Mahmud Thahan dalam Taisir Musthalah al-Hadits menjelaskan, jika ditinjau kuat dan lemahnya sanad, hadis ahad terbagi menjadi dua; maqbul dan mardud.
Hadis maqbul artinya hadis yang telah jelas kebenaran yang diriwayatkan perawi. Maqbul sendiri secara bahasa berarti yang diterima. Hukum hadis maqbul adalah wajib dijadikan landasan dalil hukum dan diamalkan.
Berdasarkan kualitasnya, hadis maqbul terbagi menjadi empat bagian;
- Shahih li dzatihi; Hadis yang sanadnya tersambung, dengan perantara perawi yang ‘adil dan kuat hafalannya, tanpa ada syadz dan illat.
- Shahih li lighairihi; Hadis hasan yang naik derajatnya menjadi shahih karena ada riwayat yang sama yang lebih kuat darinya.
- Hasan li dzatihi; hadis yang sanadnya tersambung dengan perantara perawi yang adil tapi terdapat kekurangan pada hafalannya, tidak ada syadz dan illat.
- Hasan di ghairihi; hadis dhaif yang naik dejaratnya menjadi hasan karena ada riwayat lain yang lebih kuat darinya.
Jika hadis maqbul adalah hadis yang memiliki syarat-syarat hadis maqbul seperti dijelaskan di atas, maka hadis mardud adalah hadis yang tidak mencukupi syarat hadis maqbul. Setiap hadis yang mardud atau ditolak hukumnya dhaif.
Menurut ulama mutaqaddimin, hadis dhaif ada yang matruk (ditinggal) dan ada yang tidak sampai matruk (ditinggal) ini merupakan penjelasan Ibnu Taimiyah. Sementara ulama muta’akhirin menyebutkan, hadis mardud adalah hadis yang tidak memenuhi syarat hadis shahih dan tidak pula syarat hadis hasan.
Artinya hadis mardud adalah hadis yang tidak jelas kebenaran riwayat yang disampaikan perawi. Secara bahasa, mardud artinya yang ditolak dan tidak diterima. Hukumnya, hadis mardud tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib mengamalkannya. Hadis tertolak terkadang karena sanadnya terputus atau karena terdapat masalah pada diri perawi.
BINCANG SYARIAH