Fikih Silaturahmi (Bag. 4): Sarana Menyambung Silaturahmi

Silaturahmi dengan kerabat tidak terbatas pada kunjungan ataupun membantu dengan materi. Silaturahmi dengan kerabat memiliki berbagai macam cara dan sarana. Dan tentunya, semua itu ditakar sesuai kemampuan yang dimiliki, antara satu orang dengan yang lainnya tentu saja memiliki cara yang berbeda-beda. Islam sebagai agama yang mudah dan memudahkan sudah mengajarkan kepada kita berbagai sarana dan cara untuk menjalin silaturahmi dengan kerabat dekat kita.

Di dalam kitab Shillatu Ar-Rahmi karya Fahd Bin Sarayyi’ An-Nughaimisyi disebutkan bahwa sarana menyambung silaturahmi ada 3 macam:

Pertama: Menyambung silaturahmi dengan perbuatan.

Kedua: Menyambung silaturahmi dengan ucapan.

Ketiga: Dan menyambung silaturahmi dengan mengeluarkan harta.

Menyambung silaturahmi dengan perbuatan

Pertama: Mengunjungi kerabat sebagai penghormatan dan penghiburan untuknya. Perbuatan ini termasuk sarana terpenting di dalam menyambung silaturahmi karena semua orang, baik yang berkecukupan maupun tidak, sama-sama bisa melakukannya.

Mengunjungi kerabat lebih ditekankan lagi ketika yang ingin kita kunjungi merupakan orang yang sudah lanjut usia, karena seringkali mereka merasa kesepian dan terasingkan. Saat ada kerabat yang mengunjunginya, mereka akan merasa bahagia dan bergembira serta terhibur dengan cerita mereka. Dalil akan hal ini adalah hadis Asma’ binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anha,

فلمَّا دخَلَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وعلى آلِهِ وسلَّمَ مكَّةَ، ودخَلَ المسجِدَ، أتاهُ أبو بكرٍ بأبيه يَعودُهُ، فلمَّا رآهُ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وعلى آلِهِ وسلَّمَ قال: هلَّا ترَكْتَ الشَّيخَ في بيتِه؛ حتَّى أكونَ أنا آتِيَهُ فيه؟

Ketika Rasulullah memasuki kota Mekah kemudian masuk ke dalam masjid, beliau didatangi oleh Abu Bakar dan bapaknya dengan niatan untuk mengunjunginya. Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat bapaknya tersebut, beliau bersabda, ‘Alangkah baiknya Engkau tinggalkan orang tuamu (yang sudah lanjut usia) di rumahnya, sehingga aku bisa mengunjunginya di rumahnya.’”  (HR. Ahmad no. 26956 dan Ibnu Hibban no. 7208)

Hadis ini menunjukkan semangat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengunjungi bapak dari sahabatnya dan kekasihnya Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, bahkan nabi sudah berniat untuk melakukannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah menjelaskan bahwa keberkahan itu berkaitan erat dengan mereka yang sudah lanjut usia. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

البَرَكةُ مع أكابِرِكم

Keberkahan beserta dengan orang senior (orang yang lebih tua) di antara kalian.” (HR. Ibnu Hibban no. 559 dan Thabrani di dalam Al-Mu’jamul Ausath no. 8991)

Kedua: Menyambungnya dengan memenuhi undangan. Yaitu undangan makan dan minum yang terdapat di setiap walimah, baik itu merayakan pernikahan, syukuran rumah baru, ataupun undangan-undangan lainnya. Selain merupakan sarana silaturahmi, memenuhi undangan juga merupakan salah satu hak seorang muslim atas muslim lainnya. Lebih ditekankan lagi ketika yang mengundang adalah kerabat dekat kita.

Syariat Islam sangatlah menganjurkan umatnya untuk memenuhi undangan. Banyak sekali hadis yang menujukkan hal tersebut, di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إلى الوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا

Jika kalian diundang untuk menghadiri walimah maka penuhilah.” (HR. Bukhari no. 5173 dan Muslim no. 1429)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,

 ومن ترَك الدَّعوةَ فقد عصى اللَّهَ ورسولَه

Dan barangsiapa yang tidak memenuhi undangan, maka ia telah berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 1432)

Ketiga: Menyambung silaturahmi dengan menjenguknya ketika sakit. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,

“Dan termasuk dari iyadah al-maridh (menjenguk orang sakit), mengawasinya serta mengecek kondisinya dan berlemah lembut kepadanya. Bisa jadi, dengan sebab perhatian kita kepadanya akan membuatnya bersemangat dan sehat bugar kembali.”

