Hakikat Riba

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Riba secara bahasa artinya bertambah. Sedangkan secara syara’ adalah penambahan pada ra’sul maal (harta pokok) sedikit atau banyak.

Hukum Riba

Riba hukumnya haram. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ {278} فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ {279}

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.—-Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Al Baqarah: 278-279)

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang yang bermu’amalah dengan riba dengan ancaman yang yang sangat berat, Dia berfirman:

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. (QS. Al Baqarah: 275)

Di ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa orang yang bermu’amalah dengan riba tidak dapat bangkit dari kuburnya pada hari Kiamat melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila, hal ini disebabkan mereka memakan riba ketika di dunia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengancam neraka kepada orang yang memakan riba (Lihat Al Baqarah: 275), mencabut keberkahan pada harta yang bercampur riba, yaitu pada firman-Nya “Yamhaqullahurr ribaa,” (Al Baqarah: 276) sehingga harta itu hanyalah membuat kelelahan baginya ketika di dunia, azab baginya ketika di akhirat dan ia tidak dapat mengambil manfaatnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menamai pemakan riba sebagai “Kaffaar” (lihat surat Al Baqarah ayat 276), yang artinya sangat kufur, yakni sangat kufur terhadap nikmat Allah, karena ia tidak kasihan kepada orang yang lemah, tidak membantu orang fakir, tidak memberi tempo kepada orang yang kesusahan. Dan bisa mengeluarkannya dari Islam, jika ia menganggap halal melakukan riba. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengumumkan perang dari-Nya dan dari Rasul-Nya kepada orang-orang yang memakan riba, dan menyifati orang-orang yang memakan riba sebagai orang yang zalim (lihat Al Baqarah: 279)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melaknat semua orang yang ikut serta dalam ‘akad riba, Beliau melaknat orang yang memberi pinjaman (yakni yang mengambil riba), orang yang meminjam (yakni yang akan memberikan riba), penulis yang mencatatnya dan dua saksinya. Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, ia berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberinya, dua saksinya dan penulisnya. Beliau juga bersabda, “Mereka sama (dosanya).”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Pengharaman riba lebih keras daripada pengharaman maisir, yaitu judi.”

Bahkan memakan riba adalah sifat orang-orang Yahudi yang mendapatkan laknat, lihat surat An Nisaa’: 161.

Hikmah Diharamkan Riba

Hikmah diharamkannya riba adalah karena di dalamnya:

–     Sama saja memakan harta orang lain dengan cara yang batil.

–     Menimbulkan peremusuhan di antara sesama dan menghilangkan ruh ta’awun (tolong-menolong).

–     Memadharratkan kaum fakir’ dan orang-orang yang membutuhkan.

–     Menghilangkan kerja dan usaha.

–     Menimbulkan kemalasan bekerja.

–     Wasilah yang menjadikan suatu negeri mudah dijajah.

–     Dll.

Riba dan Pembagiannya

Riba terbagi dua; Riba Nasii’ah dan Riba Fadhl.

1. Riba Nasi’ah

Riba Nasii’ah diambil dari kata nas-’ yang berarti penundaan, yakni riba karena adanya penundaan. Riba Nasii’ah artinya tambahan yang disyaratkan oleh pemberi pinjaman dari si peminjam sebagai ganti dari penundaan. Riba ini jelas haram berdasarkan Al Qur’an, sunah dan Ijma’.

