Mencari nafkah hidup merupakan perintah agama. Dengan mencari nafkah, atau istilah populernya bekerja, tentu saja yang dimaksud di sini adalah pekerjaan yang halal, seseorang menjadi bisa mandiri dan tidak menggantungkan diri pada orang lain.
Ketika muda, Rasulullah SAW adalah seorang pekerja yang sangat giat. Beliau menjual jasa menjadi gembala kambing kepada kaum kaya Makkah. Beliau juga menjualkan dagangan milik Khadijah ke Syam, untuk mendapatkan bagi hasil.
Bekerja tidak hanya sunah Rasulullah SAW, tetapi juga nabi-nabi pendahulunya. Misalnya Nabi Daud AS, ia mencari nafkah dari hasil pekerjaan tangannya sendiri, yakni melunakkan besi. Di tangan Daud AS, besi tak ubahnya adonan dan lilin, ia membuatnya menjadi baju zirah (baju besi), kemudian menjualnya ke pasar untuk menghidupi diri dan keluarganya dari hasil penjualannya.
Suatu hari Nabi Sulaiman AS minta ditunjukkan oleh Allah hamba yang lebih bersyukur daripadanya. Allah lalu mengutus Jibril untuk mengajari Sulaiman cara menyepuh perhiasan dengan emas, dan ia membuatnya pada kapak, lalu menjualnya. Begitulah, manusia pertama yang membuat hiasan dengan sepuhan emas adalah Nabi Sulaiman AS.
Allah SWT pun sangat cinta kepada orang yang bekerja. Sebagaimana diriwayatkan Thabrani dalam Al-Kabir, Rasulullah bersabda, ”Allah mencintai setiap Mukmin yang bekerja untuk keluarganya dan tidak menyukai Mukmin pengangguran, baik untuk pekerjaan dunia maupun akhirat.” Tsabit al-Banani RA, seorang sufi, berkata, ”Telah sampai kepadaku kabar bahwa ampunan terletak dalam sepuluh persoalan: sembilan terdapat dalam sikap diam dan satunya adalah lari dari manusia (uzlah). Ibadah ada sepuluh: sembilan di antaranya dalam mencari penghidupan (bekerja), dan satunya dalam ritual.”
Dalam sebuah hadis riwayat Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, ”Siapa mencari dunia secara halal, membanting tulang demi keluarga dan cinta tetangga, maka pada hari kiamat Allah akan membangkitkannya dengan wajah berbinar layak rembulan bulan purnama.” (Kitab al-Ittihaf, 5/414).
Sebaliknya, Islam juga sangat menentang sikap meminta-minta. Jabir bin Abdullah meriwayatkan, Nabi bersabda, ”Siapa yang membuka pintu meminta-minta, maka Allah pasti akan membuka pintu kefakiran. Sedangkan siapa yang ber-‘iffah (menjaga kehormatan diri, tidak meminta-minta), Allah akan menjaganya. Siapa yang mohon kecukupan kepada Allah, dia akan dicukupkan. Seseorang yang membawa tali ke lembah untuk mencari kayu, kemudian membawanya ke pasar untuk dibelikan satu mud kurma, lebih baik baginya daripada meminta-minta baik ia diberi atau tidak.” (Lihat, Musnad Ahmad, 2/418, Majma’ al-Zawa’id, 3/95).
Meski demikian, Islam di sisi lain mencela orang yang mengabaikan peminta-minta. Sebuah hadis meriwayatkan, sabda Nabi, ”Jika datang peminta-minta, berilah meskipun ia mengendarai kuda.” Hal ini didukung oleh surat Ad-Dhuha 10, yang melarang kita menghardik dan mengusir peminta-minta. Wallahu a’lam.