Menjenguk orang sakit juga termasuk hak-hak kaum muslimin. Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ: رَدُّ السَّلاَمِ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ، وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ، وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ

“Hak muslim atas muslim lainnya ada lima, yaitu: menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan orang yang bersin.” (HR. Bukhari no. 1240 dan Muslim no. 2162)

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Menjenguk orang sakit hukumnya fardhu kifayah. Kaum muslimin harus perhatian terhadap saudara semuslimnya. Jika salah satu dari mereka sudah ada yang menjenguknya, maka itu telah cukup. Dan bisa jadi hukumnya menjadi fardhu ‘ain, jika orang yang sedang sakit tersebut merupakan salah satu kerabat. Sehingga menjenguknya terhitung sebagai silaturahmi, dan menyambung silaturahmi hukumnya wajib. Maka, hukum menjenguk kerabat sakit hukumnya fardhu ‘ain.”

Dan banyak sekali perbuatan-perbuatan lain yang bisa kita lakukan untuk menyambung silaturahmi dengan kerabat kita, seperti mengiring jenazah, mendamaikan kerabat yang sedang berselisih, atau ikut serta dengan mereka saat mereka bergembira dan menghibur mereka saat sedang ditimpa musibah.

Menyambung silaturahmi dengan ucapan

Pertama: Menyambung silaturahmi dengan cara mengajak kerabat kita kepada kebaikan dan kebenaran serta melarang mereka dari kemungkaran. Hal ini termasuk menyambung silaturahmi yang paling agung. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan Nabi-Nya yang yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَاَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الْاَقْرَبِيْنَ

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’ara’: 214)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,

فَواللَّهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بكَ رَجُلًا واحِدًا، خَيْرٌ لكَ مِن أنْ يَكونَ لكَ حُمْرُ النَّعَمِ

“Demi Allah, jikalau Allah memberi hidayah kepada satu orang dengan sebab dirimu, hal itu benar-benar lebih baik bagimu daripada unta-unta merah.” (HR. Bukhari no. 3701)

Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya perihal seorang lelaki yang memiliki kerabat, namun kerabatnya tersebut sering terjatuh ke dalam kemaksiatan. Lalu bagaimana caranya menyambung silaturahmi dengan mereka?

“Yang menjadi kewajiban laki-laki tersebut adalah menyambung silaturahmi dengan menyisihkan sebagian harta, jika mereka termasuk kaum fakir serta berbuat baik kepada mereka. Dan wajib juga bagi dirinya untuk selalu menasihati dan menunjukkan kerabatnya tersebut akan jalan kebaikan, mengajak mereka kepada kebaikan, serta melarang mereka dari kemungkaran, baik kerabatnya tersebut adalah orangtuanya, saudara kandungnya, pamannya, atau selain mereka. Sehingga wajib hukumnya untuk mendakwahkan mereka agar kembali kepada Allah Ta’ala, menasihati mereka, mengajak mereka kepada kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran dengan lemah lembut, penuh kasih sayang. Semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka karena sebab perbuatannya tersebut.”

Kedua: Silaturahmi dengan cara mendoakan mereka.

Doa termasuk cara yang paling kuat dan ampuh untuk menjaga dan menyambung silaturahmi dengan kerabat kita karena doa merupakan senjata bagi kaum mukmin. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan bahwa doa seorang muslim untuk saudaranya itu mustajab. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

دَعْوَةُ المَرْءِ المُسْلِمِ لأَخِيهِ بظَهْرِ الغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّما دَعَا لأَخِيهِ بخَيْرٍ، قالَ المَلَكُ المُوَكَّلُ بهِ: آمِينَ وَلَكَ بمِثْلٍ

