Hukum-Hukum Berkenaan dengan Iktikaf

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين، وبعد:

Ini adalah beberapa hukum dan faedah yang berkenaan dengan iktikaf yang sering ditanyakan. Aku (penulis) memohon agar Allah memberikan manfaat dari tulisan ini. Aku (penulis) katakan bahwa segala taufik itu datangnya dari Allah.

Iktikaf adalah menetap di masjid dengan niat ketaatan kepada Allah dengan tujuan khusus berdiam diri.

Iktikaf hukumnya sunah, tidak wajib, kecuali dengan sebab nazar. Sebagaimana firman Allah kepada Ibrahim ‘alaihi shalatu was salaam,

أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُود

Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk, dan yang sujud.” (QS. Al- Baqarah: 125)

وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُون

Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Dalam hadis Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beriktikaf 10 hari terakhir di bulan Ramadan hingga Allah mewafatkannya, kemudian istri-istri beliau beriktikaf setelah itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Akan tetapi, disyaratkan untuk wanita agar meminta izin walinya dan tidak menimbulkan fitnah.

Tujuan iktikaf adalah menata dan meluruskan hati di atas jalan menuju Allah, dan mengkoneksikan hati kepada Allah dan menyatukannya kepada Allah, ber-khalwat dengan-Nya, dan memisahkan diri dari segala kesibukan yang berhubungan dengan manusia. Memfokuskan kesibukan hanya kepada Allah, dengan zikir, cinta, dan menyambut-Nya, di tengah kegelisahan dan kekhawatiran hati. Kemudian disandarkannya semua hal tersebut kepada Allah, baik itu kegelisahan dan kekhawatiran, ia serahkan segala urusannya kepada Allah dengan zikir (mengingat-Nya), ber-tafakkur (memikirkan ayat-ayat Allah) untuk mendapatkan rida Allah, dan segala ibadah yang mendekatkannya kepada hal tersebut. Sehingga seorang insan melupakan kegundahgulanaannya dengan mengingat Allah, bukan sebaliknya melupakan semua itu dengan bertemu dengan makhluk (curhat, pent). Dengan sebab tersebut, Allah membuatnya tidak ada rasa khawatir akan hari yang penuh kesendirian di kubur yang tidak ada lagi pertemanan, bahwa tidak ada hal yang lebih membahagiakan selain kedekatan dengan Allah. Hal ini adalah maksud iktikaf. (Perkataan Ibnul Qoyyim rahimahullah di Zadul Ma’ad)

Ahli fikih ijmak (sepakat) bahwa iktikaf tidak sah, kecuali di masjid, sebagaimana firman-Nya, “sedang kamu beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak iktikaf, kecuali di masjid, sehingga tidak termasuk rumah, sekolah, atau musala sebagai tempat iktikaf.

Iktikaf disunahkan di bulan Ramadan dan bulan lainnya, dan paling afdal dilakukan di bulan Ramadan, dikhususkan lagi 10 hari terakhirnya.

Tidak ada batasan untuk memperbanyak iktikaf, kecuali jika dia khawatir dengan sebab iktikaf tersebut menelantarkan dan menyibukkan keluarga, berdasarkan hadis,

 كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَعُولُ

Cukuplah dosa bagi seseorang yang menyia-nyiakan orang yang bergantung padanya.” (HR. An-Nasa’i)

Maka, barang siapa yang memperbanyak iktikaf, wajib baginya mencari orang untuk memenuhi kebutuhannya, mencari orang untuk memenuhi kebutuhannya, mengantarkan makanan minuman yang dia butuhkan selama iktikaf di masjid.

Ulama berselisih pendapat mengenai berapa batas waktu paling sedikit untuk iktikaf. Dan yang paling sedikit selama sehari semalam, ini pendapat mazhab Malikiyah. Pendapat ini paling mendekati dalil-dalil yang ada, tidak didapatkan lebih kecil dari itu dari sunah yang ada.

