Menjelang tahun baru, biasanya orang-orang lebih suka dan tertarik terhadap penampilan yang berbeda. Seperti menyemir rambut, potongan rambut, memasang behel, dan lain-lain. Nah, tulisan ini akan membahas bagaimana hukum memakai behel yang terbuat dari emas, bolehkah?
Prinsip awal dalam Islam adalah tidak diperbolehkan merubah sesuatu yang diciptakan oleh Allah SWT. Hal ini berdasarkan firman-Nya dalam Al-Qur’an, surah An-Nisa, ayat 119:
وَّلَاُضِلَّنَّهُمْ وَلَاُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَاٰمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ اٰذَانَ الْاَنْعَامِ وَلَاٰمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللّٰهِ
“Aku (setan) benar-benar akan menyesatkan mereka, membangkitkan angan-angan kosong mereka (untuk memotong telinga-telinga binatang ternaknya) hingga mereka benar-benar memotongnya, dan menyuruh mereka (mengubah ciptaan Allah) hingga benar-benar mengubahnya”
Di lain sisi, Islam memiliki prinsip juga, bahwa apapun itu, selama dipergunakan untuk berobat atau ada kebutuhan untuk melakukan hal yang tidak diperbolehkan maka hal tersebut boleh. Salah satu contoh dalam fikih yang mencerminkan prinsip ini adalah sebagaimana disebutkan dalam kitab I’anah at-Thalibin, juz III, halaman 306:
وقوله للحاجة إلى معرفتها علة للجواز
“Perkataan bahwa boleh melihat kepada Wanita lain karena ada kebutuhan, itu merupakan illat dari kebolehan hukum”
Jadi dalam pembahasan jual beli, terdapat salah satu problem bahwa pada dasarnya seorang laki-laki memang tidak diperbolehkan untuk melihat perempuan yang bukan mahramnya. Kecuali antara laki-laki dan perempuan sedang melangsungkan akad jual beli, maka hal itu diperbolehkan karena ada hajat.
Dilansir dari situs resmi ‘halodoc’ bahwa behel terbagi menjadi empat macam. Pertama, behel logam. Kedua, behel keramik. Ketiga, lingual. Keempat, behel clear aligner. Nah, untuk behel yang terbuat dari emas, tergolong behel yang kedua, yakni terbuat dari keramik. Behel ini tidak lebih mencolok ketimbang macam-macam behel yang lain.
Imam Nawawi dalam kitab al-Muhadzab, Jilid VI, halaman 41 bahwa hukum memakai behel emas dengan tujuan dengan tujuan berobat, misalnya untuk meratakan gigi. Hal ini diperbolehkan dalam Islam. Simak penjelasan Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, berikut ini:
قال صاحب الحاوي لو إتخذ الرجل أو إمرأة ميلا من ذهب أو فضة فهو حرام وتجب زكاته إلا أن يستعمل على وجه التداوي لجلاء عينه فيكون مباحا كاستعمال الذهب في ربط سنه.
“Pemilik kitab al-Hawi berkata: haram hukmnya seorang laki-laki atau perempuan menggunakan alat celak mata yang terbuat dari emas atau perak dan ia juga dikenai kewajiban zakat. Kecuali, ia menggunakan alat celak mata itu sebagai obat penyembuh mata, agar matanya jernih penglihatannya, maka diperbolehkan. Sebagaimana diperbolehkan juga mengikat gigi (behel) yang terbuat dari emas.”
Dalam kitab lain disebutkan bahwa—tepatnya dalam bab qishos—tak ada diyat ketika mencabut gigi yang ada emasnya atau yang terbuat dari emas. Hal ini dijelaskan dalam kitab al-Najmu al-Wahhaj fi Syarh al-Minhaj, juz 8, halaman 194:
ولو سقطت سنه فاتخذ سنا من ذهب أو حديد…. فلا دية في قلعها
“Seandainya gigi seseorang lepas lalu menggunakan gigi dari emas atau besi….maka tak ada diyat ketika gigi tersebut dicabut (oleh orang lain).”
Bahkan suatu ketika pernah Sayyidina Ustman mengikat giginya menggunakan emas. Dan tak seorang pun yang mengingkari perbuatan beliau ini. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Kifayah an-Nabi fi Syarh at-Tanbih, juz IV, halaman 256:
وقد روي أن عثمان بن عفان شد أسنانه بالذهب ولم ينكر عليه أحد
“Dan diriwayatkan bahwa Sayyidina Utsman mengikat giginya dengan emas dan tak seorang pun yang mengingkarinya”
Berdasarkan penjelasan di atas, kesimpulannya adalah menggunakan behel yang terbuat dari emas hukumnya boleh dengan catatan pemasangan behel tersebut bertujuan untuk meratakan gigi yang tidak rata.
Sebaliknya, jika tidak ada hajat maka tidak diperbolehkan. Seperti, pemasangan tersebut hanya bertujuan berpenampilan berbeda dan agar lebih keren saja di momen tahun baru, maka tidak diperbolehkan.
Demikian penjelasan tentang hukum memakai behel yang terbuat dari emas. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.