Doa seorang muslim untuk saudaranya yang tidak berada di hadapannya akan dikabulkan. Di atas kepalanya ada malaikat. Setiap dia berdoa untuk saudaranya dengan kebaikan, berkata malaikat yang bertugas dengannya, ‘Aamin dan kamu juga akan mendapatkan seperti itu juga.” (HR. Muslim no. 2733)

Berdoa juga merupakan salah satu cara menyambung silaturahmi dengan keluarga dan kerabat yang sudah meninggal. Para ulama bersepakat tentang bolehnya berdoa untuk mayit dan doa tersebut juga berguna bagi mereka yang telah meninggal. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إذا مات الإنسانُ انقطع عملُه إلا من ثلاثٍ ؛ صدقةٍ جاريةٍ ، أو علمٍ يُنتَفَعُ به ، أو ولدٍ صالحٍ يدْعو له

Apabila manusia telah mati, terputuslah amalannya kecuali 3 perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya.(HR. Muslim no. 1631)

Menyambung silaturahmi dengan mengeluarkan harta

Jika Allah Ta’ala memberikan keluasan harta kepada seseorang, maka ini merupakan kesempatan emas yang harus ia ambil, tidak perlu menunggu untuk disebut ‘kaya’ ‘tajir’ untuk bisa mengeluarkan harta membantu kerabat yang sedang ditimpa kesusahan. Cukuplah ketika Allah Ta’ala memberikan keluasan harta kepada seseorang, maka ia bisa membantu kerabatnya.

Sungguh amalan ini merupakan amalan yang mulia, karena selain mendapatkan pahala sedekah, pelakunya juga ditulis sebagai hamba yang menyambung silaturahmi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الصَّدقةُ على المسكينِ صدقةٌ وعلى القريبِ صدقتان صدقةٌ وصِلةٌ

“Sedekah untuk orang miskin, nilainya hanya satu, yaitu sedekah. Sementara sedekah untuk kerabat, nilainya dua: sedekah dan silaturahmi.” (HR. Tirmidzi no. 658, Nasa’i no. 2582, Ibnu Majah no. 1844, dan Ahmad no. 16279)

Allah Ta’ala juga memprioritaskan kerabat dekat seseorang di dalam perkara sedekah dan nafkah. Allah Ta’ala berfirman,

يَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ۗ قُلْ مَآ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang harus mereka infakkan. Katakanlah, ‘Harta apa saja yang kamu infakkan, hendaknya diperuntukkan bagi kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan.’ Dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 215)

Di dalam sebuah hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّكَ أنْ تَذَرَ ورَثَتَكَ أغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِن أنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ، وإنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بهَا وجْهَ اللَّهِ إلَّا أُجِرْتَ، حتَّى ما تَجْعَلُ في فِي امْرَأَتِكَ

Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang akan meminta-minta kepada manusia. Dan kamu tidak menafkahkan suatu nafkah pun untuk mencari keridaan Allah, kecuali kamu akan mendapatkan pahala karena nafkahmu itu. Sampai-sampai sesuap makanan yang kamu masukkan ke mulut istrimu (terhitung sedekah).” (HR. Bukhari no. 6375)

Menyambung silaturahmi dengan mengeluarkan harta memiliki beragam bentuk. Bisa dengan memberikan nafkah untuk mereka, menyalurkan zakat wajib kita kepada mereka (para ulama memberikan perincian tentang siapa kerabat dan keluarga yang boleh menerima zakat kita dan siapa yang tidak boleh menerima), bisa juga dengan bersedekah, memberikan hadiah, memberikan wasiat, dan lain sebagainya. Wallahu a’lam bisshowaab.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/75344-fikih-silaturahmi-bag-4-sarana-menyambung-silaturahmi.html

Fikih Silaturahmi (Bag. 3): Keutamaan Menyambung dan Bahaya Memutus Silaturahmi

Baca pembahasan sebelumnya Hukum Menyambung Silaturahmi dengan Kerabat yang Fasik dan Kafir

Tidak ada perbuatan baik yang diajarkan Islam, kecuali memiliki banyak keutamaan baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Silaturahmi merupakan salah satu perbuatan baik yang paling nampak dan paling penting, karena kebaikannya ditujukan langsung kepada kerabat kita sendiri dan bukan orang lain. Di dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan,

الصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِيْنِ صَدَقَةٌ وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ: صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ

Sedekah terhadap orang miskin adalah sedekah, sedangkan terhadap keluarga sendiri mendapatkan dua pahala: sedekah dan silaturahmi.” (HR Tirmidzi no. 658, Nasa’i no. 2582, dan Ibnu Majah 1844)

Pentingnya menyambung silaturahmi terbukti dari bagaimana Allah Ta’ala memberikan ganjaran bagi pelakunya di dunia dan di akhirat serta memberikan hukuman bagi mereka yang memutus silaturahmi, baik di dunia maupun di akhirat.