Disyariatkan untuk masuk tempat iktikaf sebelum terbenam matahari hari ke-20 Ramadan, dan keluar setelah terbenam matahari pada hari terakhir Ramadan, jika sempurna, maka hari ke-30 atau pada saat pengumuman hari Id.

Barangsiapa yang berniat iktikaf kemudian meninggalkannya (karena suatu hal, pent), maka tidak ada dosa baginya, meskipun dia telah masuk tempat iktikaf dan telah menetap di dalamnya untuk beberapa saat. Karena iktikaf merupakan ibadah sunah, bukan wajib, sehingga dia hanya meninggalkan yang sunah, bukan yang wajib. Akan tetapi, hal tersebut makruh karena dia tidak melanjutkan niat baik dan semangat beramal yang telah dia miliki. Hendaknya tidak meninggalkan amal saleh yang telah diniatkan tanpa uzur kemudian ia menjadi kehilangan kesempatan beramal saleh, berdasarkan keumuman firman Allah,

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلاَ تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُم

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (QS. Muhammad: 33)

Barangsiapa yang berniat iktikaf di 10 hari terakhir Ramadan, namun terhalang karena sesuatu hal, dianjurkan baginya untuk qada (mengganti) di bulan Syawal, sebagaimana perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

وَتَرَكَ الاِعْتِكَافَ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى اعْتَكَفَ فِى الْعَشْرِ الأَوَّلِ مِنْ شَوَّالٍ

Dia (rasulullah, pent) meninggalkan iktikaf di bulan Ramadan kemudian beriktikaf (qada, pent) di 10 hari pertama bulan Syawal.” (HR. Muslim)

Ketika mu’takif (orang yang iktikaf, pent) sakit, maka dia berhak keluar dari tempat iktikaf untuk berobat, walaupun iktikaf tersebut adalah wajib yang disebabkan nazar. Maka, sakit merupakan uzur untuk menghentikan iktikaf. Barangsiapa yang tidak mampu menyempurnakannya, maka: (1) Jika iktikafnya sunah, maka terhenti di situ iktikafnya. (2) Jika iktikaf nazar, diwajibkan qada setelah uzur tidak ada (hilang). Disunahkan untuk iktikaf yang sunah untuk menyempurnakannya setelah sembuh.

Tidak diperbolehkan iktikaf, kecuali di masjid yang ditegakkan salat jemaah di dalamnya, karena salat jemaah adalah wajib. Dan seseorang yang iktikaf di masjid yang tidak ditegakkan salat jemaah akan berpotensi meninggalkan salat jemaah yang wajib atau menyebabkan dia bolak-balik keluar (tempat iktikaf) untuk salat jemaah, dan hal tersebut bertentangan dengan iktikaf. Seorang yang iktikaf semestinya menetap di tempat iktikaf menegakkan ketaatan kepada Allah.

Masjid yang afdal untuk iktikaf adalah masjid Al-Haram, kemudian masjid Nabawi, kemudian masjid Al-Aqsha. Kemudian urutan masjid yang utama untuk iktikaf: masjid jami’, kemudian masjid yang bukan jami’, tetapi jemaahnya ramai. Mereka (ulama) berkata, kemudian masjid yang tidak membuat dia sering keluar dan lama keluar masjid.

Barangsiapa yang bernazar untuk iktikaf di masjid selain masjid yang tiga, boleh baginya untuk membayar nazar dengan iktikaf di masjid lainnya, karena semua tempat (selain 3 masjid) itu sama kedudukannya. Dalam hal ini  berlaku kaidah, “Bahwasanya jika yang utama dipilih, tidak boleh lagi yang selainnya.” Barangsiapa bernazar untuk iktikaf di masjid Al-Haram, maka wajib untuk iktikaf di sana, tidak boleh di masjid lain. Karena dari sisi keutamaan, masjid Al-Haram adalah yang paling utama dibandingkan masjid lainnya. Jika yang mafdhul dipilih (selain tiga masjid tersebut), maka boleh (iktikaf) di masjid yang afdal (tiga masjid yang utama).

