi maknanya bisa diamalkan karena berupa keutamaan amal.

Hikmah ini lebih pada pengendalian diri yang bersifat individual.

Kedua, menolong orang miskin dan yang membutuhkan. Hikmah ini menunjukkan bahwa zakat menjadi ibadah yang bersifat sosial. Masyarakat memiliki tanggung jawab terhadap orang miskin yang ada di sekitarnya.

Dengan menunaikan zakat, seseorang berpartisipasi menumbuhkan dan memperkuat perekonomian dan daya beli orang miskin dan yang membutuhkan. Dengan zakat pula, konsep kesalingan dan tukar peran antar masyarakat bisa terwujud.

Ketiga, membersihkan diri dari sifat bakhil dan rakus. Zakat juga memiliki hikmah untuk membiasakan seseorang memiliki sifat mulia dan lapang dada karena mereka merayakan sebagian hartanya.

Seseorang yang menunaikan zakat juga berpartisipasi dalam meningkatkan ekonomi yang juga menjadi peran pemerintah.

Keempat, wujud bersyukur. Membayar zakat menjadi salah satu bentuk syukur kepada Allah atas harta yang dititipkan. Bersyukur artinya mentasarufkan rezeki sesuai dengan jalan yang dibenarkan oleh Allah.

Demikian empat hikmah disyariatkannya zakat oleh Allah. Hikmah yang tidak hanya kembali pada diri sendiri tapi juga orang lain. Dari empat hikmah tersebut, kita memahami bahwa zakat merupakan ibadah bersifat individual karena sebagai pemenuhan kewajiban hamba kepada Allah yang tertuang dalam nash baik Alquran maupun hadis.

Zakat juga bersifat sosial karena memangkas kesenjangan ekonomi dalam suatu lingkup masyarakat.  Demikian penjelasan terkait empat hikmah disyariatkan zakat.

BINCANG SYARIAH

Siapa Saja Kerabat yang Boleh Disalurkan Zakat dan Manakah yang Tidak Boleh?

Apakah boleh menyalurkan zakat kepada kerabat kita sendiri?

Nah, ini butuh rincian.

Yang jelas, golongan yang menerima zakat sudahlah jelas sebagaimana diterangkan dalam ayat berikut ini,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk (1) orang-orang fakir, (2) orang-orang miskin, (3) amil zakat, (4) para mu’allaf yang dibujuk hatinya, (5) untuk (memerdekakan) budak, (6) orang-orang yang terlilit utang, (7) untuk jalan Allah (fii sabilillah), dan (8) untuk mereka yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil), sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)

Keterangan:

  1. Fakir: orang yang pendapatannya 0 – 49% dari kebutuhan hidupnya.
  2. Miskin: orang yang pendapatannya 50 – 99 % dari kebutuhan hidupnya.
  3. Amil: orang yang mengumpulkan dan menyalurkan zakat.
  4. Muallaf: orang non-muslim yang diharapkan keislamannya dan orang yang baru masuk Islam yang diharapkan keteguhannya dalam Islam.
  5. Riqob: hamba sahaya.
  6. Gharim: orang yang berutang untuk tujuan syari yang tidak menemukan harta untuk melunasi utang tersebut.
  7. Fii sabilillah: orang yang berjihad, dai, penuntut ilmu agama, dan semacamnya.
  8. Ibnu sabil: musafir yang terpisah dari kelompoknya.

Baca juga: Golongan Penerima Zakat

Adapun memberikan zakat kepada kerabat itu punya keutamaan sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Salman bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ

Sesungguhnya sedekah kepada orang miskin pahalanya satu sedekah. Sedangkan sedekah kepada kerabat pahalanya dua, yaitu pahala sedekah dan pahala menjalin hubungan kekerabatan.” (HR. An-Nasai, no. 2582; Tirmidzi, no. 658; Ibnu Majah, no. 1844. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Baca juga: Memberi Zakat Kepada Kerabat

Adapun siapa saja yang berhak diberi zakat dari keluarga dan yang tidak berhak, kami bantu dengan menjelaskan dalam tabel berikut ini.