Keutamaan silaturahmi di dunia

Pertama: Memotivasi diri kita untuk lebih mencintai, menyayangi, dan mendahulukan kerabat dekat.

Kedua: Memperkuat hubungan kekeluargaan antar kerabat. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تَعَلَّمُوا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُونَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِي الْأَهْلِ مَثْرَاةٌ فِي الْمَالِ مَنْسَأَةٌ فِي الْأَثَرِ

Belajarlah dari nasab kalian yang dapat membantu untuk silaturahmi karena silaturahmi itu dapat membawa kecintaan dalam keluarga, memperbanyak harta, serta dapat memperpanjang umur.” (HR. Ahmad no. 8855 dan Tirmidzi no. 1979).

Ketiga: Meluaskan rezeki dan memanjangkan umur. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung silaturahminya (dengan kerabat).” (HR. Bukhari no. 5985 dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 7571)

Bertambahnya umur di dalam hadis tersebut adalah perpanjangan yang hakiki. Namun, ini berdasarkan ketetapan dan pengetahuan Allah Ta’ala Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah di dalam kitab Majmu’ Fatawa mengatakan,

والأجل أجلان ” أجل مطلق ” يعلمه الله ” وأجل مقيد ” وبهذا يتبين معنى قوله صلى الله عليه وسلم ((مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ)) فإن الله أمر الملك أن يكتب له أجلا، وقال :”إن وصل رحمه زدته كذا وكذا ” والملك لا يعلم أيزداد أم لا ؛ لكن الله يعلم ما يستقر عليه الأمر فإذا جاء ذلك لا يتقدم ولا يتأخر”.

“Ajal ada dua jenis: (1) ajal mutlak, yaitu ajal yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala dan (2) ajal muqayyad (terikat). Dengan klasifikasi ini, maka jelaslah makna hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung silaturrahmi.’ Sesungguhnya Allah memerintahkan malaikat untuk menulis ajal seseorang. Dia mengatakan, ‘Jika orang ini menyambung silaturahminya, maka tambahlah usianya begini dan begini,’ Dan malaikat tidak mengetahui apakah usia orang tersebut akan bertambah atau tidak. Yang mengetahui perkara tersebut secara pasti hanyalah Allah semata. Dan jika ajal orang tersebut benar-benar telah datang, maka tidak akan dimajukan dan ditunda lagi.”

Keempat: Allah Ta’ala akan menyambung silaturahmi dengan mereka yang menyambung silaturahmi kepada kerabatnya.

إن الله تعالى خلق الخلق حتى إذا فرغ منهم قامت الرحم فقالت: هذا مقام العائذ بك من القطعية. قال: نعم. أما ترضين أن أصل من وصلك، وأقطع من قطعك؟ قالت: بلى، قال: فذلك لك.

“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk. Dan jika telah usai darinya, rahim berdiri lalu berkata, ‘Ini adalah tempat berlindung dari pemutusan silaturahmi.’ Maka Allah berfirman, ‘Ya, bukankah kamu merasa senang aku akan menyambung hubungan dengan orang yang menyambungmu, dan akan memutus orang yang memutuskan denganmu?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Allah Ta’ala berfirman, ‘Demikian itu hakmu.’” (HR. Muslim no. 2554)

Keutamaan silaturahmi di akhirat

Pertama: Silaturahmi merupakan sebab masuk surga. Abu Ayub Al-Ansari radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

أنَّ رَجُلًا قالَ للنبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أخْبِرْنِي بعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الجَنَّةَ، قالَ: ما له ما له. وقالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أرَبٌ ما له، تَعْبُدُ اللَّهَ ولَا تُشْرِكُ به شيئًا، وتُقِيمُ الصَّلَاةَ، وتُؤْتي الزَّكَاةَ، وتَصِلُ الرَّحِمَ.

“Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke surga.” Orang-orang pun berkata, “Ada apa dengan orang ini, ada apa dengan orang ini.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Biarkanlah urusan orang ini.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan sabdanya, “Kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya, menegakkan salat, dan membayar zakat, serta menjalin tali silaturahmi.” (HR. Bukhari no. 1396)

Di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

يا أَيُّها الناسُ ! أَفْشُوا السلامَ ، و أطْعِمُوا الطعامَ ، وصِلُوا الأرحامَ ، وصَلُّوا بالليلِ والناسُ نِيَامٌ ، تَدْخُلوا الجنةَ بسَلامٍ

Wahai sekalian manusia, tebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah silaturahmi, dan kerjakanlah salat pada waktu malam ketika manusia sedang tidur. Niscaya, kalian akan dimasukkan ke dalam surga dengan keselamatan.” (Lihat Shahihul Jaami’ no. 7865 karya Al-Albani)

Dari kedua hadis ini jelaslah bahwa silaturahmi merupakan salah satu sebab masuk ke dalam surga dan inilah keinginan serta harapan seluruh kaum muslimin. Cukuplah hal ini sebagai keutamaan yang diharapkan dari menyambung tali silaturahmi.

Kedua: Silaturahmi merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah serta merupakan usaha untuk mendapatkan keridaan Allah Ta’ala, karena Allahlah yang memerintahkan kita untuk melakukannya.

Ketiga: Silaturahmi akan menambah pahala dan kebaikan bagi pelakunya setelah ia meninggal dunia. Mengapa? Karena kerabat dan orang-orang kesayangannya akan selalu mendoakannya setiap kali disebutkan nama orang tersebut dan bagaimana kebaikan serta silaturahmi yang telah ia lakukan sebelum kematiannya.

Hukuman bagi yang memutus silaturahmi di dunia

Pertama: Hukuman memutus silaturahmi yang Allah segerakan di dunia.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِى الآخِرَةِ مِنَ الْبَغْىِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ

“Tidak ada satu dosa yang lebih pantas untuk disegerakan hukuman bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan hukuman yang Allah siapkan baginya di akhirat daripada baghyu (kezaliman dan berbuat buruk kepada orang lain) dan memutuskan tali kerabat.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 29; Tirmidzi no. 2511; Abu Dawud no. 4902)

Kedua: Amalan orang yang memutus silaturahmi tertolak

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إن أعمال بني آدم تعرض كل خميس ليلة الجمعة فلا يقبل عمل قاطع رحم

‘Sesungguhnya amal ibadah manusia diperlihatkan setiap hari Kamis malam Jumat. Maka tidak diterima amal ibadah orang yang memutuskan hubungan silaturahmi.’ (HR. Bukhari di dalam Adabul Mufrad no. 61 dan Ahmad di dalam Musnad-nya no. 10277)

Cukuplah hadis ini sebagai pengingat agar diri kita terhindar dari memutus hubungan silaturahmi terhadap kerabat dekat yang telah Allah Ta’ala perintahkan.

Ketiga: Memutus tali silaturahmi menjauhkan pelakunya dari keberkahan rezeki dan panjangnya umur.

Imam At-Thibii rahimahullah mengatakan,

إن الله يبقي أثر واصل الرحم طويلا ؛ فلا يضمحل سريعا كما يضمحل أثر قاطع الرحم

“Allah akan mempertahankan efek menjalin silaturahmi dalam jangka waktu yang lama, dan itu tidak akan cepat menghilang sebagaimana hilangnya efek memutus silaturahmi.” (Fathul Baari karya Ibnu Hajar, 10: 416)

Efek dari memutus silaturahmi adalah dengan dijauhkannya si pelaku dari keberkahan rezeki dan panjangnya umur.

