SAAT saya masuk gapura kampus UINSA, saya agak bingung mencari tempat parkir untuk mobil karena tempat parkir biasanya dikosongkan dari mobil. Ya, ditutup. Sementara tempat lainnya full dengan sepeda motor. Saya bertanya kepada Satpam, ada apa gerangan kok ditutup. Jawabnya adalah karena ada kegiatan penghijauan, penanaman ribuan pohon di tanah kampus ini. Sayapun mengangguk paham dan berpikir tentang tanah.
Tanah kadang menjadi mulia karena harganya mahal, tapi seringkali disia-siakan dan dihina saat tak ada yang butuh. Yang jelas, tanah bernasib selalu diinjak-injak. Meski demikian, tanah begitu sabar dan “lapang dada.” Bagaimanakah dengan kita yang “dicipta” dari tanah? Sudah sesabar tanahkah?
Mungkin kita akan berkata bahwa kalau kita sesabar tanah maka kita akan selalu terinjak-injak. Saya tak mau berdebat. Saya hanya ingin berkata bahwa Allah yang mengatur skenario kehidupan tidaklah lalai, lupa dan tidur. Namun marilah kita mengambil hikmah lain dari tanah.
Tanah tidaklah selembut lempung tapi juga tidak sekeras batu. Andai tanah itu selembut lempung yang berair itu, bagaimana mungkin bisa dibangunkan rumah tinggal di atasnya. Tentu tak akan kokoh dan bahkan tak bisa berdiri. Andai tanah sekeras batu yang padat dan kering sekali itu, tentu tak mungkin menumbuhkan tanaman dan bunga-bunga yang menghibur manusia. Tanah bertabiat moderat, tengah-tengah di antara keduanya. Subhanallah, maha suci Allah yang mencipta dan mengaturnya. Sudahkah kita semoderat tanah?
Andai kita bisa sesabar tanah dan andai kita bisa semoderat ia, tentu hidup akan damai bahagia bertaburkan bunga-bunga cinta. Jangan remehkan tanah karena Anda memiliki emas berlian. Emas berlian Anda tak kan mampu menumbuhkan tanaman dan bunga seperti yang dipersembahkan tanah kepada kita. Jangan remehkan orang “rendahan” karena Anda bersahabat dengan para “petinggi.” Jangan-jangan yang mempersembahkan bunga kehidupan adalah yang “rendahan” tadi.
Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi