Hikmah dalam Berdakwah (Bag. 6): Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah

Berdakwah dengan akhlak mulia dan keteladanan[1]

Idealnya seorang dai yang hikmah adalah sosok dai yang nampak buah ilmunya dalam keyakinan, ibadahnya, ucapan, perbuatan, muamalah, dan akhlaknya. Sehingga ia menjadi teladan bagi masyarakatnya dalam segala hal kebaikan. Seorang dai yang hikmah dan bijak adalah sosok yang berdakwah selain dengan ilmunya juga dengan berdakwah dengan akhlaknya yang mulia, sehingga masyarakat mencintainya dan menerima dakwahnya.

Ia berdakwah dengan sikap lembut, santun dalam berucap, sopan dalam berperilaku, bermuka manis, menebarkan salam, menunaikan hak-hak muslim tetangganya, sabar akan kezaliman dan gangguan terhadapnya, dan memberi contoh sosok yang berbakti kepada orang tuanya, bersikap baik kepada keluarganya, serta dengan menjadi terdepan dalam kegiatan mayarakat yang baik.

Barangsiapa yang cara berdakwahnya dengan akhlak mulia dan teladan di setiap kebaikan, disamping dengan ilmunya, maka insyaAllah, masyarakat akan mencintainya, menerima dakwahnya dan mengikutinya dalam kebaikan yang ia dakwahkan via akhlak mulia dan teladannya. Bahkan, seandainya mereka belum bisa mengamalkan isi dakwah sang dai, setidaknya diharapkan mereka tidak membencinya dan tidak menghalangi dakwahnya.

Namun sebaliknya, apabila seorang dai berdakwah dengan ilmunya semata, namun akhlaknya buruk dan tidak memberi contoh yang baik, maka biasanya dakwahnya akan sulit diterima. Malah masyarakat membencinya, bahkan bisa jadi mengucilkan dan memusuhinya, kalaupun dakwahnya berhasil, akan sedikit tingkat keberhasilannya.

Berdakwah dengan teladan adalah ciri dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًا

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian. (Yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah contoh hidup dan teladan yang baik dari apa yang beliau ajarkan kepada para sahabatnya. Tidak ada satu keutamaan yang dianjurkan, kecuali beliau lakukan bahkan menjadi teladan terbaik. Sebaliknya, tidak ada kejelekan yang beliau larang, kecuali beliau orang yang paling jauh darinya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنما بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مكارمَ و في روايةٍ ( صالحَ ) الأخلاق

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (dalam riwayat lain ‘yang baik’).”

Dalam sirah-nya yang harum -semoga selawat Allah dan salam-Nya tercurahkan kepada beliau- terdapat banyak bukti yang menunjukkan keteladanan beliau. Di antaranya[2]:

Pertama: Memberi contoh banyak zikrullah, memperhatikan salat lima waktu berjemaah, tawaduk (rendah hati), zuhud terhadap dunia, dermawan.

Kedua: Teladan dalam bagusnya berinteraksi dengan istri.

Ketiga: Teladan sangat memperhatikan masalah janji sekalipun dengan musuh.

Keempat: Itsar (mendahulukan kepentingan orang lain).

Kelima: Memaafkan orang-orang yang zalim (kepada beliau).

Keenam: Ikut serta dalam membangun masjid.

Ketujuh: Ikut serta dalam menggali parit.

Kedelapan: Memulai berbuka ketika beliau menyuruh untuk itu.

Kesembilan: Meminta kepada keluarganya untuk menjamu orang yang butuh, sebelum meminta hal itu kepada orang lain.

Kesepuluh: Membatalkan riba yang dilakukan oleh pamannya sebelum menyuruh orang lain melakukan hal yang sama.

Kesebelas: Mengembalikan tawanan anak Bani Hawazin sebelum menyuruh orang lain melakukan hal yang sama.

Di antara bentuk berakhlak mulianya seorang dai adalah tidak membuat sekat dengan masyarakat dan tidak menjauhi masyarakat, tidak menyendiri dan tidak cuek terhadap masyarakat.[3]

Hendaklah dai yang bijak aktif bermasyarakat dalam kegiatan masyarakat yang tidak melanggar syariat Islam. Untuk merealisasikan akhlak mulia ini bukan berarti kita ‘melarutkan’ diri dalam ritual-ritual bid’ah yang ada di masyarakat dengan alasan penerapan akhlak mulia!

