Hukum dan Batasan Talkin (Bag. 2)

Hukum menalkin seseorang setelah meninggal dunia dan setelah dimakamkan

Sebagaimana dalam penjelasan sebelumnya, talkin itu disyariatkan bagi orang yang hampir meninggal dunia atau ketika sedang sakratulmaut. Adapun ketika sudah meninggal dunia, atau bahkan ketika sudah dimakamkan, tidak disyariatkan talkin.

Berkaitan dengan masalah talkin setelah jenazah dimakamkan, terdapat sebuah hadis yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah di kitab Bulughul Maram sebagai berikut,

وَعَنْ ضَمْرَةَ بْنِ حَبِيبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَحَدِ التَّابِعِينَ – قَالَ : كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ إذَا سُوِّيَ عَلَى الْمَيِّتِ قَبْرُهُ ، وَانْصَرَفَ النَّاسُ عَنْهُ ، أَنْ يُقَالَ عِنْدَ قَبْرِهِ : يَا فُلَانُ ، قُلْ : لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ، يَا فُلَانُ : قُلْ رَبِّي اللَّهُ ، وَدِينِي الْإِسْلَامُ ، وَنَبِيِّي مُحَمَّدٌ ، رَوَاهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ مَوْقُوفًا – وَلِلطَّبَرَانِيِّ نَحْوُهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ مَرْفُوعًا مُطَوَّلًا 

Dari Dhamrah bin Habib, seorang tabi’in, dia berkata, “Mereka (yaitu para sahabat yang beliau jumpai) menganjurkan jika kubur seorang mayit sudah diratakan dan para pengantar jenazah sudah bubar, supaya dikatakan di dekat makamnya, “Wahai fulan, katakanlah laa ilaha illallah.” Sebanyak tiga kali. “Wahai fulan, katakanlah ‘Tuhanku adalah Allah, agamaku adalah Islam, dan Nabiku adalah Muhammad.”

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur secara mauquf (dinisbatkan kepada sahabat). Thabrani meriwayatkan hadis di atas dari Abu Umamah dengan redaksi yang panjang dan semisal riwayat Sa’id bin Manshur, namun secara marfu’ (dinisbatkan kepada Nabi).”

Namun, hadis di atas adalah hadis yang lemah sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujah. Berkaitan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, Syekh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Adapun asar dari Dhamrah bin Hubaib, Al-Hafidz Ibnu Hajar mengisyaratkan kitab “Sunan Sa’id bin Manshur”, dan aku tidak menemukan sanadnya. Dan perkataan itu adalah perkataan seorang tabi’in. Sehingga termasuk dalam hadis maqthu’, yang tidak bisa dijadikan sebagai hujah.” (Minhatul ‘Allaam, 4: 353)

Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Ath-Thabrani rahimahullah dalam Ad-Du’a (no. 1214) dan Al-Mu’jam Al-Kabir (no. 7979) dari jalan Ismail bin ‘Iyasy. Namun, sanad hadis ini daif. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadis ini disepakati daifnya.” (Tahdziib Mukhtashar As-Sunan, 7: 250)

Al-Haitsami rahimahullah mengatakan, “Dalam sanadnya terdapat sejumlah perawi yang aku tidak kenal.” (Majma’ Az-Zawaaid, 3: 45)

Al-‘Izz bin ‘Abdus Salaam rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu pun hadis sahih berkaitan dengan talkin (setelah meninggal dunia). Ini adalah amalan bidah.” (Al-Fataawa, hal. 95-96)

Ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Yang dapat kita simpulkan dari perkataan ulama peneliti hadis adalah bahwa hadis tersebut lemah (daif), sehingga menjadi bidah jika diamalkan. Dan tidak perlu tertipu dengan banyaknya orang yang mengamalkannya.” (Subulus Salaam, 2: 218)

Asy-Syaukani rahimahullah menyebutkan hadis tersebut dalam kitab beliau, “Al-Fawaaid Al-majmu’ah fil Ahaadits Al-Maudhu’ah.” (hal. 268)