Sah iktikaf di bagian-bagian masjid seperti halaman, menaranya, kamar yang berdempet dengan masjid, perpustakaannya, selama tempat tersebut masuk ke dalam bagian masjid dan melekat satu kesatuan dengan masjid, tidak terpisah, namun yang afdal adalah di dalam masjid.

Iktikaf tidak terputus dengan sebab pulang ke rumah untuk suatu keperluan, seperti menunaikan keperluan penting, wudu, mandi wajib, makan dan minum jika hal tersebut tidak tersedia untuknya di masjid. Dan juga seperti panggilan untuk keperluan darurat di rumah, maka dia berhak keluar kemudian kembali setelahnya ke masjid menyempurnakan sisa iktikafnya saja dan tidak perlu memulai lagi dari awal, kecuali jika iktikaf wajib karena sebab nazar, maka hendaknya qada apa yang telah ditinggalkannya.

Boleh bagi yang iktikaf menetapkan syarat-syarat dalam iktikafnya, berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Seorang muslim itu memenuhi syarat-syarat (yang telah disepakatinya).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dihasankan Al-Albani)

Hal ini adalah kaidah umum yang termasuk di dalamnya iktikaf. Berdasarkan hadis Dhuba’ah bintu Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, “Berhajilah dan tetapkan syarat (dalam hatimu).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syarat dalam iktikaf seperti berniat iktikaf kemudian mengatakan, “Ya Rabb, kecualikan dari iktikafku untuk mengunjungi orang sakit dan menyaksikan jenazah.” Atau kalimat yang semisal dengan itu walau tanpa menyebutkannya dengan lisan. Adapun jika membuat syarat keluar iktikaf untuk shopping atau berbelanja, atau berdagang atau yang semisal dengan itu, maka syarat tersebut tidak sah tanpa ada perbedaan pendapat di antara para ulama fikih.

Menjalankan iktikaf tanpa menetapkan syarat lebih afdal dan utama, kecuali jika ada kerabat dekat dalam kondisi sakit yang mana jika tanpa kunjungannya berpotensi memutus silaturahim. Hal ini dapat dikecualikan begitu pula menyaksikan jenazah.

Keluar dari tempat iktikaf karena suatu hal thabi’iyah atau syar’i seperti buang air kecil atau besar, wudu yang wajib, mandi wajib karena junub atau selainnya, makan atau minum, semua ini boleh jika tidak memungkinkan melakukannya di masjid. Adapun jika memungkinkan di masjid, maka terlarang untuk keluar. Misalnya, jika di masjid tersedia kamar mandi yang dapat digunakan untuk BAB atau BAK, bisa mandi di dalamnya. Atau jika ada yang mengantarkan makan atau minum untuknya ke masjid, tidak boleh keluar dalam kondisi seperti ini.

Keluar dari tempat iktikaf karena suatu ketaatan yang sifatnya wajib baginya seperti, mengunjungi orang sakit, menyaksikan jenazah, dan semisal hal tersebut, tidak boleh melakukannya, kecuali telah mensyaratkannya pada awal iktikaf. Misalnya, jika ada orang sakit dia hendak menjenguknya atau ada kekhawatiran seseorang akan meninggal, hendaknya mensyaratkan hal tersebut di awal iktikaf sehingga keluar untuk hal tersebut tidak masalah.

