Fikih Wakaf (Bag. 4): Status Kepemilikan Harta Wakaf

Dalam bagian ini, kami akan membahas tentang perpindahan status kepemilikan harta. Dalam hukum fikih, kepemilikan harta benda wakaf dibahas oleh ulama-ulama dari empat mazhab. Mereka berbeda pendapat, siapakah pemilik harta wakaf setelah seorang wakif mewakafkan hartanya?

Pandangan empat mazhab terhadap kepemilikan harta wakaf

Mazhab Maliki

Mazhab Maliki berpendapat bahwa kepemilikan harta benda wakaf tetap berada pada wakif karena wakaf tidak menghilangkan kepemilikan wakif atas harta benda yang diwakafkan. Akan tetapi, kepemilikannya tersebut bersifat terikat. Wakif tidak berhak menjualnya atau tidak melakukan tindakan hukum terhadap harta benda itu. Dalil yang digunakan mazhab Maliki adalah:

Pertama, hadis Nabi yang menjelaskan wakaf ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. Menurut sebagian riwayat berbunyi,

حبس الأصلَ وسبِّلِ الثمرةَ

Menahan pokok harta dan mengalirkan hasilnya.”

Menahan pokok harta tidak menyebabkan keluarnya harta dari kepemilikan wakif, tetapi tetap dalam kepemilikan wakif.

Kedua, wakaf adalah tindakan terhadap hasil pengelolaan harta yang diwakafkan dan bukan terhadap harta bendanya itu sendiri, kecuali sebatas tindakan yang diperlukan untuk memperoleh hasil. Dan itu tidak sampai menghilangkan kepemilikan wakif atas harta benda wakaf karena tidak ada sebab yang menghilangkannya. Sehingga kepemilikan harta benda wakaf tetap berada pada wakif. Adapun manfaatnya dan hasil dari benda wakaf, itulah yang diperuntukkan untuk mauquf ‘alaihi.

Mazhab Hanbali

Mazhab Hanbali berpendapat bahwa kepemilikan harta benda wakaf berpindah menjadi milik mauquf ‘alaihi. Contohnya adalah seseorang yang mewakafkan rumahnya kepada anak dari saudara laki-lakinya. Maka, rumah itu menjadi milik mereka. Dan ini juga menunjukkan bahwa mereka telah mendapatkan hak miliknya.

Mazhab Syafi’i dan Hanafi

Adapun pendapat terkuat dalam Mazhab Syafi’i dan pendapat Mazhab Hanafi, bahwa harta yang diwakafkan kepemilikannya telah berpindah dari milik wakif menjadi milik Allah. Pendapat ini berdasarkan dalil dari sebagian riwayat dalam hadis wakaf Umar radhiyallahu ‘anhu, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,

فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ

“Maka, ‘Umar mensedekahkannya di mana tidak dijual, tidak dihibahkan, dan juga tidak diwariskan. Dia sedekahkan untuk para fakir, kerabat, untuk membebaskan budak, fii sabilillah, ibnu sabil, dan untuk menjamu tamu.”

Mensedekahkan (mewakafkan) pokok harta mengharuskan keluarnya harta dari kepemilikan wakif. Dan tidak mungkin juga memasukkannya dan memindahkannya ke dalam kepemilikan yang lain (mauquf ‘alaihi) karena ia hanya berhak atas hasilnya.

Berdasarkan juga bahwa keluarnya harta untuk diwakafkan tersebut tujuannya adalah mengharap rida Allah. Maka, harta benda wakaf itu menjadi milik Allah.

Itulah ringkasan pendapat mazhab fikih tentang kepemilikan harta benda wakaf.

Bagaimana kepemilikan wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan kita?[1]

Dr. Fahruroji, Lc., MA., dalam bukunya yang berjudul “Wakaf Kontemporer” menyebutkan,

“Menurut pendapat penulis, tidak ada ketentuan yang tegas mengatur tentang siapa pemilik harta benda wakaf; milik Allah, milik wakif, atau milik mauquf ‘alaihi. Hanya ada satu ayat yang menegaskan soal kepemilikan harta benda wakaf, yaitu ayat (2) pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang menyebutkan bahwa,

‘Terdaftarnya harta benda wakaf atas nama nazhir tidak membuktikan kepemilikan nazhir atas harta benda wakaf. Sesungguhnya sudah jelas bahwa nazhir bukanlah sebagai pemilik harta benda wakaf karena ia hanya sebagai pihak yang menerima harta benda wakaf untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya dan/atau untuk kepentingan mauquf ‘alaihi. Demikian juga dengan mauquf ‘alaihi, bukan sebagai pemilik harta benda wakaf. Namun, hanya sebagai pihak yang ditunjuk untuk memperoleh manfaat dari peruntukan harta benda wakaf sesuai pernyataan kehendak wakif yang dituangkan dalam akta ikrar wakaf.’”

Penulis melanjutkan,

“Melalui pasal 3 ayat (2) di atas, dapat dipahami bahwa tidak ada orang atau pihak yang memiliki harta benda wakaf karena dengan telah diserahkannya harta benda sebagai wakaf, maka berpindah kepemilikannya kepada pemilik mutlak harta benda, yaitu Allah Ta’ala. Dengan demikian, pemilik harta benda wakaf secara tersirat adalah Allah Ta’ala. Dan inilah yang sesuai dengan pendapat mazhab Syafi’i sebagai mazhab yang dianut oleh umat Islam di Indonesia.