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,

تلقين الميت بعد دفنه مبني على حديث أبي أمامة رضي الله عنه وقد تنازع الناس في صحته والصواب أنه حديث ضعيف لا تقوم به حجة وأن تلقين الميت بعد دفنه بدعة لأن ذلك لم يرد عن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم ولا عن أصحابه في حديث يركن إليه

“Talkin jenazah setelah selesai dimakamkan berdasar atas sebuah hadis dari sahabat Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu. Para ulama berbeda pendapat tentang status hadis ini. Yang benar, hadis tersebut daif, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujah. Sehingga melakukan talkin setelah jenazah dimakamkan termasuk bidah. Tidak terdapat dalil (hadis) yang bisa dijadikan sebagai patokan, baik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maupun dari para sahabatnya.” (Fataawa Nuur ‘ala Ad-Darb, 5: 190)

Syekh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Sejumlah ulama peneliti mengatakan bahwa talkin setelah jenazah dimakamkan itu tidak boleh, bahkan termasuk bidah. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukannya, dan tidak pula dilakukan oleh khulafaur rasyidin sepeninggal beliau. Seandainya amal tersebut ada dalilnya, tentu para sahabat radhiyallahu ‘anhum akan bersegera mengamalkannya. Hal ini karena adanya orang yang meninggal dunia itu pada umumnya hampir terjadi setiap hari. Sehingga, faktor pendorong dan motivasi untuk menukil (meriwayatkan) amal tersebut sangatlah besar, jika memang benar-benar ada (diamalkan). Kesimpulannya, amal tersebut termasuk bidah yang wajib untuk ditinggalkan dan diingkari. Di antara perkara yang menunjukkan batilnya amalan tersebut adalah:

Pertama, bahwa hal itu bertentangan dengan dalil-dalil syar’i yang menunjukkan bahwa orang yang sudah mati tidak bisa mendengar, kecuali yang terdapat dalam hadis sebelumnya bahwa mereka mendengar langkah sandal ketika orang-orang pergi (pulang) meninggalkannya.

Kedua, orang yang meninggal itu sudah terputus dan sudah ditutup amalnya. Sehingga tidak mungkin lagi membuat jenazah tersebut menjadi teguh hatinya (untuk menjawab pertanyaan dua malaikat) setelah meninggal dunia. Adapun yang menjadi sebab keteguhan mayit tersebut (dalam menjawab pertanyaan dua malaikat) adalah amal yang telah dia lakukan selama masih hidup.

Ketiga, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita untuk mendoakan mayit setelah dimakamkan. Seandainya talkin (setelah dimakamkan) juga disyariatkan, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga akan mengajarkan kepada kita. Wallahu Ta’ala a’lam.” (Minhatul ‘Allaam, 4: 356)

Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Jika jenazah tersebut orang zalim, maka tidak ada manfaatnya. Jika jenazah tersebut adalah mukmin, maka Allahlah yang akan meneguhkannya. Sehingga, talkin semacam ini (setelah meninggal dunia) tidak ada dalilnya dan tidak boleh dilakukan, meskipun sebagian orang menganggapnya sebagai perbuatan yang baik. Akan tetapi, hujah itu terdapat pada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tashiilul Ilmaam, 3: 66)

Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Syekh ‘Abdullah Al-Fauzan, amalan yang terdapat dalil sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah mendoakan jenazah selesai dimakamkan. Dari sahabat ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ

Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah selesai dari menguburkan mayit, beliau berkata, ‘Mintakanlah ampunan untuk saudara kalian, dan mohonkanlah keteguhan untuknya, karena sesungguhnya sekarang ia sedang ditanya.’” (HR. Abu Dawud no. 3221, Al-Hakim 1: 370, hadis sahih)

Hukum menalkin dengan membacakan surah Yasin

Berkaitan dengan membacakan surah Yasin di sisi orang yang hampir meninggal dunia, terdapat suatu riwayat dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ

Bacakanlah surah Yasin kepada orang yang hampir meninggal dunia.

Hadis di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3121), An-Nasa’i dalam ‘Amal Al-Yaum Wal Lailah (no. 1074), dan Ibnu Hibban (7: 269). Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan di kitab Bulughul Maram bahwa Ibnu Hibban rahimahullah mensahihkan hadis ini.

