Hadis: Zakat Hewan Ternak (Bag. 3)

Diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تُؤْخَذُ صَدَقَاتُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى مِيَاهِهِمْ

“Sedekah (zakat) kaum muslimin itu diambil di sumber-sumber air mereka.” (HR. Ahmad 11: 343. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan sanad hadis ini hasan.)

Dalam riwayat Abu Dawud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَلَا تُؤْخَذُ صَدَقَاتُهُمْ إِلَّا فِي دُورِهِمْ

“Zakat mereka tidaklah diambil kecuali di kampung-kampung mereka.” (HR. Abu Dawud no. 1591 dan Ahmad 11: 288, sanadnya hasan.)

Kandungan hadis kelima

Hadis ini adalah dalil bahwa petugas zakat hendaknya mengambil zakat unta, kambing, atau harta zakat lainnya di sumber-sumber air (tempat hewan-hewan tersebut berkumpul untuk minum) atau di kampung-kampung tempat mereka tinggal. Di sini, Ibnu Hajar rahimahullah juga menyebutkan hadis riwayat Abu Dawud. Karena hadis riwayat Ahmad itu khusus berkaitan dengan zakat hewan ternak, yaitu agar petugas zakat mendatangi pemilik hewan ternak di sumber-sumber air di mana hewan ternak tersebut minum. Adapun riwayat Abu Dawud itu umum dan berlaku untuk semua jenis harta yang diambil zakatnya.

Ketika petugas zakat mengambil langsung harta zakat ke rumah pemiliknya, maka hal itu akan meringankan beban dan menghilangkan kesulitan orang yang terkena kewajiban zakat. Hal ini karena mereka tidak perlu repot dan kesusahan mendatangi baitul maal untuk membayar zakat.

Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Hal ini akan memudahkan semuanya. Memudahkan pemilik harta, dan juga memudahkan petugas penarik zakat karena orang yang wajib membayar zakat berkumpul di sumber air atau mata air. Petugas zakat tidak perlu mencari mereka ke padang pasir, karena hal itu akan menyusahkan.” (Tashilul Ilmam, 3: 109)

Demikianlah yang dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu beliau mengutus petugas zakat untuk menarik zakat ke rumah-rumah orang yang memiliki kewajiban zakat, kemudian mendistribusikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Sehingga hadis ini juga menjadi dalil bagi ulama yang berpendapat bolehnya mendistribusikan pembagian zakat ke luar daerah asal jika terdapat maslahat tertentu. Karena petugas zakat tersebut bisa saja menarik zakat dari penduduk di luar kota Madinah.

Teks hadis keenam

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيْسَ عَلَى المُسْلِمِ صَدَقَةٌ فِي عَبْدِهِ وَلاَ فِي فَرَسِهِ

“Tidak ada kewajiban zakat bagi seorang muslim pada budaknya dan kudanya.” (HR. Bukhari no. 1464 dan Muslim no. 982)

Kandungan hadis keenam

Hadis ini merupakan dalil tidak ada kewajiban zakat untuk harta seorang muslim yang dimanfaatkan untuk keperluan dirinya sendiri, dalam hadis ini disebutkan budak dan hewan kuda. Ibnul Mulaqin rahimahullah berkata, “Hadis ini adalah dalil pokok bahwa harta yang sifatnya tetap (tidak berkembang) itu tidak ada kewajiban zakatnya.” (Al-I’lam, 5: 53)

Hal ini karena harta tersebut dimanfaatkan secara khusus oleh pemiliknya, bukan harta yang berkembang dan mendatangkan keuntungan untuk pemiliknya. Sehingga ketentuan ini juga menjadi dalil adanya kemudahan syariat Islam.

Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah menjelaskan, “Zakat hanyalah dikenakan untuk harta berkembang dan diperdagangkan. Harta yang berkembang adalah harta yang memang dikelola untuk terus bertambah atau berkembang biak. Sedangkan harta yang diperdagangkan adalah harta yang dikelola untuk jual beli atau mencari keuntungan. Sehingga harta yang tidak berkembang itu tidak ada kewajiban zakatnya, yaitu harta yang dikonsumsi atau harta yang digunakaan (dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari).” (Tashilul Ilmam, 3: 109)

Sehingga termasuk dalam hadis tersebut adalah semua benda yang digunakan atau dimanfaatkan secara khusus oleh pemiliknya, misalnya kendaraan (mobil, meskipun mobil mewah), pakaian, atau perabot rumah tangga. Demikian pula barang-barang yang dipakai oleh pemiliknya untuk menjual jasa atau bekerja, misalnya mobil yang disewakan, alat-alat pertukangan, baik tukang kayu atau pandai besi, alat-alat masak, atau sejenis itu. Barang-barang semacam itu tidak ada kewajiban zakatnya. Yang dikenai zakat adalah hasil sewa atau upah yang dihasilkan, itupun jika telah mencapai nishab dan haul, sebagai zakat mal.

Termasuk juga adalah makanan yang disimpan untuk dikonsumsi. Misalnya, seseorang menyimpan kurma atau bahan makanan lain dalam jumlah besar. Meskipun sudah mencapai haul, maka tidak ada kewajiban zakat. Karena harta itu bukan harta yang dikembangkan, namun harta yang akan dikonsumsi.

Dalam hadis tersebut disebutkan kuda. Kuda tidak termasuk harta yang wajib dizakati. Karena kuda itu digunakan sebagai alat transportasi dan mengangkut barang. Kuda juga digunakan untuk jihad fii sabilillah, sehingga tidak dikenai zakat. Hewan yang memiliki fungsi yang sama, misalnya keledai atau baghal (peranakan antara kuda dan keledai) juga tidak dikenai kewajiban zakat. Demikian pula, seseorang yang memiliki budak, tidak ada kewajiban zakat bagi si pemilik budak. Karena budak tersebut dipekerjakan untuk membantu pekerjaan tuannya, meskipun budak tersebut harganya mahal.

Dapat dipahami dari hadis tersebut bahwa jika budak atau kuda tersebut diperdagangkan, maka ada kewajiban zakat atasnya. Karena jika diperdagangkan, harta benda tersebut tidak dimanfaatkan secara langsung, akan tetapi yang menjadi tujuan adalah nilai (harga) harta tersebut dan keuntungan dari penjualannya.

Teks hadis ketujuh

Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (berkaitan dengan zakat sapi),

وَلَيْسَ عَلَى الْعَوَامِلِ شَيْءٌ

“Tidak ada kewajiban zakat untuk (sapi) pekerja.” (HR. Abu Dawud no. 1572 dan Ad-Daruquthni 2: 103, sanadnya hasan)

Kandungan hadis ketujuh

Hadis ini juga menjadi dalil bahwa sapi yang dimanfaatkan untuk membajak atau mengairi sawah itu tidak ada kewajiban zakatnya. Karena sapi tersebut dimanfaatkan untuk mengerjakan pekerjaan tertentu dan bukan termasuk harta yang berkembang yang ada kewajiban zakatnya.

Demikianlah serial pembahasan yang berkaitan dengan kewajiban zakat hewan ternak, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

@Kantor Pogung, 17 Jumadil awal 1445/ 1 Desember 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/90567-zakat-hewan-ternak-bag-3.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Hadis: Zakat Hewan Ternak (Bag. 2)

Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، كَتَبَ لَهُ الصَّدَقَةَ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَلاَ يُخْرَجُ فِي الصَّدَقَةِ هَرِمَةٌ وَلاَ ذَاتُ عَوَارٍ، وَلاَ تَيْسٌ، إِلَّا مَا شَاءَ المُصَدِّقُ

Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu telah menulis ketentuan tentang zakat sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, (yaitu) janganlah mengeluarkan zakat kambing yang sudah berumur tua, yang buta sebelah (cacat), dan jangan pula kambing bibit (pejantan), kecuali apabila orang yang berzakat mau mengeluarkan sedekah.” (HR. Bukhari no. 1455)

Kandungan hadis kedua

Pertama, hadis ini merupakan dalil bahwa tidak boleh membayar zakat dengan “al-harimah” (الهرمة), yaitu sapi betina yang genap berusia dua tahun dan masuk tahun ketiga, namun gigi-giginya sudah rontok karena sudah tua. Juga tidak boleh mengeluarkan zakat berupa “dzatu ‘awar” (ذَاتُ عَوَارٍ), yaitu kambing yang memiliki cacat atau penyakit yang nyata terlihat.