Meskipun demikian, secara tersirat juga disebutkan kepemilikan wakif atas harta benda wakaf dalam beberapa hal, misalnya dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 6 ayat (2) disebutkan,

‘Dalam hal di antara nazhir perseorangan berhenti dari kedudukannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 untuk wakaf dalam jangka waktu terbatas dan wakaf dalam jangka waktu tidak terbatas, maka nazhir yang ada memberitahukan kepada wakif atau ahli waris wakif apabila wakif sudah meninggal dunia.’

Kemudian Pasal 6 ayat (4) disebutkan,

‘Apabila nazhir dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak AIW (Akta Ikrar Wakaf) dibuat tidak melaksanakan tugasnya, maka kepala KUA (Kantor Urusan Agama) baik atas inisiatif sendiri maupun atas usul wakif atau ahli warisnya berhak mengusulkan kepada BWI (Badan Wakaf Indonesia) untuk pemberhentian dan penggantian nazhir.’

Meskipun tidak ada penjelasan siapa pemilik harta benda yang diwakafkan untuk jangka waktu sementara, namun secara tersirat dapat dipahami bahwa harta benda wakaf sementara tetap milik wakif. Sehingga, ketika jangka waktu yang ditentukan berakhir, maka wajib dikembalikan kepada wakif atau kepada ahli warisnya apabila wakif sudah meninggal dunia. Hal ini justru sejalan dengan pendapat mazhab Maliki yang membolehkan wakaf sementara dan menetapkan kepemilikan harta benda wakaf tetap menjadi milik wakif.”

Kesimpulan

Dr. Fahruroji, Lc., MA., kemudian menyampaikan sebuah saran dan kesimpulan yang sangat baik.

Seharusnya, ada ketegasan (dari pemerintah) dalam mengatur kepemilikan harta benda wakaf. Misalnya, harta benda yang telah diwakafkan selamanya telah keluar kepemilikannya dari wakif atau ahli warisnya; atau tidak lagi menjadi milik wakif atau ahli warisnya apabila wakif sudah meninggal dunia, tetapi berpindah kepemilikannya menjadi milik Allah yang dikelola dan dikembangkan oleh nazhir untuk kepentingan mauquf ‘alaihi. Dengan sudah jelasnya harta benda wakaf milik Allah, maka tidak ada lagi penyebutan wakif atau ahli warisnya sebagai pihak yang masih punya hak dalam pengusulan penggantian nazhir misalnya, atau dalam segala urusan yang terkait dengan wakaf, kecuali hak melakukan pengawasan dan pelaporan atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh nazhir.

Demikian juga, dengan harta benda yang diwakafkan untuk jangka waktu tertentu atau sementara, dibuatkan aturannya secara jelas. Misalnya, kepemilikannya berpindah selama jangka waktu tertentu dari milik wakif menjadi milik Allah. Sehingga selama jangka waktu itu, wakif atau ahli warisnya -apabila wakif sudah meninggal dunia- tidak berhak mengambilnya, menggunakannya, menjualnya, menghibahkannya, atau melakukan transaksi pemindahan kepemilikan lainnya. Wakif atau ahli warisnya, apabila wakif sudah meninggal dunia, baru berhak melakukan apa saja terkait kepemilikan harta benda manakala jangka waktu wakafnya sudah berakhir dan telah menerima kembali hartanya yang diwakafkan untuk jangka waktu tertentu.

Harta benda wakaf memang tidak sama dengan harta benda lainnya dalam hal berhentinya atau tertahannya harta benda wakaf dari perpindahan kepemilikan, kecuali penukaran harta benda wakaf dengan harta benda lainnya sebagai penggantinya (istibdal atau ruislagh). Akan tetapi, harta benda wakaf dan harta benda selain wakaf memiliki persamaan, yaitu harus berfungsi untuk kesejahteraan manusia. Harta benda yang telah diserahkan sebagai wakaf harus dikelola dan dikembangkan untuk keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.

Dengan demikian, wakif akan memperoleh pahala yang berlipat ganda dan berkelanjutan karena wakafnya bukan karena sebagai pemilik harta benda wakaf. Mauquf ‘alaihi meningkat kesejahteraannya karena sebagai penerima manfaat wakaf, bukan karena sebagai pemilik harta benda wakaf. Nazhir memperoleh imbalan karena sebagai pengelola harta benda wakaf, bukan karena memegang hak milik harta benda wakaf. Karena sejatinya, pemilik harta benda wakaf adalah Allah Ta’ala. Wallahu A’lam bisshawab.

[Bersambung]

Lanjut ke bagian 5: [Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Dikutip dari buku “Wakaf Kontemporer” karya Dr. Fahruroji, Lc, MA., hal. 69-72.

Sumber: https://muslim.or.id/91384-fikih-wakaf-bag-4-status-kepemilikan-harta-wakaf.html
Copyright © 2024 muslim.or.id