Hadis ini diperselisihkan statusnya oleh para ulama. Sebagian ulama menilai bahwa hadis ini daif sehingga tidak bisa dijadikan sebagai landasan. Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengutip perkataan Ad-Daruquthni rahimahullah, “Sanad hadis ini daif, matannya majhul. Tidak ada satu pun hadis sahih dalam masalah ini.” (At-Talkhish, 2: 110)

Di antara ulama kontemporer yang juga menilai hadis ini daif adalah Syekh Al-Albani rahimahullah (dalam Shahih Wa Dha’if Sunan Abi Dawud) dan Syekh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah dalam Minhatul ‘Allaam (4: 242). Inilah pendapat yang lebih kuat tentang status hadis ini. Wallahu Ta’ala A’lam.

Hadis ini dijadikan sebagai dalil oleh sebagian ulama fikih untuk mengatakan dianjurkannya membacakan surah Yasin di sisi orang yang hampir meninggal dunia. Sehingga lafaz,

مَوْتَاكُمْ

dimaknai sebagai “orang yang hampir meninggal dunia”, bukan “orang yang sudah meninggal dunia.” Demikianlah penjelasan Ibnu Hibban rahimahullah ketika menjelaskan hadis ini. (Lihat Minhatul ‘Allam, 4: 242)

Para ulama yang mengatakan dianjurkan membacakan surah Yasin, mereka mengatakan bahwa hikmahnya adalah karena di dalam surah Yasin terdapat kandungan tauhid dan negeri akhirat. Disebutkan pula tentang kabar gembira berupa surga bagi ahli tauhid dan keberuntungan bagi siapa saja yang meninggal di atas tauhid. Allah Ta’ala berfirman,

قِيلَ ادْخُلِ الْجَنَّةَ قَالَ يَا لَيْتَ قَوْمِي يَعْلَمُونَ بِمَا غَفَرَ لِي رَبِّي وَجَعَلَنِي مِنَ الْمُكْرَمِينَ

“Dikatakan (kepadanya), ‘Masuklah ke surga.’ Ia berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui. Apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.’” (QS. Yasin: 26-27)

Ini sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. (Lihat Ar-Ruuh, hal. 18)

Akan tetapi, pendapat yang lebih tepat adalah membaca surah Yasin kepada orang yang hampir meninggal dunia itu tidak disyariatkan karena daifnya hadis yang dijadikan sebagai dalil. Kita mencukupi dengan amal yang terdapat dalam hadis sahih, yaitu menalkin dengan menuntunkan orang yang hampir meninggal dengan bacaan laa ilaaha illallah. Sebagaimana penjelasan di seri sebelumnya dari tulisan ini.

Akan tetapi, permasalahan ini hendaknya disikapi dengan lapang dada. Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan,

“Hadis ini menunjukkan dianjurkannya membacakan surat Yasin di sisi orang yang hampir meninggal dunia. Akan tetapi, dalam hadis ini terdapat perbincangan yang panjang. Hadis ini dinilai cacat bahwa sanadnya daif, atau munqathi’, atau mudhtharib, sedangkan sebagian ulama menilai sebagai hadis yang sahih dan memiliki syawahid (penguat dari jalur yang lain, pent.). Sampai-sampai Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, ‘Dianjurkan membacakan surat Yasin di sisi orang yang hampir meninggal dunia.’ Hal ini menunjukkan bahwa amalam tersebut memiliki dalil.

Dalam menyikapi permasalahan ini, ulama terbagi menjadi dua,

Pertama, mereka yang berpendapat tidak disyariatkan, karena tidak ada hadis yang sahih.

Kedua, mereka yang berpendapat dibacakan (surat Yasin), karena menurut sebagian ulama, hadisnya sahih dan memiliki syawahid.

Ringkasnya, siapa saja yang mengamalkan, tidak perlu diingkari. Demikian pula siapa saja yang meninggalkannya, juga tidak perlu diingkari. Karena permasalahan ini adalah permasalahan yang lapang, walillahil hamd.” (Tashiilul Ilmaam, 3: 16-17)

[Selesai]

***

@Rumah Kasongan, 4 Sya’ban 1443/ 7 Maret 2022

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/73163-hukum-dan-batasan-talkin-bag-2.html#Baca_seri_sebelumnya_Hukum_dan_Batasan_Talkin_Bag_1

Hukum dan Batasan Talkin (Bag. 1)

Menalkin adalah menuntun seseorang yang akan meninggal dunia untuk mengucapkan kalimat syahadat laa ilaaha illallah. Dalam tulisan singkat ini, kami akan menjelaskan tentang hukum-hukum yang terkait dengan talkin.

Pengertian talkin

Talkin adalah seseorang menuntun dan meminta orang yang akan meninggal dunia untuk mengucapkan kalimat syahadat laa ilaaha illallah. Caranya, orang yang sedang berada di dekat orang yang hampir meninggal itu menyebutkan kalimat laa ilaaha illallah dengan suara lirih, namun masih bisa didengar. Sehingga orang yang hampir meninggal dunia tersebut menjadi ingat dan kemudian mengikuti dengan mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah.

Hal ini jika orang yang hampir meninggal tersebut tersebut masih mampu untuk mengucapkannya. Apabila orang yang hampir meninggal tersebut sudah sangat lemah (parah) dan tidak mampu lagi mengucapkan, orang yang ada di sisinya cukup mengucapkan kalimat syahadat tersebut di sampingnya, sehingga dia bisa mendengar ucapan kalimat laa ilaaha illallah, dan hal itu sudah mencukupi.

Sehingga, talkin itu bukanlah dengan mengucapkan kalimat syahadat berulang-ulang di sisi orang yang hampir meninggal dunia. Akan tetapi, maksud dan tujuan utama dari talkin adalah agar orang yang hampir meninggal dunia itu sendiri yang mengucapkan kalimat syahadat.

Hukum menalkin

Terkait hukum talkin, terdapat hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ

Tuntunlah orang yang sedang di penghujung ajalnya (untuk mengatakan) laa ilaaha illallah.” (HR. Muslim no. 916, 917, Abu Dawud no. 3117, At-Tirmidzi no. 976, An-Nasa’i no. 1826, dan Ibnu Majah no. 1445)

Hadis tersebut menunjukkan disyariatkannya talkin untuk orang yang hampir meninggal dunia. Yang dimaksud dengan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَقِّنُوا

adalah “Ingatkanlah (tuntunlah) untuk mengucapkan laa ilaaha illallah.”

Jumhur (mayoritas) ulama memaknai kalimat perintah dalam hadis ini sebagai perintah anjuran (sunah), sebagaimana yang disebutkan oleh An-Nawawi rahimahullah dan selain beliau. Akan tetapi, zahir hadis menunjukkan hukum wajib, karena inilah hukum asal dari adanya perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan tidak ada dalil yang memalingkannya dari hukum wajib. Oleh karena itu, Asy-Syaukani rahimahullah berkata setelah menyebutkan pendapat ulama yang mengatakan sunah, “Akan tetapi hendaknya dipertimbangkan apa indikasi yang memalingkan dari hukum wajib?” (Nailul Authar, 4: 23)

Kapan menalkin?

Talkin disyariatkan ketika seseorang itu dekat dengan kematian, atau ketika seseorang dalam kondisi sakit parah yang diyakini hampir meninggal dunia, atau disebut juga ketika dalam kondisi ikhtizhar.

Yang dimaksud dengan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَوْتَاكُمْ

adalah orang yang hampir meninggal dunia, bukan orang yang sudah meninggal dunia. Adapun menalkin orang setelah meninggal dunia, apalagi setelah orang tersebut dimakamkan, perbuatan semacam ini tidak memiliki tuntunan dari syariat.

Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan ‘mautaakum’ adalah orang yang yang hampir (akan) meninggal dunia. Adapun mayit (orang yang sudah meninggal dunia), maka tidak perlu ditalkin setelah meninggal dunia. Hal ini karena dia tidak akan mendapatkan manfaat dari perbuatan tersebut. Sehingga maksud dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ

adalah “tuntunlah orang yang akan meninggal dunia untuk mengucapkan kalimat ini (yaitu kalimat laa ilaaha illallah, pent.)” (Tashiilul Ilmaam, 3: 15)