Riba Nasii’ah ada dua macam:

a)  Qalbud dain ‘alal mu’sir, yaitu orang lain mempunyai hutang kepadanya dengan pembayaran ditunda, ketika tiba waktu menagih, ia (pemberi pinjaman) berkata kepada penghutang, “Anda ingin membayar atau akan ditambah hutang anda?” Jika tidak membayar, maka si pemberi pinjaman menambahkan lagi waktunya dan menambahkan pembayaran yang sebelumnya contoh 1.000.000,- menjadi 10.50.000,-  dsb. Inilah riba di zaman Jahiliyah. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan riba ini dengan firman-Nya:

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 280)

Oleh karena itu, jika waktu penagihan tiba, namun si peminjam tidak mampu membayar, tidak boleh bagi si pemberi pinjaman menambahkan hutangnya, bahkan ia wajib menunggunya.

b)  Riba Nasii’ah jenis kedua, yaitu menjual barang yang terdiri dari dua jenis; yang sama dalam hal ‘illat riba fadhl dengan adanya pengaruh yang timbul jika diterima keduanya atau salah satunya. Misalnya menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam secara penundaan salah satunya.

2. Riba Fadhl

Riba Fadhl artinya terjadinya kelebihan di salah satu barang, yakni menjual uang dengan uang atau makanan dengan makanan dengan adanya kelebihan. Riba fadhl hukumnya haram berdasarkan sunah dan Ijma’, karena bisa mengarah kepada riba nasii’ah.

Di dalam hadits disebutkan lebih jelas pengharaman riba pada enam barang; emas, perak, bur/gandum, sya’ir, kurma dan garam. Jika barang-barang ini dijual dengan barang yang sejenis, diharamkan adanya kelebihan di antara keduanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ سَوَاءٌ بِسَوَاءٍ مِثْلٌ بِمِثْلٍ مَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الْآخِذُ وَالْمُعْطِي سَوَاءٌ

Emas dengan emas, perak dengan perak, kurma dengan kurma, sya’ir dengan sya’ir, gandum dengan gandum, garam dengan garam, sama dan sebanding. Barang siapa menambah-nambah atau minta ditambah maka ia telah melakukan riba, baik yang mengambil atau yang meminta hukumnya sama.” (HR. Ahmad dan Bukhari)

Di hadits ini jelas sekali haramnya menjual emas dengan emas; apa pun macamnya, perak dengan perak apa pun macamnya kecuali secara sama di samping langsung serah terima.

Diqiaskan dengan enam barang ini adalah barang-barang yang sama illatnya dengan enam barang ini, sehingga barang-barang tersebut haram juga jika ada kelebihan di salah satunya. Namun para ulama berselisih tentang batasan ‘illat. Yang jelas bahwa enam barang tersebut merupakan asas yang dibutuhkan manusia.

Pendapat yang shahih (benar) adalah bahwa illat pada mata uang (emas dan perak) adalah “Bisa dijadikan sebagai alat pembayaran.” Oleh karena itu, masuk ke dalamnya setiap barang yang bisa dijadikan alat pembayaran. Misalnya uang kertas yang dipakai zaman sekarang, maka haram hukumnya ada kelebihan apabila salah satunya dijual dengan barang yang sama jenisnya; yakni uang tersebut dikeluarkan oleh negara yang sama.

Pendapat yang benar bahwa illat pada gandum, sya’ir, kurma dan garam adalah bisa “ditakar atau ditimbang di samping bisa dimakan”[1], sehingga setiap barang yang bisa bisa ditakar atau ditimbang yang termasuk bisa dimakan, maka haram terjadi kelebihan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Illat diharamkan Riba Fadhl adalah “bisa ditakar” atau “bisa ditimbang” di samping bisa dimakan, ini adalah salah satu riwayat Ahmad.”

Oleh karena itu, setiap barang yang masuk ke dalam enam barang yang disebutkan nasnya karena sama ‘illatnya; yakni bisa ditakar atau ditimbang serta bisa dimakan atau adanya ‘illat “bisa dijadikan alat pembayaran” jika berupa mata uang, maka bisa masuk riba. Jika di samping sama ‘illatnya adalah sama jenisnya; seperti jual beli gandum dengan gandum maka haram adanya kelebihan dan adanya penangguhan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ , وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ , وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ , وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ , وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ , وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ ; مَثَلًا بِمَثَلٍ , يَدًا بِيَدٍ

 “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sejenis dan langsung serah terima (sebelum berpisah).”

Kesimpulan

Dengan demikian, apabila dijual barang ribawi dengan yang sejenisnya, seperti emas dengan emas atau gandum dengan gandum, maka harus terpenuhi dua syarat:

1)   Sama jumlahnya, tanpa melihat kepada bagus atau jeleknya (yang ditakar dengan yang ditakar dan yang ditimbang dengan yang ditimbang)

Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id yang diriwayatkan oleh Muslim sbb.: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah diberi kurma.” Lalu beliau bertanya. “Apakah kurma ini dari kurma kita?” Maka laki-laki yang memberi menjawab, “Wahai Rasulullah, kami menukar dua sha’ kurma dengan satu sha’ kurma seperti ini.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Inilah yang dinamakan riba, kembalikanlah kurma ini kemudian jualah kurma milik kita, lalu uang hasil penjualan kurma tersebut kamu belikan kurma seperti ini.”

2)   Salah satunya tidak ditunda (serah terima di majlis akad sebelum berpisah)

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ

Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali harus sama, dan janganlah kamu melebihkan salah satunya. Janganlah kamu menjual perak dengan perak kecuali secara sama dan janganlah kamu melebihkan salah satunya, dan janganlah kamu menjual yang tidak di tempat dengan yang ada di tempat.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id)

Namun, jika sama ‘illatnya  dan berbeda jenisnya, seperti menjual bur dengan sya’ir, maka tidak boleh terjadi penangguhan di salah satunya dan boleh adanya kelebihan, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَشْيَاءُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Jika barang-barang ini berbeda, maka juallah semau kalian dengan syarat langsung serah terima.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Maksud “langsung serah terima” adalah langsung serah terima di majlis itu sebelum salah seorang di antara keduanya berpisah dari yang lain.

Dan jika illat dan jenisnya berbeda, maka boleh dua hal ini; adanya kelebihan dan adanya penangguhan. Misalnya emas dengan gandum dan perak dengan sya’ir.

Beberapa Contoh:

  1. Menjual 100 gram emas dengan 100 gram emas yang ditunda setelah sebulan. Hal ini riba, karena tidak langsung serah terima di majlis akad.
  2. Membeli 1 kg sya’ir (salah satu jenis gandum) dengan 1 kg bur (gandum) adalah boleh karena berbeda jenis, namun disyaratkan langsung serah terima di majlis akad.
  3. Menjual 50 kg gandum dengan seekor kambing adalah boleh secara mutlak, baik adanya serah terima di majlis maupun tidak.
  4. Tukar menukar uang dolar, misalnya 100 dolar ditukar dengan 120 dolar. Hal ini tidak boleh.
  5. Meminjamkan 1.000 dolar dengan syarat dikembalikan setelah sebulan atau lebih 1.200 dolar. Hal ini juga tidak boleh.
  6. Menukar 100 dirham perak dengan 10 junaih emas yang akan dibayarkan setelah berlalu setahun. Hal ini tidak boleh, karena harus langsung serah terima.
  7. Jual beli saham bank ribawi juga tidak boleh, karena termasuk menjual uang dengan uang tanpa ada kesamaan dan serah terima.

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.

Oleh: Marwan bin Musa

Maraji’: Al Fiqhul Muyassar, Al Mulakhkhash Al Fiqhiy  dll.


[1] Yang lain ada yang berpendapat bahwa ‘illat empat barang ini (gandum, sya’ir, tamar/kurma dan garam) adalah sebagai makanan pokok. Oleh karena itu jika terdapat hal yang sama illatnya (yakni sebagai bahan makanan pokok) pada barang-barang selain empat hal tersebut, maka diharamkan juga terjadi kelebihan dan haram terjadi penundaan (yakni harus langsung serah terima).

Read more https://yufidia.com/3274-hakikat-riba.html