Kita bisa bermasyarakat tanpa harus larut mengikuti acara-acara bid’ah di masyarakat. Caranya? Kita berusaha untuk berpartisipasi dalam acara-acara kemasyarakatan yang tidak mengandung unsur penyimpangan terhadap syariat,

Contohnya:

Kita bisa berpartisipasi dalam kerja bakti, pembuatan taman RT, kumpul bulanan RT, menjenguk tetangga yang sakit, mengantar jenazah ke pemakaman, membantu orang yang sedang ditimpa musibah, menebarkan salam, berbagi masakan ketika kita sedang memasak makanan yang enak, membantu membawakan barang belanjaan seseorang yang baru dari pasar, membantu mendorong becak yang keberatan bawaan ketika dia menaiki jalan yang menanjak dan lain sebagainya.

Dengan berjalannya waktu, insyaAllah masyarakat akan paham bahwa ketidakikutsertaan kita dalam ritual-ritual bid’ah bukan berarti karena kita sedang mengucilkan diri dari mereka, namun karena hal itu berkaitan dengan keyakinan yang tidak ada tawar-menawar di dalamnya.

Ini bukti-bukti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sosok utusan Allah dan dai terbaik yang aktif bermasyarakat[4]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di berbagai tempat masyarakat yang tepat

Pertama: Berdakwah di masjid. (HR. Al-Bukhari)

Kedua: Berdakwah kepada wanita di rumah salah satu di sntara mereka. (HR. Al-Bukhari)

Ketiga: Berdakwah di Mina. (HR. Al-Bukhari)

Keempat: Berdakwah dalam perjalanan. (HR. Imam Ahmad dan lainnya, sahih)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di berbagai kalangan

  1. Pertama: Berdakwah kepada keluarga. (HR. Al-Hakim, sahih)
  2. Kedua: Berdakwah kepada paman. (HR. At-Tirmidzi, sahih)
  3. Ketiga: Berdakwah kepada anak laki-laki paman. (HR. At-Tirmidzi, hasan)
  4. Keempat: Berdakwah kepada anak perempuan paman. (HR. Abu Dawud, hasan sahih)
  5. Kelima: Berdakwah kepada sahabat. (HR. Al-Bukhari)
  6. Keenam: Berdakwah kepada para pemuda. (HR. Al-Bukhari)
  7. Ketujuh: Berdakwah kepada anak kecil. (HR. Imam Ahmad dan lainnya, sahih)
  8. Kedelapan: Berdakwah kepada wanita. (HR. Al-Bukhari)
  9. Kesembilan: Berdakwah kepada Arab badui. (HR. Muslim)
  10. Kesepuluh: Berdakwah kepada muslim yang baru masuk Islam. (HR. Muslim)

Maka, dai yang hikmah itu tipe peka dan peduli terhadap lingkungannya, yang diwujudkan dengan amar makruf nahi munkar. Saat ia melihat masyarakatnya meninggalkan suatu yang makruf, maka ia terdorong memberi contoh dan mengajak masyarakatnya melakukannya. Dan saat melihat masyarakatnya melakukan kemungkaran, baik dalam keyakinan, ibadah, muamalah maupun akhlak, ia terdorong memberi pencerahan, meluruskan, dan mengingkarinya dengan hikmah.

Lanjut ke bagian 7: (Bersambung, insyaAllah)

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Diintisarikan dari kitab “An-Nabiyyul Karim shallallahu ‘alaihi wasallam Mu’alliman”, Dr. Fadhl Ilahi

[2] Diintisarikan dari kitab “An-Nabiyyul Karim shallallahu ‘alaihi wasallam Mu’alliman”, Dr. Fadhl Ilahi

[3] Sub pasal ini dinukil dari buku “14 Contoh Praktek Hikmah Dalam Berdakwah”, Ust. Abdullah Zaen, Lc., MA. dengan beberapa perubahan dan penyesuaian.

[4] Diintisarikan dari kitab “An-Nabiyyul Karim shallallahu ‘alaihi wasallam Mu’alliman”, Dr. Fadhl Ilahi

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88600-contoh-praktik-dakwah-dengan-hikmah.html

Hikmah dalam Berdakwah (Bag. 1): Definisi dan Keutamaan Dakwah Ilallah

Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Definisi dakwah ilallah dan keutamaannya

Inti “dakwah ilallah” adalah mengajarkan Islam kepada manusia dan menerapkannya agar manusia mengetahui dan mencontohnya.

Definisi dakwah ilallah

Hanya saja, para ulama rahimahumullah memiliki anekaragam ungkapan dalam mendefinisikan secara rinci istilah “dakwah ilallah”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mendefinisikan dakwah ilallah dengan menjelaskan materi dakwah yang terpenting untuk disampaikan dalam berdakwah, kemudian ajakan untuk melaksanakan semua bentuk ketaatan dan ibadah kepada Allah semata secara bertingkat dari dasar sampai tingkatan sempurna, yaitu: Islam, iman, dan ihsan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menuturkan dalam Majmu’ Fatawa [1],

الدعوة إلى الله هي الدعوة إلى الإيمان به، وبما جاءت به رسله، بتصديقهم فيما أخبروا به، وطاعتهم فيما أمروا، وذلك يتضمن الدعوة إلى الشهادتين، وإقامة الصلاة، وإيتاء الزكاة، وصوم رمضان، وحج البيت، والدعوة إلى الإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله والإيمان بالقدر خيره وشره، والدعوة إلى أن يعبد العبد ربه كأنه يراه، فإن هذه الدرجات الثلاث التي هي: الإسلام والإيمان والإحسان، داخلة في الدين، كما في الحديث الصحيح:((هذا جبريل جاءكم يعلمكم دينكم))

Dakwah ilallah (mengajak manusia kepada Allah) adalah mengajak manusia untuk beriman kepada Allah dan beriman kepada ajaran yang dibawa oleh para rasul-Nya, dengan membenarkan apa yang mereka kabarkan, serta menaati apa yang mereka perintahkan.

Dan dakwah ilallah ini mengandung: 1) Ajakan kepada (rukun Islam, yaitu) dua kalimat syahadat, menegakkan salat, menunaikan zakat, puasa Ramadan, serta menunaikan haji ke Baitullah. 2) Serta mengandung ajakan kepada (rukun iman, yaitu:) iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, rasul-Nya, dan iman kepada takdir, baik perkara yang ditakdirkan itu baik maupun buruk. 3) Demikian pula ajakan (kepada rukun Ihsan, yaitu) agar seorang hamba beribadah kepada Rabbnya seolah-olah ia melihat-Nya.

Karena sesungguhnya tiga tingkatan ini, yaitu Islam, iman dan ihsan, semuanya termasuk dalam cakupan agama Islam ini. Sebagaimana dalam hadis sahih,

هذا جبريل جاءكم يعلمكم دينكم

Ini adalah malaikat Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)

Keutamaan dakwah ilallah

Banyak keutamaan berdakwah mengajak manusia kepada Allah (dakwah ilallah), di antaranya:

Pertama: Dai yang berdakwah mengajak manusia kepada Allah adalah manusia yang paling baik ucapannya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ 

“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata, ‘Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)?’” (QS. Fushshilat: 33)

Kedua: Dai yang berdakwah mengajak manusia kepada Allah termasuk golongan manusia yang terbaik.

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ

“Kalian (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kalian) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali ‘Imran: 110)

Definisi hikmah

Secara istilah syar’i

Kata “hikmah/bijaksana” banyak disebutkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis. Dalam Al-Qur’an, terdapat lebih dari 19 ayat.

Dan para ulama berbeda-beda dalam menafsirkan makna “hikmah” dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis hingga mencapai 29 tafsir. Di antaranya adalah yang disebutkan dalam kitab Al-Hikmah fid Da’wah ilallah [2]:

Hikmah itu kenabian.

Hikmah itu Al-Qur’an dan pemahamannya.

Hikmah itu tepat dalam berucap dan bertindak.

Hikmah itu mengetahui kebenaran dan mengamalkannya.

Hikmah itu ilmu yang bermanfaat dan amal saleh.

Hikmah itu takut kepada Allah.

Hikmah itu sunah.

Hikmah itu wara’ dalam melaksanakan agama Allah.

Hikmah itu berilmu dan beramal.

Hikmah itu meletakkan sesuatu pada tempatnya.

Definisi hikmah yang paling universal adalah definisi seorang ahli tafsir dari kalangan tabi’in, Mujahid rahimahullah

Dalam kitab Tafsir Al-Qurthubi, Al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan ucapan Mujahid rahimahullah berikut ini,

وَقَالَ مُجَاهِدٌ: الْإِصَابَةُ فِي الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ

Mujahid rahimahullah berkata, ‘(Hikmah adalah) tepat dalam berucap dan bertindak.’

Tafsir-tafsir hikmah selain itu, pada hakikatnya adalah memperinci makna hikmah, yaitu: tentang sumbernya, cara mendapatkannya, buahnya, dan konsekuensinya.

Penjelasan:

Hikmah itu tepat dalam berucap dan bertindak. Dan tidak mungkin seseorang bisa tepat dalam berucap dan bertindak, kecuali harus:

Pertama: Mempelajari kebenaran yang sumbernya Al-Quran dan Al-Hadis dengan manhaj salaf saleh dan mengamalkannya.