Tidak termasuk kebolehan bagi yang iktikaf keluar untuk menemui kerabat, kecuali dengan syarat istitsna (pengecualian) di awal. Jika telah menetapkan keluar iktikaf untuk suatu perintah tertentu, seperti salat jenazah atau memandikan mayit, atau mengkafaninya, maka tidak mengapa. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Sunah bagi yang iktikaf tidak menjenguk orang sakit, menyaksikan jenazah, mencumbu dan mendatangi istri, tidak keluar untuk suatu keperluan, kecuali bagi yang menjadi keharusan baginya. Tidak ada iktikaf, kecuali dengan berpuasa. Tidak ada iktikaf, kecuali di masjid jami’.”(HR. Abu Daud, disahihkan Al-Albani)

Di antara hal yang membatalkan iktikaf adalah jima. Adapun menyentuh dan bercumbu atau yang semisal, jika sampai mengeluarkan sperma, maka iktikafnya rusak. Jika tidak sampai keluar, maka tidak merusak. Ini pendapat yang sahih.

Iktikaf tidak batal dengan tidur atau terlelap karena letih tafakkur. Begitu pula, gibah dan namimah, walau dosanya besar. Akan tetapi, akan mengurangi kadar iktikaf dan berakibat dosa bagi pelakunya.

Boleh bagi mu’takif: membasuh rambut, menyisirnya, mencukur kumis, memotong rambut ketiak dan kemaluan, dan memotong kuku. Hal tersebut termasuk dalam bab kebersihan dengan syarat tidak mengotori masjid.

Jika mu’takif keluar dari masjid karena uzur, maka boleh baginya mengunjungi orang sakit, atau salat jenazah, selama tidak harus menunggu lama atau berpindah tempat. Ini adalah pendapat jumhur ulama.

Makruh bagi mu’takif adalah setiap hal yang merusak tujuan dari iktikaf, dan segala sesuatu yang mengeluarkan dari tujuan dan hikmah iktikaf. Di antaranya: berkumpul dengan orang-orang (nongkrong, pent), kecuali berkumpul untuk salat jemaah, berlebihan dalam makan dan minum, banyak tidur dan bicara, kecuali yang penting, dan dengan hal selainnya yang tidak ada faedah dan manfaat di dalamnya.

Haram bagi mu’takif: jual beli, sewa-menyewa, barter, penyitaan, akad kerja sama, dan akad yang lainnya dari akad-akad di area masjid. Adapun jika di luar masjid, boleh bagi mu’takif keluar masjid dan membeli sesuatu yang perlu baginya, seperti membeli makanan untuk tanggungan keluarganya.

Makruh bagi mu’takif: kentut di masjid berdasarkan pendapat yang sahih, dan ini pendapat jumhur ulama.

Dianjurkan bagi mu’takif, laki-laki atau perempuan tertutup satu sama lainnya, bisa dengan tenda atau yang lainnya, lebih ditekankan hal ini dalam rangka menjaga hak wanita jika iktikaf di masjid jami’. Agar terhindar dari terlihat oleh pria.

Boleh bagi wanita istihadhah iktikaf berdasarkan pendapat yang sahih, sebagaimana juga dibolehkan salat, boleh pula puasa, boleh didatangi suaminya, begitu pula iktikaf, namun dengan syarat menjaga agar tidak mengotori masjid (oleh darah, pent).

Boleh bagi mu’takif menggunakan telepon untuk menelepon dalam rangka memenuhi kepentingan kaum muslimin jika telepon tersebut ada di masjid tempat dia iktikaf, karena dia tidak perlu keluar dari masjid. Adapun jika di luar masjid, tidak boleh keluar untuk hal tersebut. Jika mu’takif ditunjuk secara khusus untuk menunaikan hajat kaum muslimin, maka lebih utama baginya tidak iktikaf. Karena menunaikan hajat kaum muslimin lebih penting dibandingkan iktikaf, manfaatnya lebih dibutuhkan. Manfaat di saat orang membutuhkan lebih afdal dibandingkan manfaat yang sedikit, kecuali manfaat yang sedikit itu bagian dari kepentingan Islam dan bagian dari kewajiban.

