Tidak seperti matahari, rembulan, dan samudera, manusia adalah makhluk Allah yang diberikan kebebasan penuh atas pilihan-pilihan hidupnya.
وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ
“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” (QS. Al-Kahfi [18]: 29).
Demikianlah Allah, memberikan jalan kepada manusia, untuk memilih sendiri apa yang diinginkan. Tetapi, patut diingat, kebebasan itu Allah berikan setelah Allah memberikan kelebihan bagi manusia atas makhluk yang lain, berupa pendengaran, penglihatan dan hati. Dimana, semua itu akan dimintai pertanggungjawaban.
Orang yang menggunakan pendengaran, penglihatan dan hatinya dengan baik dan benar, tentu tidak akan memilih jalan yang akhirnya menjerumuskannya pada kesengsaraan (Neraka). Tetapi, akan berusaha sekuat tenaga memilih jalan kebenaran, yang mengantarkannya pada kebahagiaan.
Itulah kebebasan yang dipilih oleh para Nabi dan Rasul, beserta orang-orang beriman yang teguh di jalan kebenaran. Mereka membebaskan diri mereka untuk keabadian yang menjanjikan.
Kesempatan hidup mereka gunakan sebebas-bebasnya untuk mengabdi kepada Allah Ta’ala, mendirikan sholat, menegakkan keadilan, menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran. Mereka mensedekahkan sebagian dari rezeki mereka dengan penuh kebebasan. Kebebasan dari rasa takut akan kemiskinan dan kebangkrutan. Bebas, karena hatinya yakin Allah akan memberikan balasan dan pertolongan.
Kebebasan itu hadir seperti yang dialami dan dirasakan oleh Bilal bin Rabah. Begitu dirinya mendengar lima ayat dari Surah Al-Alaq yang merupakan wahyu pertama turun kepada Nabi Muhammad Shallallahu alayhi wasallam, seketika ia sadar bahwa dirinya sebagai manusia punya hak asasi, hidup merdeka.
Maka sekuat tenaga ia pegang teguh kesadaran relijius yang datang ke dalam sanubarinya, sekalipun untuk hal itu, ia mesti menerima siksaan yang amat sangat memberatkan. Namun, kebebasan dalam dirinya terus menuntun lisannya untuk berkata, “Ahad, Ahad, Ahad.”
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا
وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syam [91]: 7-10).
Sekarang, kita bebas menentukan hidup kita. Dalam 24 jam, kita bebas untuk memakmurkan masjid, membantu sesama bahkan ikut serta membangun bangsa dan negara. Pertanyaannya, sudah kah kebebasan yang seperti ini yang kita pilih.
Atau kebebasan yang semu, kebebasan yang akhirnya menjadikan hidup benar-benar tidak berarti. Kata Buya Hamka, jangan sampai salah pilih, lalu menyalahkan taqdir.
“Banyak sekali di antara manusia yang berperisai pada taqdir Allah, bila dihadapkan pertanyaan pada dirinya: “Mengapa kamu berbuat demikian?” jawabannya: “Karena memang sudah menjadi taqdir Allah.”
Jawaban seperti ini merupakan sikap apologis, upaya pembelaan diri seolah-olah merasa tidak bersalah, walaupun perbuatannya telah jelas kesalahannya dan melanggar ajaran agama” (Taqdir Manusia Dalam Pandangan Hamka Kajian Pemikiran Tafsir Al-Azhar, karya Triyana Harsa halaman 5-6).
Banyak orang yang tidak sempat membaca al-Qur’an berdalih kesibukan. Yang ternyata kadang bukan kesibukan dalam artian produktif yang menghalanginya, tapi kegemaran menonton televisi, jalan-jalan yang tak pernah terpuaskan, serta aktivitas-aktivitas hura-hura lainnya.
Suatu waktu, saat dirinya mulai tak muda, kemudian melihat kanan-kiri, teman dan tetangganya meraih bahagia karena usahanya meniti jalan kebenaran, berucaplah lisannya, “Nyesel banget, kenapa dari dulu saya nggak seperti dia. Sekarang semua terlambat. Salah sendiri sih banyak waktu terbuang sia-sia.”
Pertanyaannya adalah, mengapa waktu itu ia tidak gunakan untuk memilih yang akan membahagiakan hidupnya. Mengapa lebih memilih yang membuatnya menyesal. Bukankah waktu itu adalah sepenuhnya adalah hak dirinya untuk menggunakan kebebasan yang dimilikinya. Pepatah mengatakan, “Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada guna.”
Sekarang dunia memang maju teknololginya, disebut-sebut manusianya adalah generasi millenial, tapi ingat, jika tak sholat, apa guna senyum dan eksismu di media sosial.
Jika tak sedekah, tidak akan berguna harta dan kolega yang selalu menemanimu kian tidak peduli dengan perintah yang orang-orang kikir pun meminta tangguh barang sedetik sebelum meninggal untuk bisa bersedekah.
Jika tidak membela agama Allah, maka masa lemah yang tak lama akan datang kian menyiksa dan menambah beban penderitaan. Itu baru di dunia, belum di akhirat.
Oleh karena itu, sebelum terlambat, gunakanlah kebebasan yang Allah berikan kepada kita untuk meniti jalan takwa. Yakni dengan menjalani hidup sebagaimana dicontohkan oleh Nabi, mulai dari menebar salam kepada sesama, sholat tepat waktu, membaca al-Qur’an, peduli terhadap sesama, dan jika ada yang menghina agama-Nya, bangkit dan menjadi yang terdepan dalam membela.
Lihatlah bagaimana Zaid bin Sahal Abu Thalhah Al-Anshari menggunakan kebebasannya.
Abu Thalhah bercerita tentang dirinya sendiri, “Aku Abu Thalhah, namaku Zaid. Setiap hari, senjataku selalu mendapatkan buruan. Wahai Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam. Aku kuat dan perkasa. Pergunakanlah aku untuk keperluanmu, dan perintahkanlah aku sesuai kehendakmu.”
Subhanalloh, demikianlah orang-orang yang merdeka dan mengerti akan kebebasan yang Allah anugerahkan, semua itu tidak akan disia-siakan untuk meraih keridhaan Allah Ta’ala.
Sekarang bagaimana dengan kebebasan yang telah Allah berikan kepada kita? Wallahu a’lam.*/Imam Nawawi