Hukuman memutus silaturahmi di akhirat

Pertama: Memutus tali silaturahmi merupakan sebab pelakunya terlarang dari masuk surga.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ. قال سفيان: قَاطِعَ رَحِمٍ

“Tidak akan masuk surga orang yang memutus silaturahmi.” (HR. Bukhari no. 5984 dan Muslim no. 2556)

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadis ini memiliki 2 makna:

Yang pertama, hadis ini dimaksudkan untuk mereka yang menghalalkan memutus silaturahmi tanpa sebab dan tanpa ada faktor dan ia mengetahui akan keharamannya (keharaman memutus silaturahmi tanpa sebab). Maka orang tersebut dihukumi kafir dan akan kekal di neraka.

Yang kedua, mereka yang memutus silaturahmi tidak akan dimasukkan terlebih dahulu ke dalam surga bersama orang-orang yang masuk surga pertama kali. Akan tetapi, Allah hukum terlebih dahulu sampai batas waktu yang Allah inginkan.”

Kedua: Pemutus tali silaturahmi akan diazab di hari kiamat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Tidak ada satu dosa yang lebih pantas untuk disegerakan hukuman bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan hukuman yang Allah siapkan baginya di akhirat daripada baghyu (kezaliman dan berbuat buruk kepada orang lain) dan memutuskan kerabat.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 29; Tirmidzi no. 2511; Abu Dawud no. 4902)

Hadis ini dengan jelas menunjukkan bahwa pemutus tali silaturahmi akan diazab di akhirat di samping ia akan mendapatkan hukuman yang disegerakan di dunia.

Wallahu A’lam bisshowaab.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/75301-fikih-silaturahmi-bag-3-keutamaan-menyambung-dan-bahaya-memutus-silaturahmi.html

Fikih Silaturahmi (Bag. 1): Pengertian, Hukum, dan Macam-Macam Kerabat

Hari raya Idulfitri dan libur lebaran sarat dengan istilah ‘silaturahmi’ saling mengunjungi satu dengan yang lain, mudik, halal bi halal, dan segala macam pernak-pernik lainnya yang berkaitan dengan menyambung silaturahmi. Lalu, apa yang dimaksud dengan silaturahmi di dalam syariat Islam? Apa saja yang diajarkan syariat ini terkait silaturahmi serta bagaimana hukumnya?

Makna dan pengertian silaturahmi

Silaturahmi merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Arab. Kata ini di dalam bahasa Arab sebenarnya tersusun dari 2 kata, As-Shilah (Arab: الصلة) dan Ar-Rahim (Arab: الرحم). Sehingga, agar mengetahui hakikat serta maknanya, haruslah mengetahui terlebih dahulu makna dari dua kata tersebut.

As-Shilah secara bahasa merupakan lawan dari Al-Qat’u (القطع) yang artinya terputus. Maka, makna As-Shilah adalah kata yang menunjukkan perihal menyambungkan dan menggabungkan satu objek dengan objek lainnya sehingga menempel dan tersambung.

Secara istilah makna As-Shilah adalah “berbuat baik tanpa mengharapkan balasan”. An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para ulama’ mengatakan, ‘Hakikat ‘menyambung’ (Arab: الصلة) adalah lemah lembut dan kasih sayang.’”

Adapun makna Ar-Rahim secara bahasa adalah rumah tumbuhnya sebuah janin dan tempat wadahnya di perut (tempat terbentuk dan terciptanya janin), kemudian dikaitkan kepada kerabat dekat dan sebab kedekatannya.”

Secara istilah Ar-Rahim memiliki arti istilah yang mencakup semua orang yang memiliki ikatan rahim dari kalangan karib kerabat serta disatukan oleh nasab, tanpa memandang apakah itu mahram bagi orang tersebut ataupun tidak.”

Dari penjabaran di atas, maka pengertian silaturahmi yang sesuai dengan kaidah bahasa dan ajaran Islam adalah seperti yang disampaikan oleh An-Nawawi rahimahullah,

هي الإحسان إلى الأقارب على حسب حال الواصل والموصول، فتارة تكون بالمال، وتارة بالخدمة، وتارة بالزيارة والسلام وغير ذلك

“Ia adalah berbuat baik kepada karib-kerabat sesuai dengan keadaan orang yang hendak menghubungkan dan keadaan orang yang hendak dihubungkan. Terkadang berupa kebaikan dalam hal harta, terkadang dengan memberi bantuan tenaga, terkadang dengan mengunjunginya, dengan memberi salam, dan cara lainnya”. (Syarh Shahih Muslim, 2: 201).

