Viral Baca Teks Arab dari Kiri ke Kanan; Bukti Perlu Hati-hati Berguru Agama di Media Sosial

Viral di media sosial seorang mubaligh medsos yang membaca teks Arab dari kiri ke kanan. Karuan saja hal ini menuai kritikan, bahkan menjadi bahan olokan karena memang suatu kesalahan fatal. Teks bahasa Arab semestinya dibaca dari kanan ke kiri bukan sebaliknya.

Lebih fatal lagi, kelucuan atau lebih tepatnya kesalahan itu tampak ketika mubaligh berinisial HBS yang memiliki follower atau subscriber yang lumayan banyak tersebut adalah ketika membaca teks Arab blepotan kesalahan baca.

Di video yang viral di media sosial tersebut HBS sedang membaca salah satu halaman kitab Dzurrotun Nashihin tentang keutamaan shalat tarawih. Alhasil, semua orang dibuat tercengang ketika ia membaca teks arab kitab gundul tersebut dari kiri ke kanan dan bacaannya sangat menyimpang dari kaidah gramatikal bahasa Arab yang seharusnya.

Hal ini seharusnya menjadi pelajaran bagi mereka yang gemar belajar agama dari media sosial. Sebab, umumnya media sosial merupakan sumber yang kurang begitu otoritatif dalam hal pembelajaran agama.

Suatu peringatan akan bahaya belajar agama dari media sosial tanpa meneliti sumber dan kemampuan ilmu agama yang dimiliki oleh mubaligh yang bersangkutan. Belajar agama mestinya berguru langsung kepada ahlinya. Hal lain yang harus diperhatikan, belajar ilmu agama harus memperhatikan sanad keilmuan seorang guru. Keduanya menjadi syarat mutlak supaya tidak terjebak pada pemahaman agama yang keliru.

Belajar ilmu agama yang keliru akan berakibat fatal. Menyebabkan pemahaman yang parsial dan berakibat pada kesalahan penafsiran. Tanpa seorang guru agama yang kredibel dengan keilmuan agamanya seseorang akan terjebak pada pemahaman agama yang dangkal dan doktriner, hitam putih, serta memiliki kecenderungan senang menyalahkan orang atau kelompok lain. Padahal, sejatinya dirinya sendiri yang salah.

Belajar agama dari media sosial hanya akan menyebabkan seseorang gagal paham dengan term-term agama. Sebagai contoh adalah kesalahan memahami term jihad dalam Islam yang selalu dimaknai dengan perang dan negara harus berbentuk khilafah. Dua contoh ini merupakan efek buruk belajar agama dari media sosial. Sebab, di media sosial siapapun bisa menjadi dai atau mubaligh bermodal ketenaran.

Ekspresi keagamaan di ruang publik, khususnya di media sosial, dimana banyak sekali mempertontonkan sikap keagamaan yang radikal merupakan fenomena buruk akibat banyak orang banyak belajar kepada mereka yang hanya pandai berorasi dan kemampuan retorika. Sementara segmentasi dan penetrasi konten keagamaan yang disajikan tidak merepresentasikan ilmu agama yang sesuai dan seharusnya.

Ibnu Sirin mengingatkan: “Sesungguhnya ilmu agama ini adalah agama itu sendiri, maka cermati dari siapa kalian mengambil ilmu agama”.

Imam Nawawi juga mengatakan: “Tidak boleh meminta fatwa (belajar ilmu agama) kepada selain orang berilmu yang terpercaya”.

Kasus HBS menjadi alarm peringatan bagi umat Islam, bahwa ketenaran dan popularitas tidak memberikan garansi atas validitas kebenaran pengetahuan agama yang disampaikan. Disamping itu, popularitas tidak memberikan jaminan adanya sanad pengetahuan yang bisa dibuktikan validitasnya.

Fenomena HBS semakin memudarkan otoritas keilmuan. Membuktikan, kepakaran seseorang atas agama bisa saja dikalahkan oleh popularitas dengan jutaan subscriber dan follower. Suatu gejala beragama yang miris sekaligus sangat disayangkan. Dan, selama ini, banyak yang tertipu oleh penampilan lahiriah, popularitas dan retorika semata.

ISLAMKAFFAH