BULAN Ramadhan kini menjelang, dan seperti biasa aku melihat perubahan terjadi dimana-mana dalam berbagai rupa. Hari-hari awal pastilah mesjid penuh sesak dengan tarawihan dan mushola ramai manusia dendangkan tilawah tadarus alquran.
Akhwat-akhwat mulai menutupi auratnya dengan hijab. Artis-artis terhadap dengan apa yang mereka siarkan mulai bertanggung jawab. Bahkan sinetron Romeo – Juliet berganti menjadi Shofa – Marwah saat ramadhan. Layar kaca pun tak tertinggal siar pengajian. Film Gairah Cinta dipending menjadi Tasbih Cinta agar ma’ruf. Judul nikmatnya pacaran berganti jadi ibadah ta’aruf.
Sering aku tersenyum geli melihat tingkah polah umat islam, karena mereka masih berputar dengan pikiran semu. Tapi ramadhan memang ajaib. Ia mampu membuat perubahan 180 derajat. Sayangnya, setelah ramadhan banyak yang kembali ke jalurnya. Ini pula yang menyebabkan luka tak terperi bagai disulut api.
Perubahan di mata ternyata belum sampai ke akar hati. Sekulerisme memang menyeret umat ke jurang kegelapan yang paling dalam. Tanpa sisakan secercah sinar yang bahkan cukup untuk mengurai airmata. Sekulerisme ajarkan bahwa Allah pergi meninggalkan manusia dan tak lagi menghitung amalan manusia selain pada ramadhan yang mulia.
Bagaimana bisa seseorang muslim tahankan apa yang tak halal baginya karena Allah di waktu siang. Dia menahan makanan, minuman karena Allah di siang hari. Namun ia berbuka dengan riba, dengan hukum taghut yang Allah benci.
Ahh…. Sepuluh kali Ramadhan telah berlalu, namun usahaku tampaknya belum ada hasilnya. Atau apakah ini hanya persangkaanku belaka? Toh, perhitungan Allah tiada sama perhitungannya dengan manusia. Malam yang kita sangka paling gelap ternyata yang malam yang paling dekat dengan fajar. Dalam sadar aku hanya bisa mencerca usahaku yang belum banyak. Berharap pertolongan Allah walau ku tahu aku belum lah layak.
Ummat memang berbahaya, penuh dengan hal-hal yang tidak terduga. Ia bisa jadi selimut pelindung dari dinginnya malam dan panasnya siang, pun ia dapat menjelma menjadi monster paling menakutkan, membenamkan kuku-kuku ucapannya dalam hatimu yang terdalam, menghujamkan belati beracun di setiap bagian tubuhmu yang mampu ia jangkau.
Menunjukkan cahaya bagi mereka yang terlalu lama berjalan dalam kegelapan sama saja memberinya rasa sakit. Sebagian pejalan dalam gelap ini lebih suka berada dalam kedzaliman ketimbang bermandikan cahaya ilahi. Mungkin dalam hati kecil mereka merindukan terang Allah, namun syaithan telah melakukan tugasnya dengan baik hingga mereka lebih suka dalam kegelapan.
Mereka lupa bahwa lebih terhormat mati dalam terang daripada hidup dalam kegelapan. Setidaknya kau bisa dilihat dan diingat. Dalam kegelapanan mungkin kau nyaman, namun tak seorangpun tahu eksistensimu walaupun kau hidup, juga ingat namamu.
Aku adalah hamba Allah Maha Suci, cintaku kepada langit tak berarti aku tak menginjak bumi. Justru langit mengajarkanku dengan hujan yang membasahi bumi dan menumbuhkan benih yang beristirahat dalam gelap mati. Cinta kepada Allah selalu menghadiahkan dua hal pada hamba, yaitu lidah dan airmata.
Aku selalu berdoa semoga Allah memberikan kepada semua pengemban dakwah mampu merengkuh kemuliaan Ramadhan dan karunia yang Allah limpahkan didalamnya. Karena tiap perkataan mereka bagaikan penyambung nafas dunia, menghindarkan ummat dari kerusakan sehabisnya.
Mungkin ummat bagaikan laron yang tak suka dihalau api, dan mungkin ia akan menggigit tangan yang berusaha menghalaunya dari kecelakaan. Namun bukankah itu kenikmatan dakwah yang juga dirasakan junjungan kita Nabi besar shallallahu ‘alaihi wassalam, penghulu segala kebaikan.
Bilakah pantas seorang manusia berkeluh kesah terhadap dakwah manakala tauladan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam bersemangat menjalankannya? Benar, logam akan berkarat seiring waktu. Namun emas tetaplah emas. Waktu adalah satu-satunya pemisah antara keistiqamahan dan yang ditinggalkan.
[Ustadz Felix Siauw]
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2304828/felix-siauw-ini-ironi-ramadan#sthash.ssWCBQIg.dpuf