Seringkali orang-orang berdebat, mana yang benar antara ‘silaturahmi’ atau ‘silaturrahim’?

Untuk konteks penulisan bahasa Arab, kata silaturahim memiliki makna literal yang paling tepat. Karena, bila merujuk sejumlah hadis dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau lebih banyak menggunakan kata “rahim” atau “silaturahim” dibandingkan dengan kata “rahmi” dari “silaturahmi”.

Namun, di dalam bahasa Indonesia, kata yang terdaftar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ‘silaturahmi’ yang bermakna tali persahabatan (persaudaraan). Untuk itu, orang Indonesia lebih disarankan menggunakan kata silaturahmi yang makna katanya sudah dikembalikan ke dalam bahasa Indonesia.

Hanya saja harus kita pahami, kedua kata ini sejatinya berasal dari akar kata yang sama. tidak ada yang perlu dipermasalahkan antara silaturrahmi ataukah silaturahim. Selama makna yang dimaksud sama, yaitu menyambung hubungan persaudaraan dengan kerabat. Para ulama juga telah menetapkan sebuah kaedah,

لا مشاحة فى الاصطلاح

“Tidak ada perdebatan dalam istilah.”

Artinya, selama maknanya sama, maka tidak jadi masalah. Wallahu A’lam.

Mengenal dua macam kerabat

Kerabat terbagi menjadi dua macam: kerabat mahram dan kerabat nonmahram.

Kerabat mahram, yaitu ketika ada dua orang yang antara keduanya memiliki ikatan, jika dipermisalkan salah satunya laki-laki dan yang lainnya perempuan, maka keduanya tidak diperbolehkan untuk saling menikahi. Contohnya antara anak dengan bapak dan ibunya, ataupun dengan saudara laki-laki maupun perempuannya, ataupun kakek dan neneknya sampai ke tingkatan selanjutnya. Antara seseorang dengan anaknya atau anak suaminya (dari istri yang lain) hingga ke tingkatan bawahnya. Antara seseorang dengan saudara bapaknya (paman dan bibi pihak bapak) atau dengan saudara ibunya (paman dan bibi dari pihak ibu).

Kerabat non-mahram, yaitu mereka adalah kerabat yang bukan mahram kita, seperti anak perempuan paman dan bibi, baik dari pihak bapak ataupun dari pihak ibu.

Hukum silaturahmi

Dari peninjauan terhadap dalil yang ada, hukum dasar silaturahmi adalah wajib, di antaranya firman Allah Ta’ala,

وَاِذْ اَخَذْنَا مِيْثَاقَ بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ لَا تَعْبُدُوْنَ اِلَّا اللّٰهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا

“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, .janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dan bertuturkatalah yang baik kepada manusia.’” (QS. Al-Baqarah: 83)

Di ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman,

وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ

“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim (kekerabatan).” (QS. An-Nisa’: 1)

Al-Qurtubi rahimahullah di dalam kitab tafsirnya menambahkan, “Semua Millah (ajaran terdahulu) sepakat bahwa hukum menyambung tali silaturahmi adalah wajib dan memutuskannya merupakan sebuah keharaman.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  juga pernah bersabda,

خَلَقَ اللَّهُ الخَلْقَ، فَلَمَّا فَرَغَ منه قامَتِ الرَّحِمُ، فأخَذَتْ بحَقْوِ الرَّحْمَنِ، فقالَ له: مَهْ، قالَتْ: هذا مَقامُ العائِذِ بكَ مِنَ القَطِيعَةِ، قالَ: ألا تَرْضَيْنَ أنْ أصِلَ مَن وصَلَكِ، وأَقْطَعَ مَن قَطَعَكِ، قالَتْ: بَلَى يا رَبِّ، قالَ: فَذاكِ. قالَ أبو هُرَيْرَةَ: اقْرَؤُوا إنْ شِئْتُمْ: {فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ} [محمد: 22]