Terdapat pada sebagian mu’takif memperbanyak jamuan dan berlebihan dalam makan dan minum. Dalam hal ini adalah bentuk berlebihan yang terlarang, bentuk kekenyangan yang mengantarkan ke rasa malas dari ibadah. Hal ini perkara yang sering diamati dan disaksikan di antara mu’takifMu’takif yang kenyang karena makanan dan minuman tampak pada dirinya rasa malas dari menegakkan ibadah. Jika dia melakukannya, maka dia kehilangan khusyuknya hati yang merupakan inti dari ibadah. Hendaknya bagi mu’takif mempersedikit makan dan minum dan mengingat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَا مَلأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ

Tidaklah manusia memenuhi wadah yang lebih buruk dari perutnya. Cukuplah bagi anak Adam itu beberapa suap yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika memang harus melebihi itu, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Tirmidzi, disahihkan oleh Al-Albani)

Terlarang bagi pemuda untuk iktikaf tanpa izin walinya. Wajib bagi anak meminta izin orang tuanya jika ingin iktikaf. Jika diizinkan, maka kebaikan untuknya. Jika tidak, maka tidak boleh iktikaf tanpa rida orang tua.

Di antara perkara yang bertolak belakang dengan ruh iktikaf adalah berkumpulnya pemuda di tempat iktikaf tanpa faedah, bisa dalam bentuk ngobrol tidak berfaedah atau main gadget, atau hal lain yang tidak ada manfaat. Hal tersebut bertabrakan dengan maksud dari iktikaf itu sendiri. Oleh karena itu, bagi pemuda hendaknya bersungguh-sungguh dalam ketaatan pada Allah. Jangan buang-buang waktu iktikaf untuk hal yang tidak ada kebaikan dan manfaat.

Wanita tidak boleh iktikaf, kecuali jika terpenuhi 2 syarat: 1) izin mahram dan 2) aman dari fitnah.

Sebagian karyawan berkeinginan untuk iktikaf, akan tetapi harus keluar terus menerus dari tempat iktikaf. Hal ini bertolak belakang dengan tujuan iktikaf. Yang lebih utama baginya menunaikan kewajiban atas dirinya dari pekerjaanya, lalu iktikaf setelahnya di masjid sesuai dengan batas kemampuannya.

Sebagian manusia menjadi imam atau muazin di satu masjid, akan tetapi berkeinginan iktikaf di masjid lain karena satu alasan. Kemudian dia meninggalkan jemaah karena iktikafnya, maka ini adalah kekeliruan. Jika dia tidak mendapat izin dari pihak yang berwenang di masjidnya tersebut, maka ia berdosa karena telah meninggalkan perkara wajib untuk perkara sunah.

Iktikaf tidak batal jika mu’takif melakukan perkara makruh atau haram selama bukan jima’. Adapun perkara haram seperti gibah, namimah, mencela, mengutuk orang lain, dan yang semisal dengan itu dari perkara haram, hal itu tidak membatalkan iktikaf. Akan tetapi, perkara-perkara tersebut dapat mengurangi pahala dan bertentangan dengan tujuan syari’at iktikaf sendiri.

Jika di masjid diadakan pengajian ilmiah agama, apakah lebih afdal untuk hadir? Aku (penulis) katakan, “Jika halaqah ilmu tidak sering dan tidak dominan yang tidak bertolak belakang dari kegiatan iktikaf, maka afdal untuk hadir. Jika halaqah-nya dominan, sering, sehingga tersibukkan dari membaca Al-Qur’an dan zikir, maka afdal menyibukkan diri dengan membaca Al-Qur’an, zikir, salat (selama tidak di waktu terlarang), dan amalan semisal lainnya.

والله الموفق، وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

***

Penulis: dr. Abdiyat Sakrie, Sp.JP

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Diterjemahkan dan disadur dari laman resmi Syekh Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad At-Tayyar

Link: http://draltayyar.com/books/7923/

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84297-hukum-hukum-berkenaan-dengan-itikaf.html