Kedua, para ulama berbeda pendapat tentang cara membaca (المصدق). Mayoritas ulama membaca dengan men-tasydid huruf shad dan dal (al-mushshaddiq), yaitu orang yang mengeluarkan zakat (pemilik hewan ternak). Sehingga maksud hadis adalah, “Tidak boleh mengeluarkan zakat berupa al-harimah dan dzatu ‘awar sama sekali (dua hal ini mutlak tidak boleh); demikian pula, tidak boleh mengeluarkan zakat berupa kambing pejantan, kecuali dengan rida si pemilik hewan.” Hal ini karena pemilik hewan membutuhkan kambing pejantan tersebut. Berdasarkan hal ini, pengecualian tersebut hanya berlaku untuk kambing pejantan saja, tidak berlaku untuk harimah dan dzatu ‘awar.

Akan tetapi, sebagian ulama membaca dengan hanya men-tasydid huruf dal saja (al-mushaddiq), yaitu orang (petugas) yang mengambil zakat atau penggembala hewan (bukan pemilik). Jika dibaca demikian, maka petugas zakat akan berijtihad manakah yang lebih baik. Dia boleh mengambil kambing pejantan sebagai zakat jika memang melihat ada maslahat di dalamnya. Petugas zakat juga boleh mengambil al-harimah sebagai zakat, jika memang ada maslahat untuk orang-orang fakir, misalnya karena hewannya gemuk. Demikian pula, boleh mengambil dzatu ‘awar jika memang menilai ada maslahat. Inilah yang tampaknya lebih mendekati. Hal ini karena pemilik hewan pada umumnya dikhawatirkan akan merugikan orang-orang miskin, sehingga pendapatnya tidak diterima. Adapun penggembala hewan, itu statusnya seperti wakil, sehingga dia tentu akan berusaha melihat manakah yang lebih maslahat.

Teks hadis ketiga

Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ فَرِيضَةَ الصَّدَقَةِ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ مِنَ الإِبِلِ صَدَقَةُ الجَذَعَةِ، وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ، وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الحِقَّةُ، وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إِنِ اسْتَيْسَرَتَا لَهُ، أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الحِقَّةِ، وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ الحِقَّةُ، وَعِنْدَهُ الجَذَعَةُ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الجَذَعَةُ، وَيُعْطِيهِ المُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ، وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الحِقَّةِ، وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ إِلَّا بِنْتُ لَبُونٍ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ لَبُونٍ وَيُعْطِي شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الحِقَّةُ وَيُعْطِيهِ المُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ، وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ، وَعِنْدَهُ بِنْتُ مَخَاضٍ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ مَخَاضٍ وَيُعْطِي مَعَهَا عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ

“Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu telah menulis surat kepadanya (tentang aturan zakat) sebagaimana apa yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu barangsiapa yang memiliki unta dan terkena kewajiban zakat jadza’ah, sedangkan dia tidak memiliki jadza’ah dan yang dia miliki hanya hiqqah, maka dibolehkan baginya mengeluarkan hiqqah sebagai zakat; namun dia harus menyerahkan pula bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham.

Barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat hiqqah, sedangkan dia tidak memiliki hiqqah, namun dia memiliki jadza’ah, maka diterima zakat darinya berupa jadza’ah dan dia menerima (diberi) dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat hiqqah namun dia tidak memilikinya kecuali bintu labun, maka diterima zakat darinya berupa bintu labun; namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun dan dia hanya memiliki hiqqah, maka diterima zakat darinya berupa hiqqah dan dia menerima dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun, sedangkan dia tidak memilikinya kecuali bintu makhadh, maka diterima zakat darinya berupa bintu makhad,  namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua puluh dirham atau dua ekor kambing.” (HR. Bukhari no. 1453)

Kandungan hadis ketiga

Hadis ini merupakan dalil bahwa siapa saja yang wajib mengeluarkan zakat berupa unta dengan kriteria umur tertentu, misalnya dia wajib mengeluarkan zakat berupa 1 jadza’ah, namun dia tidak punya unta jadza’ah, sedangkan yang dia miliki hanyalah hiqqah (yang usianya lebih muda), maka dia boleh membayar dengan hiqqah. Akan tetapi, dia juga wajib menyerahkan dua ekor kambing atau 20 dirham sebagai tambahan. Karena jika dijual, harga jadza’ah tentu lebih mahal daripada hiqqah.