Kedua: Menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.

Menempatkan ucapan dan perbuatan sesuai dengan materi yang tepat, cara yang tepat, sasaran yang tepat, kondisi yang tepat, waktu yang tepat, tempat yang tepat, hak yang tepat, urutan yang tepat, serta sesuai dalam segala halnya.

Oleh karena itu, disebutkan pula ucapan Malik bin Anas rahimahullah dalam kitabTafsir Al-Qurthubi ,

وَقَالَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ: الْحِكْمَةُ الْمَعْرِفَةُ بِدِينِ اللَّهِ وَالْفِقْهِ فِيهِ وَالِاتِّبَاعِ لَهُ

Malik bin Anas rahimahullah berkata, ‘Hikmah itu mengetahui agama Allah, memahami, serta mengikutinya.’

Maksudnya adalah mengetahui kebenaran, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis, kemudian mengamalkannya.

Penulis kitab Manazil, Syaikhul Islam Abdullah Al-Anshari Al-Harawi, berkata ketika mendefinisikan hikmah,

وضْعُ الشَّيْءِ في مَوْضِعِهِ

Menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Jadi, berdasarkan penjelasan Malik bin Anas dan Syekh Al-Harawi di atas, hikmah itu sumbernya adalah Al-Qur’an dan Al-Hadis. Oleh karena itu, untuk bisa hikmah, seseorang harus mempelajari keduanya dan mengamalkannya. Dan hikmah itu tepat dalam berucap dan bertindak dengan memperhatikan ketepatan materinya, caranya, sasarannya, kondisinya, waktunya, tempatnya, haknya, urutannya, serta ketepatan dalam segala halnya.

Tepat materinya, yaitu: isi ucapan dan bentuk perbuatannya tepat.

Tepat caranya, yaitu: cara berucapnya tepat dengan menggunakan kata-kata yang paling mudah dipahami dan paling mudah diterima di hati dan cara bertindaknya pun tepat.

Tepat sasarannya, yaitu: obyek yg diajak bicara dan yang disikapi tepat.

Tepat kondisinya, yaitu: keadaan orang yang diajak bicara dan yang disikapi tepat.

Tepat waktunya, yaitu: saatnya tepat.

Tepat tempatnya, yaitu: tempat untuk bicara dan berbuat adalah tempat yang tepat.

Tepat haknya, yaitu: memberikan hak sesuai kedudukan pemilik hak. Termasuk menempatkan seseorang sesuai dengan kedudukan dan jabatannya.

Tepat urutannya, yaitu: mendahulukan yang terpenting lalu yang penting setelahnya.

Oleh karena itu, orang yang hikmah/bijak itu mempertimbangkan sesuatu dari segala sisi dengan matang, sehingga profilnya adalah orang yang suka hati-hati dan tidak terburu-buru dan menilai segala sesuatu serta mendasari segala sesuatu dengan ilmu syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah)

Kesimpulan cakupan hikmah/bijaksana

Berdasarkan penjelasan di atas, tampak jelas bahwa cakupan hikmah dalam berdakwah ilallah itu luas. Hikmah dalam berdakwah ilallah itu tidak berarti lembut, toleransi, dan mengalah terus pada seluruh keadaan. Hikmah dalam berdakwah ilallah itu tidak hanya mencakup ucapan yang lembut, mendorong semangat, menahan diri dari amarah, memaafkan saja.

Hikmah itu tepat dalam berucap dan bertindak sesuai dengan tuntutan keadaan, tempat, waktu, objek dakwah, dan seluruh sisi pertimbangan lainnya. Hikmah itu menempatkan sesuatu pada tempatnya, maka tertuntut untuk: 1) meletakkan ucapan yang lembut pada tempatnya, 2) meletakkan mau’izhah hasanah pada tempatnya, 3) meletakkan berdebat yang baik pada tempatnya, 4) meletakkan orang yang zalim pada tempatnya, dan 5) meletakkan sikap tegas dan ucapan yang keras pada tempatnya.

Intinya, hikmah itu lembut pada saat tuntutannya lembut, dan keras pada saat tuntutannya keras. Adapun bersikap keras saat tuntutannya lembut, maka ini namanya kaku dan melampaui batasan syariat Islam. Sedangkan bersikap lembut padahal tuntutannya keras, ini namanya lemah dan hina.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu ‘Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] https://www.alukah.net/sharia/0/68785/

[2] Al-Hikmah  fid Da’wah Ilallah, hal. 32, Dr. Sa’id Al-Qahthani

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/87796-definisi-dan-keutamaan-dakwah-ilallah.html