Hikmah disyariatkannya talkin

Hikmah dari talkin adalah agar kalimat tauhid laa ilaaha illallah adalah kalimat terakhir yang diucapkan oleh seseorang yang hendak meninggal dunia, sehingga diharapkan masuk surga Allah Ta’ala. Zahir hadis tersebut menunjukkan cukup dengan mengucapkan “laa ilaaha illallah” saja, tanpa syahadat Muhammad rasulullah. Hal ini karena orang yang meyakini hak uluhiyyah Allah Ta’ala (hak Allah Ta’ala sebagai satu-satunya Zat yang berhak diibadahi), tentu dia akan meyakini kerasulan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى رَجُلٍ مِنْ بَنِي النَّجَّارِ يَعُودُهُ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” يَا خَالُ، قُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ” فَقَالَ: أَوَ خَالٌ أَنَا أَوْ عَمٌّ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” لَا بَلْ خَالٌ “، فَقَالَ لَهُ: قُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ، قَالَ  : خَيْرٌ لِي؟ قَالَ: ” نَعَمْ “

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjenguk seseorang dari bani An-Najar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, ‘Wahai paman, ucapkanlah kalimat laa ilaaha illallah.’ Orang tersebut berkata, ‘Apakah saya paman dari pihak ayah ataukah paman dari pihak ibu?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Paman dari pihak ibu.’ Rasulullah berkata lagi, ‘Ucapkanlah kalimat laa ilaaha illa huwa (tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia).’ Orang tersebut berkata, ‘Apakah ucapan itu baik bagiku?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Iya.’” (HR. Ahmad no. 12543. Syekh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih sesuai syarat Muslim)

Batasan talkin

Talkin cukup dilakukan satu kali sehingga tujuan dari talkin tersebut sudah tercapai. Jika orang yang hampir meninggal dunia tersebut sudah mengucapkan laa ilaaha illallah, tidak perlu diminta atau dituntun untuk mengucapkannya berulang-ulang. Hal ini supaya orang yang sedang dalam kondisi hampir meninggal dunia tersebut tidak sampai menjadi bosan hingga kemudian mengatakan, “Aku tidak mau mengatakannya” atau mengucapkan kalimat yang lain selain kalimat syahadat.

Oleh karena itu, talkin cukup dilakukan sekali karena saat itu memang kondisinya sangat susah dan berat. Apabila sudah diucapkan, orang-orang yang ada di sekitarnya hendaknya diam dan tidak mengajaknya berbicara supaya kalimat syahadat tersebut menjadi kalimat terakhir yang dia ucapkan.

Jika setelah mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah, orang tersebut mengucapkan kalimat-kalimat lainnya, maka hendaknya diulang talkinnya sekali lagi. Hal ini supaya yang menjadi kalimat terakhir yang diucapkan orang yang hampir meninggal tersebut adalah tetap kalimat syahadat laa ilaaha illallah.

Sebagaimana sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Siapa saja yang kalimat terahir yang dia ucapkan adalah laa ilaaha illallah, maka dia masuk surga.” (HR. Abu Dawud no. 3116, Ahmad no. 22034, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Praktek salaf dari kisah Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullah

Terdapat kisah bagaimanakah ulama salaf menalkin sahabatnya yang hampir meninggal dunia dengan mengingatkan hadis talkin. Kisah ini diceritakan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah, dalam kitab Tarikh Baghdad (10: 335). Berikut ini kisah tersebut.

Abu Ja’far At-Tusturi mengatakan, ”Kami pernah mendatangi Abu Zur’ah Ar-Razi yang sedang berada dalam keadaan sakaratul maut di Masyahron. Di sisi Abu Zur’ah terdapat Abu Hatim, Muhammad bin Muslim, Al-Munzir bin Syadzan, dan sekumpulan ulama lainnya. Mereka ingin menalkinkan Abu Zur’ah dengan mengajari hadis talkin sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

“Talkinkanlah (tuntunkanlah) orang yang akan meninggal di antara kalian dengan bacaan ’laa ilaha illallah’.”

