Hukum Memberikan Zakat kepada Bani Hasyim dan Bani Muthalib

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menyebutkan beberapa hadis berkaitan dengan masalah ini di kitab beliau, Bulughul Maram.

Hadis pertama

Diriwayatkan dari Abdul Muthalib bin Rabi’ah bin Al-Harits radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَنْبَغِي لِآلِ مُحَمَّدٍ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ

“Sesungguhnya sedekah itu tidak diperkenankan untuk keluarga Muhammad, karena zakat hanyalah kotoran manusia.” (HR. Muslim no. 1072)

Hadis kedua

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ، وَإِنَّهَا لَا تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ، وَلَا لِآلِ مُحَمَّدٍ

“Sedekah ini hanyalah kotoran manusia. Sesungguhnya zakat itu tidak halal (diberikan) kepada Muhammad dan juga keluarga Muhammad.” (HR. Muslim no. 1072)

Hadis ketiga

Diriwayatkan dari Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

مَشَيْتُ أَنَا وَعُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْطَيْتَ بَنِي المُطَّلِبِ وَتَرَكْتَنَا، وَنَحْنُ وَهُمْ مِنْكَ بِمَنْزِلَةٍ وَاحِدَةٍ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا بَنُو المُطَّلِبِ، وَبَنُو هَاشِمٍ شَيْءٌ وَاحِدٌ

“Aku dan Utsman bin Affan berjalan menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu kami katakan, “Wahai Rasulullah, engkau memberikan kepada Bani Muthalib (yaitu seperlima harta ghanimah, pent.), tetapi kami tidak, padahal kami di hadapanmu kedudukannya sama.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Bani Muthalib dan Bani Hasyim adalah satu (sama kedudukannya).” (HR. Bukhari no. 3140)

Hadis keempat

Diriwayatkan dari Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا عَلَى الصَّدَقَةِ مِنْ بَنِي مَخْزُومٍ، فَقَالَ لِأَبِي رَافِعٍ: اصْحَبْنِي فَإِنَّكَ تُصِيبُ مِنْهَا، قَالَ: حَتَّى آتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْأَلَهُ، فَأَتَاهُ فَسَأَلَهُ، فَقَالَ: مَوْلَى الْقَوْمِ مِنْ أَنْفُسِهِمْ، وَإِنَّا لَا تَحِلُّ لَنَا الصَّدَقَةُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seorang laki-laki agar mengambil zakat dari Bani Makhzum, kemudian ia berkata kepada Abu Rafi’, “Temani aku, sesungguhnya engkau akan memperoleh sebagian darinya.” Ia berkata, “Hingga aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan meminta kepada beliau.” Kemudian ia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan meminta kepadanya, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “(Mantan) budak sebuah kaum adalah bagian dari mereka, dan sesungguhnya zakat itu tidak halal bagi kami.” (HR. Ahmad 39: 300, Abu Dawud no. 1650, At-Tirmidzi no. 657, An-Nasa’i 5: 107. Ibnu Khuzaimah no. 2344, dan Ibnu Hibban 8: 88. At-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Hadis hasan sahih.” Dinilai sahih oleh Al-Albani.)

Kandungan hadis

Kandungan pertama

Hadis-hadis tersebut merupakan dalil bahwa zakat itu tidak boleh diberikan kepada keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu Bani Hasyim. Hasyim adalah kakek kedua bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini karena Abdu Manaf itu memiliki empat orang anak: 1) Hasyim; 2) Muthalib; 3) Abdu Syams; dan 4) Naufal. Yang dimaksud dengan Bani Hasyim adalah keluarga ‘Abbas bin Abdul Muthalib, keluarga Abu Thalib bin Abdul Muthalib, keluarga Al-Harits bin Abdul Muthalib, dan keluarga Abu Lahab bin Abdul Muthalib.