“Allah Ta’ala menciptakan makhluk. Dan setelah selesai dari menciptakannya, bangkitlah rahim, lalu berpegangan kepada kedua telapak kaki Tuhan Yang Mahapemurah. Maka Dia berfirman, ‘Apakah keinginanmu?’ Rahim menjawab, ‘Ini adalah tempat memohon perlindungan kepada-Mu dari orang-orang yang memutuskan (aku).’ Maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Tidakkah kamu puas bila Aku berhubungan dengan orang yang menghubungkanmu dan memutuskan hubungan dengan orang yang memutuskanmu?’ Rahim menjawab, ‘Benar, kami puas.’ Allah berfirman, ‘Itu adalah untukmu.’ Lalu Abu Hurairah berkata, ‘Bacalah oleh kalian bila kalian menghendaki firman Allah Ta’ala berikut, yaitu ‘Maka apakah kiranya jika kamu berpaling (dari jihad) kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?’ (QS. Muhammad: 22).” (HR. Bukhari no. 4830 dan Muslim no. 2554)

Hukum silaturahmi akan berbeda-beda tergantung jenis kekerabatannya. Para ulama berbeda pendapat terkait siapa saja yang wajib hukumnya untuk kita sambung silaturahmi dengannya (sehingga akan berdosa bila memutus silaturahmi dengan mereka) dan siapa saja kerabat yang hukumnya sunah untuk disambung silaturahminya.

Pendapat yang terkuat dari segi pendalilannya adalah pendapat yang masyhur di dalam mazhab Hanafi, serta merupakan pendapat sebagian ulama Maliki dan ini juga pendapatnya Abu Al-Khattab salah seorang ulama Hambali, yaitu “Kerabat yang wajib disambung silaturahminya adalah kerabat mahram kita.”

Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لا تُنكحُ المرأةُ علَى عمَّتِها ولا العمَّةُ علَى بنتِ أخيها ولا المرأةُ علَى خالتِها ولا الخالةُ علَى بنتِ أختِها ولا تُنكحُ الكبرى علَى الصُّغرى ولا الصُّغرى علَى الكبرى

“Tidak boleh seorang wanita dinikahi sebagai madu bibinya (saudari ayah), dan seorang bibi dinikahi sebagai madu anak wanita saudara laki-lakinya, dan tidak boleh seorang wanita dinikahi sebagai madu bibinya (saudari ibu) dan seorang bibi sebagai madu bagi anak wanita saudara wanitanya. Dan tidak boleh seorang kakak wanita dinikahi sebagai madu adik wanitanya, dan adik wanita dinikahi sebagai madu kakak wanitanya.” (HR. Abu Dawud no. 2065)

Di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

نهى رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أنْ تُزوَّجَ المرأةُ على العمَّةِ والخالةِ قال: ( إنَّكنَّ إذا فعَلْتُنَّ ذلك قطَعْتُنَّ أرحامَكنَّ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seorang wanita dinikahkan sebagai madu bibinya (dari pihak ayah) dan bibi (dari pihak ibu), kemudian beliau melanjutkan, ‘Sesungguhnya jika kalian (perempuan) melakukan hal seperti itu, maka kalian telah memutus hubungan kekerabatan kalian.’” (HR. Ibnu Hibban no. 4116)

Kemudian dalil mereka yang lain adalah mereka yang bukan mahram, maka dilarang untuk untuk berkhalwat (berduaan) dengan mereka dan dilarang juga bercampur baur dengan mereka, tentu hal ini bertolak belakang dengan realisasi silaturahmi. Baik itu pergi ke rumah mereka ataupun berkumpul dan duduk bersama mereka. Oleh karena adanya hal yang bertentangan ini, maka silaturahmi menjadi wajib hanya dengan kerabat mahram saja.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan, bahwa hukum menyambung silaturahmi terbagi menjadi dua:

Pertama: Wajib. Jika itu kepada kerabat dekat yang menjadi mahram bagi seseorang. Seperti saudara dan saudari bapak (paman dan bibi) ataupun saudara dan saudari ibu (paman dan bibi dari pihak ibu)

Kedua: Sunnah. Maka makruh untuk memutus hubungan dengan mereka, yaitu kerabat nonmahram bagi seseorang. Seperti anak paman dan bibi (sepupu).

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc

Sumber: https://muslim.or.id/75252-fikih-silaturahmi-bag-1-pengertian-hukum-dan-macam-macam-kerabat.html