Hal-Hal yang Harus Diperhatikan Seorang Muslim dalam Hal Bersuci (Bag. 3)

Kedua puluh dua: Berhati-hati dari gangguan waswas tatkala wudu dan salat

Perasaan waswas terkadang dirasakan oleh mereka yang sedang wudu ataupun salat. Saat itu, yang wajib dilakukan oleh seorang muslim adalah tidak terlalu mempedulikan hal tersebut dan tidak menggubrisnya sehingga ia tidak menjadi tawanan bagi rasa waswas tersebut. Lihat bagaimana Nabi memberikan petunjuk kepada sahabat.

Sering kita jumpai, mereka yang diberi ujian terkena penyakit waswas akhirnya membutuhkan waktu lama untuk berwudu, terus mengulangi wudunya hingga berkali-kali. Rasa waswas ini terkadang juga muncul dalam bentuk banyaknya keraguan, apakah ia telah membasuh bagian kakinya ataukah belum? Apakah ia sudah mengusap kepalanya ataukah belum? Dan keraguan-keraguan lainnya. Waswas ini terkadang juga muncul dalam bentuk perasaan keluarnya kentut atau keluarnya sisa air kencing dan lain sebagainya.

Saat seorang muslim mengetahui bahwa waswas berasal dari setan, maka wajib baginya untuk tidak terlalu memperhatikan hal-hal tersebut. Menyingkir dari ketundukan kepada setan dalam hal tersebut sehingga setan tidak dapat menguasai dirinya. Lihatlah bagaimana Nabi memberikan petunjuk kepada sahabat yang mengeluhkan penyakit waswas di saat sedang melaksanakan salatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

“Janganlah dia membatalkan salatnya, sampai dia mendengar suara kentut atau mencium baunya.” (HR. Bukhari no. 137 dan Muslim no. 361)

Kedua puluh tiga: Tidur membatalkan wudu

Tidur membatalkan wudu seseorang, baik durasinya lama ataupun hanya sebentar, apabila telah hilang kesadaran dari diri orang tersebut. Para ahli fikih mengecualikan kondisi kantuk ringan dalam posisi duduk, maka hal tersebut tidak membatalkan wudu.

Dalam hal ini, seorang muslim seharusnya berhati-hati, saat merasa tertidur pulas hendaknya ia mengambil air wudu kembali, meskipun tidurnya tersebut dalam kondisi duduk ataupun berdiri.

Kedua puluh empat: Hal-hal yang mewajibkan mandi besar

Pertama: Junub

Dan itu mencakup 2 hal: 1) keluarnya air mani baik dalam kondisi sadar ataupun tidak. 2) Jima’ (hubungan suami istri), meskipun air mani tidak keluar. Selama telah bertemu antara dua kemaluan (kemaluan laki-laki dan kemaluan perempuan), maka wajib untuk mandi besar setelahnya.

Termasuk kesalahan adalah menganggap keluarnya air mani sebagai satu-satunya sebab wajibnya mandi besar. Sebagian laki-laki mendatangi istrinya, lalu jika ia tidak mencapai klimaks (keluarnya air mani), ia tidak mandi besar, dan begitu pula istrinya.

Ketahuilah wahai saudaraku, sekadar bertemunya dua kemaluan, maka itu sudah mewajibkan mandi besar. Sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kedua: Haid dan nifas bagi perempuan.

Jika seorang perempuan haid atau nifas, maka ia tidak melaksanakan salat dan tidak pula berpuasa. Saat ia telah suci, maka diwajibkan baginya untuk mandi besar dan meng-qadha puasanya yang tertinggal. Adapun salat, maka tidak perlu di-qadha.

Ketiga: Meninggalnya seseorang bukan dalam kondisi syahid di medan perang.

Keempat: Masuk Islamnya orang kafir.

Kedua puluh lima: Perbedaan mani dan madzi

Air mani adalah air yang keluar dengan memuncrat dan diiringi rasa lezat setelahnya. Adapun madzi, maka ia merupakan cairan yang mengalir, lengket (cenderung bening), keluar karena dipicu adanya syahwat, dan seringkali tidak terasa saat keluar.

Hukum air mani adalah suci. Hanya saja dengan keluarnya air mani tersebut, maka mewajibkan mandi besar. Adapun madzi, maka hukumnya adalah najis. Dengan keluarnya madzi, maka ia wajib untuk ber-istinja’ (membersihkan kemaluannya). Wajib juga baginya untuk mengambil wudu kembali. Berbeda dengan mani, madzi tidak mewajibkan mandi besar.

Kedua puluh enam: Mukmin itu tidaklah najis

Mukmin itu tidaklah najis, meskipun ia dalam kondisi junub sekalipun. Sedangkan orang musyrik, maka ia dalam kondisi najis, meskipun telah mandi dengan seluruh air yang ada di muka bumi.

Suatu ketika Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di salah satu jalan di Madinah, sedangkan ia dalam keadaan junub. Maka, dia menyelinap dan mengelakkan diri dari bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan pergi untuk mandi. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun mencari-carinya. Ketika ia datang kembali, beliau pun bertanya, “Ke mana kamu pergi wahai Abu Hurairah?” Dia (Abu Hurairah) menjawab, “Wahai Rasulullah! Kamu ingin menemuiku, sedangkan aku dalam keadaan junub. Aku merasa tidak suka untuk duduk bersama kamu hingga aku mandi.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

سُبْحَانَ اللَّهِ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ

“Mahasuci Allah! Orang mukmin itu tidaklah najis.” (HR. Muslim no. 371)

Oleh karena itu, saat seorang mukmin baik laki-laki maupun perempuan sedang berhadas besar, maka tidak dikatakan najis atau ada najis padanya. Akan tetapi, dikatakan bahwa dirinya ‘sedang berhadas’.