Hubungan KerabatHukumCatatan
Ayah dan ibuTIDAK BOLEHWajib memberikan nafkah kepada mereka
Kakek dan nenekTIDAK BOLEHWajib memberikan nafkah kepada mereka
Anak laki-laki dan anak perempuanTIDAK BOLEHWajib memberikan nafkah kepada mereka
IstriTIDAK BOLEHWajib memberikan nafkah kepadanya
Suami[1]BOLEHDisyaratkan termasuk delapan ashnaf
Saudara laki-laki dan saudara perempuanBOLEHDisyaratkan termasuk delapan ashnaf
Saudara laki-laki dan perempuan dari ayahBOLEHDisyaratkan termasuk delapan ashnaf
Saudara laki-laki dan perempuan dari ibuBOLEHDisyaratkan termasuk delapan ashnaf
Kerabat yang lainBOLEHDisyaratkan termasuk delapan ashnaf

[1] Bolehnya seorang istri menyalurkan zakat pada suaminya atau anaknya karena istri tidak punya kewajiban menanggung nafkah suami dan anaknya. Yang menjadi penanggung jawab nafkah untuk anak-anak adalah suami. Jadi sah-sah saja jika istri menyerahkan zakat pada suami atau anaknya.

Hal di atas dapat dilihat dari kisah Zainab Ats-Tsaqafiyah, istri ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, di mana ia memberikan zakat kepada suaminya dan disetujui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari, no. 1466 dan Muslim, no. 1000).

Baca juga: Zakat kepada Kerabat yang Janda

Silakan unduh buku PDF: PANDUAN PRAKTIS ZAKAT MAAL KONTEMPORER

Semoga menjadi ilmu yang manfaat.

Senin sore, 16 Ramadhan 1443 H, 18 April 2022

@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/33295-siapa-saja-kerabat-yang-boleh-disalurkan-zakat-dan-manakah-yang-tidak-boleh.html

Adakah Kewajiban Zakat untuk Harta Anak Kecil dan Orang Gila?

Penjelasan Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Rahimahullah

Pertanyaan:

Adakah kewajiban zakat untuk harta yang dimiliki anak kecil dan orang gila?

Jawaban:

Terdapat perselisihan ulama Rahimahumullah dalam masalah ini. Sebagian di antara mereka mengatakan bahwa tidak ada kewajiban zakat untuk harta yang dimiliki anak kecil (yang belum balig, pent.) dan orang gila. Hal ini mempertimbangkan bahwa mereka tidak dikenai kewajiban (beban) syariat (taklif). Telah dipahami bahwa anak kecil (yang belum balig) dan orang gila itu tidak termasuk mukallaf (orang yang dikenai beban syariat), sehingga tidak ada kewajiban zakat berkaitan dengan harta yang mereka berdua miliki.

Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa zakat itu tetap wajib atas mereka. Inilah pendapat yang tepat. Hal ini karena zakat itu termasuk dalam hak harta (yang harus ditunaikan, pent.), dan tidak melihat status pemilik harta (apakah termasuk mukallaf ataukah tidak, pent.). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS. At-Taubah: 103)

Maka Allah Ta’ala kaitkan (adanya) kewajiban zakat itu dengan (kepemilikan) harta. Seperti halnya perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“(Dan jika mereka telah menaatinya), maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka sedekah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang faqir mereka” (HR. Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19).

Berdasarkan dalil tersebut, maka terdapat kewajiban zakat atas harta yang dimiliki oleh anak kecil dan orang gila. Dan yang mengurus (pembayaran) zakatnya adalah walinya.

***

@Rumah Kasongan, 4 Jumadil ula 1443/ 9 Desember 2021

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

 Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Diterjemahkan dari kitab Fataawa Arkaanil Islaam, hal. 509-510, pertanyaan no. 356.

Sumber: https://muslim.or.id/70991-kewajiban-zakat-untuk-harta-anak-kecil-orang-gila.html