Abdurrahman bin Qudamah rahimahullah berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa Bani Hasyim itu tidak boleh menerima sedekah wajib (zakat, pent.) … “ (Asy-Syarh Al-Kabir, 7: 289)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian menjelaskan hikmah hal tersebut dengan mengatakan,

إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ

“Karena zakat hanyalah kotoran manusia.”

Maksudnya, zakat itu disyariatkan untuk membersihkan dan menyucikan harta dan jiwa manusia. Maka hal itu seperti membersihkan kotoran dari badan manusia, sehingga badan menjadi bersih.

Kandungan kedua

Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu (hadis ketiga di atas), para ulama Syafi’iyyah berdalil bahwa Bani Muthalib itu sama dengan Bani Hasyim, yaitu sama-sama tidak boleh menerima zakat. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Ahmad. Argumentasi mereka, bahwa keluarga Bani Muthalib itu berhak memperoleh seperlima dari harta rampasan perang (ghanimah), sehingga hal itu sudah mencukupi dari menerima harta zakat (Al-Majmu’, 6: 227).

Adapun jumhur ulama berpendapat bahwa keluarga Bani Muthalib boleh menerima zakat, karena: (1) dalil-dalil umum dalam masalah ini; dan (2) mereka bukanlah termasuk keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hanyalah yang berasal dari Bani Hasyim. Sehingga Bani Muthalib tidaklah tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَنْبَغِي لِآلِ مُحَمَّدٍ

“Sesungguhnya sedekah itu tidak diperkenankan untuk keluarga Muhammad.”

Adapun sebab mengapa Bani Muthalib mendapatkan pembagian seperlima harta ghanimah adalah karena pertolongan dan dukungan mereka ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi situasi sulit saat diboikot oleh orang-orang kafir Quraisy; dan bukan semata-mata karena hubungan keluarga (kekerabatan) (Al-Mughni, 4: 111-112). Buktinya, Bani Abdi Syams dan Bani Naufal juga sama-sama kerabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun mereka tidak mendapatkan ghanimah sama sekali.

Oleh karena itu, dalam hadis ketiga di atas, Utsman bin Affan (yang berasal dari Bani Abdi Syams) dan Jubair bin Muth’im (yang berasal dari Bani Naufal) berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Engkau memberikan kepada Bani Muthalib seperlima harta ghanimah, sedangkan kami tidak diberi, padahal kedudukan kami dan mereka itu sama.” Maksudnya, sama-sama masih kerabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena semuanya berasal dari Bani Abdi Manaf sebagaimana penjelasan di atas.

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian menjelaskan rahasia mengapa Bani Muthalib mendapatkan hak seperlima, yaitu karena Bani Muthalib dan Bani Hasyim itu satu, sama kedudukannya ketika di masa jahiliyah dan di masa Islam. Berbeda dengan Bani Naufal dan Bani Abdi Syams, karena mereka ikut memerangi dan memusuhi Bani Hasyim ketika Allah Ta’ala mengutus Muhammad sebagai Rasul-Nya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّا وَبَنُو الْمُطَّلِبِ لَا نَفْتَرِقُ فِي جَاهِلِيَّةٍ، وَلَا إِسْلَامٍ، وَإِنَّمَا نَحْنُ وَهُمْ شَيْءٌ وَاحِدٌ

“Sesungguhnya kami (Bani Hasyim) dan Bani Muthalib itu tidak berpisah pada masa jahiliyah dan juga pada masa Islam. Kami dan mereka adalah satu (sama kedudukannya).” (HR. Abu Dawud no. 2980, An-Nasa’i 7: 131, Ibnu Majah no. 2881, Ahmad 27: 304-305. Dinilai sahih oleh Al-Albani.)

Ketika Bani Hasyim diblokade oleh orang Quraisy di sebuah lembah, orang-orang Quraisy memboikot mereka dari aktivitas jual beli, pernikahan, dan sebagainya. Di masa-masa sulit itu, datanglah Bani Muthalib yang membantu dan menolong Bani Hasyim. Bani Muthalib mengatakan, “Kalian adalah saudara kami, kami tidak rida meninggalkan (membiarkan) kalian.”

Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan Bani Muthalib sebagai kerabat (keluarga) beliau dan memberikan hak seperlima harta ghanimah. Dan beliau tidak memberikan harta tersebut kepada Bani Naufal dan Bani Abdi Syams, kareka keduanya tidak ikut membantu dan menolong Bani Hasyim. Sehingga Bani Abdi Syams dan Bani Naufal tidak memiliki keutamaan sebagaimana Bani Muthalib.

Adapun pertolongan, pembelaan, dan dukungan dari Bani Muthalib tidaklah berkonsekuensi bahwa mereka tidak boleh menerima harta zakat. Sehingga pendapat yang lebih kuat adalah pendapat jumhur ulama yang berpendapat bahwa keluarga Bani Muthalib boleh menerima zakat. Hal ini karena dalil-dalil yang menunjukkan bahwa keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu tidak boleh menerima zakat hanyalah khusus berlaku untuk Bani Hasyim, tidak selainnya. Bani Hasyim ini adalah keturuan yang paling dekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, paling mulia, dan merekalah keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana penjelasan sebelumnya.

Kandungan ketiga

Dzahir perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَنْبَغِي لِآلِ مُحَمَّدٍ

“Sesungguhnya sedekah itu tidak diperkenankan untuk keluarga Muhammad”, bahwa yang dimaksud dengan “sedekah” di sini mencakup sedekah wajib (zakat) dan sedekah sunah. Akan tetapi, perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ

“Karena zakat hanyalah kotoran manusia”, menunjukkan bahwa hal itu hanya khusus berkaitan dengan sedekah wajib (zakat), bukan sedekah sunah, karena sedekah sunah tidaklah memiliki sifat demikian. Sehingga Bani Hasyim boleh menerima harta dari sedekah sunah. Dikecualikan dari hal ini adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri, beliau tidak boleh menerima zakat dan tidak boleh pula sedekah sunah. Ini adalah pendapat jumhur ulama (Al-Mughni, 4: 113-115).

Sebagian ulama, di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sebagian ulama Hanabilah, sebagian ulama Syafi’iyyah, dan sebagian ulama Hanafiyah, berpendapat bahwa keturunan Bani Hasyim sekarang boleh diberikan harta zakat, ketika mereka tidak mendapatkan seperlima harta ghanimah. Hal ini untuk menghilangkan kesusahan ketika mereka miskin, karena banyak di antara mereka yang terlilit utang. Sehingga boleh memberikan sebagian harta zakat kepada mereka ketika ada kebutuhan dan maslahat. Adapun jumhur ulama berpendapat bahwa keturunan Bani Hasyim tidak boleh menerima harta zakat secara mutlak, karena cakupan dalil-dalil umum yang melarangnya. (Lihat Al-Ikhtiyarat, hal. 104; Al-Inshaf, 3: 255; Fiqhuz Zakat, 2: 732)

Kandungan keempat

Adapun hadis keempat merupakan dalil bahwa zakat iu tidak boleh disalurkan kepada budak Bani Hasyim. Hukum bagi mereka dan tuannya dari bani Hasyim itu sama, yaitu sama-sama tidak boleh menerima harta zakat. Hal ini berdasarkan pekataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَوْلَى الْقَوْمِ مِنْ أَنْفُسِهِمْ

“(Mantan) budak sebuah kaum adalah bagian dari mereka.”

Maksudnya, hukum budak yang sudah merdeka itu sama seperti hukum tuannya, kemuliaan tuan mereka (yaitu tuan mereka dari Bani Hasyim) itu juga mereka dapatkan. Ini adalah pendapat jumhur ulama, bahkan Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengklaim adanya ijmak dalam masalah ini.

Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam.

[Selesai]

***

@Kantor Pogung, 27 Jumadil awal 1445/ 11 Desember 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/90569-hukum-memberikan-zakat-kepada-bani-hasyim-dan-bani-muthalib.html
Copyright © 2024 muslim.or.id