Meski Dijajah, Minat Berhaji Muslim Nusantara tetap Tinggi

Setelah dibukanya Terusan Suez di Mesir pada 1869, M.C. Ricklefs, seorang Sejawaran modern Indonesia mencatat jumlah jamaah haji dari Nusantara meningkat tajam. Hal tersebut, berbarengan dengan pengalihan jalur-jalur pelayaran utama Asia Tenggara-Eropa ke Laut Merah.

Pada 1850-1860an jumlah orang dari kepulauan Nusantara yang naik haji setiap tahunnya menyentuh angka rata-rata sekitar 1.600an orang. Sekitar satu dekade berikutnya, jumlah ini naik menjadi 2.600 orang, dan terus meningkat pada 1.880an menjadi 4.600an orang. Hingga akhir abad ke 19 jumlah jamaah haji dari kepulauan Nusantara tercatat lebih dari 7.000an orang.

Ini menunjukkan di tengah berbagai masalah di daerah jajahan kolonial Belanda di Nusantara, animo masyarakat Muslim untuk menunaikan ibadah haji tidak surut.  Apalagi sejak Terusan Suez dibuka pada 1869,  jumlah jamaah asal Nusantara terus meningkat. Pada 1880-1885 misalnya, jamaah haji asal wilayah Hindia Belanda mencapai sekitar 15 persen dari total jamaah haji di Makkah.

Hal ini juga dipicu semakin murahnya ongkos tiket dengan menggunakan kapal khusus. Dalam Koloniaal Verslag 1870 diungkapkan bahwa harga tiket dengan kapal khusus itu jauh lebih murah. Jamaah dari Jakarta dikenakan ongkos 60 dolar AS. Sedangkan dari Padang ongkosnya 50 dolar AS. Harga ini jauh lebih murah dibandingkan kapal dagang yang mematok 150 gulden.

Menurut data 1872, jumlah jamaah haji Nusantara di Jeddah mencapai 4.688 orang. Dari jumlah tersebut, ada 997 jemaah yang tidak memiliki pas haji. Hingga akhir abad ke 19 masih banyak dijumpai jamaah haji yang tak memiliki pas jalan. Berapa biaya haji kala itu? Merujuk data Koloniaal Verslag 1881 dan 1882, tarif biaya haji pergi-pulang mencapai 282,99 gulden atau sekitar 125 dolar AS.

Namun, jika calon jamaah membeli tiket pergi saja, harganya malah mencapai 322,99 gulden atau sekitar 150 dolar AS. Bagi jemaah haji yang berangkat dari Singapura, cukup membayar 227,54 gulden atau sekitar 110 dolar AS. Biaya itu termasuk biaya tiket ke pelabuhan di Nusantara sebesar 32,5 gulden dan makan 36 hari selama pelayaran senilai 10,80 gulden.

Uniknya, jamaah haji yang berangkat dari Singapura bisa menikmati tarif Syekh yang lebih murah, hanya 8,75 gulden dibandingkan dari Nusantara, yakni 17,50 gulden. Dilihat dari perekonomian Nusantara saat itu, biaya haji bisa dikatakan masih sangat murah. Dalam Koloniaal Verslag 1888 dan 1889 dilaporkan bahwa harga cengkeh satu kilogram tercatat 50 gulden.

Dengan demikian petani cengkeh saat itu, yang ingin naik haji cukup menjual 5,5 kilogram. Perekonomian yang membaik mendorong semakin banyak warga Indonesia yang menunaikan ibadah haji. Pada 1889 misalnya, jumlah jemaah haji naik menjadi 3.100 orang. Bahkan setahun berikutnya, jumlah jemaah haji melonjak lebih dari 5000 orang. Bahkan pada 1896, jumlah jemaah haji menembus angka 11.700 orang.

 

Jurnal Haji

Cara Belanda Agar Muslim Nusantara tak Pergi Haji

Setelah berbagai upaya menghambat pemberangkatan dan mengawasi perhajian Muslim dari Nusantara, Pemerintah Belanda akhirnya sadar cara ini tidak efektif. Bahwa pengawasan yang ketat dan ujian bagi jemaah haji yang baru kembali dari Makkah ternyata tidak menyurutkan Muslim di Nusantara terus menunaikan ibadah haji.

Pemerintah Hindia Belanda lalu mengubah strategi, berupaya seolah mendukung umat Islam menunaikan ibadah haji. Peraturan yang menetapkan bahwa setiap berhaji harus mensyaratkatkan uang sejumlah 500 gulden pada 1859 pun diganti. Pada 1902, aturan tersebut dihapuskan, termasuk aturan ujian khusus bagi bupati pribumi yang telah menunaikan ibadah haji.

Perubahan persepsi terkait haji ini, mulai terjadi ketika C. Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda, pada 1889 bekerja sebagai staf pemerintah Hindia Belanda dan dipercaya menangani bidang agama dan politik Islam. Dalam melaksanakan tugasnya, Hurgronje dibantu oleh instansi terkait yang menyokong ide-idenya yang dikenal dengan Kantoor voor Inlandsche zaken.

Kantor voor Inlandsche zaken merupakan sayap dari advisieur, seperti badan penasihat. Salah satu tugas advisieur, sesuai dengan instruksi pemerintah Hindia Belanda pada 1931 adalah memprioritaskan perhatian naik haji ke Makkah. Menurut Hurgronje, para haji yang baru kembali dari Makkah tidak berbahaya bagi kedudukan pemerintah Hindia Belanda. Sehingga mereka tidak perlu diterapkan aturan birokrasi yang ketat.

Untuk itu, lanjut Hurgronje, pemerintah Hindia Belanda harus lebih meningkatkan pelayanan kemudahan berhaji. Karena haji merupakan wilayah netral, semata-mata karena kepentingan ibadah. Toleransi terhadap masalah ini merupakan kewajiban yang tidak boleh dianggap remeh, demi terciptanya ketenangan dan stabilitas umat Islam di Nusantara.

Jika tidak dijaga stabilitas ini, menurut Hurgronje, justru akan menimbulkan masalah baru bagi pemerintah Hindia Belanda. Kendati demikian, pemerintah Hindia Belanda tetap saja mengawasi secara ketat, penyelenggaraan ibadah haji dan muslim Nusantara yang kembali dari Tanah Suci.

 

Jurnal Haji