Namun, mereka malu dan takut kepada Abu Zur’ah untuk menalkinkannya. Lalu, mereka berkata, ”Mari kita menyebutkan hadisnya (dengan sanad [jalur periwayatannya]).” Muhammad bin Muslim lalu mengatakan, ”Adh-Dhohak bin Makhlad telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata), dari Shalih …”. Kemudian, Muhammad tidak meneruskannya. Abu Hatim kemudian mengatakan, ”Bundar telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), Abu ’Ashim telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata), dari Shalih …”. Lalu, Abu Hatim juga tidak meneruskannya dan mereka semua terdiam.

Kemudian, Abu Zur’ah yang sedang berada dalam sakaratul maut mengatakan, ”Bundar telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), Abu ’Ashim telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata), dari Shalih bin Abu ’Arib, (beliau berkata), dari Katsir bin Murroh Al-Hadhramiy, (beliau berkata), dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ’anhu, (beliau berkata) Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ

Setelah itu, Abu Zur’ah rahimahullah langsung meninggal dunia. Abu Zur’ah meninggal pada akhir bulan Dzulhijjah tahun 264 H.

Marilah kita merenungkan kisah Abu Zur’ah rahimahullah di atas. Beliau menutup akhir nafasnya dengan kalimat syahadat laa ilaha illallah. Bahkan, beliau rahimahullah mengucapkan kalimat tersebut sambil membawakan sanad  dan matan hadisnya. Hal ini tentu sangat berbeda dengan kebanyakan orang yang berada dalam sakaratul maut.

Apakah talkin disyariatkan untuk orang kafir?

Talkin juga disyariatkan meskipun orang yang hampir meninggal dunia tersebut adalah orang kafir. Hal ini sebagaimana dalam kisah meninggalnya Abu Thalib berikut ini.

لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِى أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – لأَبِى طَالِبٍ: يَا عَمِّ ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ . فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ ، أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ ، وَيَعُودَانِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ ، حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ .

“Ketika Abu Thalib hendak meninggal dunia, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatanginya. Di sisi Abu Thalib ada Abu Jahal bin Hisyam dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Thalib, ’Wahai pamanku! Katakanlah ‘laa ilaaha illallah’, suatu kalimat yang dapat aku jadikan sebagai hujjah (argumentasi) untuk membelamu di sisi Allah. Maka, Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah berkata, ’Apakah Engkau membenci agama Abdul Muthallib?’ Maka Rasulullah terus-menerus mengulang perkataannya tersebut, sampai Abu Thalib akhirnya tidak mau mengucapkannya. Dia tetap berada di atas agama Abdul Muthallib dan enggan untuk mengucapkan ‘laa ilaaha illallah’.(HR. Bukhari no. 1360 dan Muslim no. 141)

Juga sebagaimana kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjenguk seorang anak Yahudi. Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

كَانَ غُلاَمٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ، فَقَالَ لَهُ: أَسْلِمْ ، فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ: أَطِعْ أَبَا القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَسْلَمَ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ: الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ

“Ada seorang anak kecil Yahudi yang bekerja membantu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sedang sakit. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjenguknya dan beliau duduk di sisi kepalanya. Lalu, bersabda, “Masuklah Islam.” Anak kecil itu memandang kepada bapaknya yang berada di dekatnya. Lalu bapaknya berkata, “Taatilah Abu Al-Qasim (Muhammad) shallallahu ‘alaihi wasallam.” Maka, anak kecil itu pun masuk Islam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar sambil bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari neraka.” (HR. Bukhari no. 1356)

Dalam riwayat Ahmad disebutkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

يَا فُلَانُ، قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ

“Wahai fulan, ucapkanlah laa ilaaha illallah.” (HR. Ahmad no. 12792)

Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah menjelaskan, “Maka hadis tersebut menunjukkan bahwa orang kafir itu boleh dijenguk, dan diajak untuk masuk Islam. Seorang muslim boleh menjenguk orang kafir yang sedang sakit dan mengajaknya untuk masuk Islam. Dia mengajak orang kafir tersebut untuk masuk Islam, bisa jadi dia menerima dan meninggal dalam keadaan muslim. Sehingga talkinkanlah laa ilaaha illallah.”  (Tashiilul Ilmaam, 3: 15-16)

[Bersambung]

***

@Rumah Kasongan, 4 Sya’ban 1443/ 7 Maret 2022

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/73084-hukum-dan-batasan-talkin-bag-1.html