Untuk perempuan pun juga demikian, dikatakan kepadanya ‘ia sedang berhadas’ atau ‘sedang ada halangan’ ataupun yang semisal dengan keduanya.

Kedua puluh tujuh: Disunahkan untuk menyegerakan mandi besar dan tidak mengakhirkannya

Saat seseorang berkewajiban untuk mandi besar lalu ingin mengakhirkannya, maka petunjuk yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah memperingan hadas-nya dengan berwudu sembari tetap harus mandi besar setelahnya. Hal ini kadang kala dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan seperti itulah yang beliau ajarkan.

Adapun mengakhirkan mandi besar sampai keluar dari waktu salat yang telah diwajibkan kepada kita, maka hal ini tidak diperbolehkan. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَوْقُوتا

“Sungguh, salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 103)

Kedua puluh delapan: Perempuan yang haid, apabila telah suci, maka wajib baginya untuk menyegerakan mandi. Sehingga ia bisa melaksanakan salat wajib yang belum keluar waktunya, karena salat tersebut wajib bagi dirinya. Dikarenakan ia telah mendapati waktunya dalam kondisi telah suci.

Kedua puluh sembilan: Tayamum menggantikan posisi wudu dan mandi besar

Kapan itu? Yaitu, ketika memiliki uzur yang diterima oleh syariat. Bisa berupa ketidaktersediaan air ataupun ketidakcukupannya. Bisa juga karena akan timbulnya bahaya jika menggunakan air ataupun dugaan terjadinya bahaya ketika menggunakan air. Bisa juga karena ketidakmampuan seseorang di dalam menggunakannya.

Adapun terkait orang sakit yang masih bisa berwudu, namun kesulitan apabila harus berwudu di setiap salat, maka dikatakan kepadanya untuk tidak meninggalkan wudu dan dimungkinkan bagi dirinya untuk menjamak salat zuhur dan asar, dan juga menjamak salat magrib dan isya.

Bahkan, dibolehkan juga untuk menjamak salat zuhur dan asar secara jamak ta’khir (di waktu asar) serta menjamak salat magrib dan isya di waktu magrib (dengan niat jamak taqdim).

Jika ia mencukupkan diri dengan apa yang disebut jamak shaurii (secara bentuk saja), apabila dilakukan ketika membutuhkannya, maka menurut ahli fikih hal itu merupakan kebaikan. Caranya adalah dengan salat zuhur di akhir waktunya lalu kemudian salat asar di awal waktunya, begitu pula salat magrib dan salat isya.

Umumnya menjamak salat yang memang diperbolehkan untuk dijamak hukumnya adalah sah, dan hal tersebut kita lakukan memang ketika sedang menghadapi kesulitan.

Ketiga puluh: Cara tayamum yang benar

Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu bercerita,

بَعَثَنِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى حَاجَةٍ فَأَجْنَبْتُ ، فَلَمْ أَجِدِ الْمَاءَ ، فَتَمَرَّغْتُ فِى الصَّعِيدِ كَمَا تَمَرَّغُ الدَّابَّةُ ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا » . فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ، ثُمَّ مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ ، أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku untuk suatu keperluan, kemudian aku mengalami junub dan aku tidak menemukan air. Maka, aku berguling-guling di tanah sebagaimana layaknya hewan yang berguling-guling di tanah. Kemudian aku ceritakan hal tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lantas beliau mengatakan, ‘Sesungguhnya cukuplah engkau melakukannya seperti ini.’ Seraya beliau memukulkan telapak tangannya ke permukaan bumi sekali pukulan lalu meniupnya. Kemudian beliau mengusap punggung telapak tangan (kanan)nya dengan tangan kirinya dan mengusap punggung telapak tangan (kiri)nya dengan tangan kanannya, lalu beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.” (HR. Bukhari no. 347 dan Muslim no. 368)

Ketiga puluh satu: Yakin berhadas dan ragu apakah masih dalam kondisi suci atau tidak

Siapa yang yakin telah berhadas dan ragu apakah masih dalam kondisi suci ataukah tidak, maka ia harus menganggap dirinya dalam kondisi berhadas. Konsekuensinya, ia harus berwudu atau mandi besar tergantung hadas apa yang telah diyakininya. Contohnya adalah seseorang yang yakin telah kentut lalu kemudian dia ragu apakah sudah berwudu setelahnya atau belum? Pada kasus seperti ini, kita katakan kepadanya untuk berwudu.

Kaidah fikih dalam permasalahan ini berbunyi,

الْيَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ

“Sesuatu yang yakin tidak bisa hilang dengan keraguan.”

Berdasarkan kaidah di atas, seseorang yang yakin akan kesucian dirinya dan ragu apakah sudah berhadas ataukah belum, maka ia dinilai masih dalam kondisi suci. Contoh kasusnya, apabila ada seseorang yang yakin telah berwudu di waktu magrib dan ketika datang waktu isya ia ragu apakah sudah kentut ataukah belum, maka dikatakan kepadanya, “Engkau masih dalam kondisi suci.”

Wallahu a’lam bis-shawab.

Kembali ke bagian 1: Hal-Hal yang Harus Diperhatikan Seorang Muslim dalam Hal Bersuci (Bag. 1)

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85476-hal-hal-yang-harus-diperhatikan-seorang-muslim-dalam-hal-bersuci-bag-3.html