Sebaliknya, apabila seseorang wajib mengeluarkan zakat berupa 1 hiqqah, namun dia hanya punya jadza’ah (yang usianya lebih tua), maka dia boleh membayar dengan jadza’ah. Akan tetapi, petugas zakat harus memberikan dua ekor kambing atau 20 dirham sebagai pengembalian. Ketentuan semacam ini hanya khusus berkaitan dengan zakat unta, karena yang terdapat penjelasan dalam As-Sunah adalah hanya berkaitan dengan zakat unta.

Dzahir hadis ini menunjukkan bahwa 20 dirham ini senilai dengan 2 ekor kambing, namun bukan suatu ketetapan (ketentuan) pasti. Maksudnya, apabila harga 2 ekor kambing di jaman ini adalah 200 dirham, maka dia diberi pengembalian 200 dirham.

Teks hadis keempat

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

بَعَثَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى اليَمَنِ، فَأَمَرَنِي أَنْ آخُذَ مِنْ كُلِّ ثَلَاثِينَ بَقَرَةً تَبِيعًا أَوْ تَبِيعَةً، وَمِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ مُسِنَّةً، وَمِنْ كُلِّ حَالِمٍ دِينَارًا، أَوْ عِدْلَهُ مَعَافِرَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusku ke Yaman dan menyuruhku untuk mengambil zakat dari setiap 30 ekor sapi zakatnya 1 ekor tabi’ atau tabi’ah, dan setiap 40 ekor sapi zakatnya 1 ekor musinnah. Serta mengambil jizyah dari (setiap orang kafir) yang baligh satu dinar atau seharga satu dinar seperti baju ma’afir (baju yang dibuat di Ma’afir, salah satu daerah di Yaman).” (HR. Abu Dawud no. 1576, Tirmidzi no. 623, An-Nasa’i 5: 25-26, Ibnu Majah no. 1803, dan Ahmad 36: 338-339, sahih)

Terdapat beberapa istilah yang perlu dijelaskan terlebih dahulu dari hadis di atas, yaitu:

Tabi’ adalah sapi jantan yang genap berusia 1 tahun dan saat ini sedang di tahun kedua.

Tabi’ah adalah sapi betina yang genap berusia 1 tahun dan saat ini sedang di tahun kedua.

Musinnah adalah sapi betina yang genap berusia 2 tahun dan saat ini sedang di tahun ketiga.

Kandungan hadis keempat

Pertama, hadis tersebut merupakan dalil wajibnya zakat sapi ketika mencapai 30 ekor. Untuk memudahkan, kadar wajib zakat sapi kami ringkas sebagaimana tabel berikut ini.

Nishab (jumlah sapi)Kadar wajib zakat
30-39 ekor1 tabi’ atau 1 tabi’ah (boleh memilih)
40-59 ekor1 musinnah
60-69 ekor2 tabi’
70-79 ekor1 musinnah dan 1 tabi’
80-89 ekor2 musinnah
90-99 ekor3 tabi’
(Dan demikian seterusnya)Untuk setiap 30 ekor: 1 tabi’ atau tabi’ah; dan setiap 40 ekor: 1 musinnah

Dari tabel di atas, jika jumlah sapi kurang dari 30 ekor, maka tidak ada kewajiban zakat; hal ini menurut jumhur ulama. Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa yang disyariatkan terkait zakat sapi adalah sebagaimana yang terdapat dalam hadis Mu’adz ini. Dan di dalamnya juga terkandung nishab yang disepakati terkait zakat sapi.” (Al-Istidzkar, 9: 157)

Kedua, hadis ini merupakan dalil bahwa orang kafir dzimmi tidak termasuk orang yang wajib mengeluarkan zakat. Akan tetapi, dia ditarik jizyah jika sudah baligh. Untuk setiap satu kepala, besar jizyah-nya adalah 1 dinar, atau setara dengan 4,25 gram emas atau jika bukan emas, maka barang lain yang senilai harganya dengan 4,25 gram emas.

Kembali ke bagian 1: Zakat Hewan Ternak (Bag. 1)

Lanjut ke bagian 3: [Bersambung]

***

@Kantor Pogung, 17 Jumadil awal 1445/ 1 Desember 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/90565-zakat-hewan-ternak-bag-2.html
Copyright © 2024 muslim.or.id