Salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seluruh umat muslim laki-laki adalah melaksanakan shalat Jum’at. Tetapi, dalam rangka efisiensi waktu pendidikan dan jauhnya jarak masjid ke sekolah membuat sebagian sekolah mendirikan sendiri shalat Jum’at di lingkungannya masing-masing. Lantas, bagaimanakah hukum mendirikan shalat Jum’at di sekolah?
Dalam literatur kitab fikih, terdapat keterangan yang menyatakan bahwa termasuk dari syarat sah shalat jum’at adalah harus dilaksanakan dalam satu tempat dan tidak boleh mengadakan sholat jum’at lain, kecuali adanya kebutuhan, semisal sulitnya berkumpul di satu tempat tertentu. Sebagaimana dalam keterangan kitab as-Sarqawy berikut,
وخامسها أن لا يسبقها بالتحرم ولا يقارنها فيه جمعة أخرى بمحلها الا ان عسر اجتماع الناس بمكان
Artinya : “Syarat yang kelima adalah harus tidak didahului atau bersamaan dengan takbiratul ihram shalat jum’at lain kecuali sulitnya berkumpul di satu tempat.”
Shalat jumat juga harus dihadiri oleh 40 orang yang berstatus muqim mustauthin. Mereka adalah penduduk tetap yang tinggal di perumahan tempat berdirinya shalat jum’at, dan tidak ada niatan untuk pergi ke tempat lain kecuali dalam kondisi tertentu.
Apabila shalat jum’at didirikan oleh sekumpulan orang yang bukan penduduk asli tempat itu maka sholat jum’atnya tidak dihukumi sah. Hal ini sebagaimana dalam keterangan kitab Majmu’ Syarah Muhaddab, juz 4, halaman 420 berikut,
وأما قول المصنف (هل تنعقد بمقيمين غير مستوطنين ؟) فيه وجهان مشهوران أصحهما لا تنعقد، اتفقوا على تصحيحه، ممن صححه المحاملي وإمام الحرمين والبغوي والمتولي وآخرون،
Artinya : “Adapun perkataan mushannif (Apakah shalat jum’at bisa jadi dengan penduduk yang tidak Mustautin) Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang mashur. Pendapat dianggap paling benar mengatakan bahwa shalat jumatnya tidak jadi, ulama telah sepakat mengenai hukum ini termasuk diantaranya Mahamily, Imam Haramain, al-Bungayi, al-Mutawally, dan lainnya. ”
Namun demikian, siswa sekolah yang tidak berdomisili di tempat itu masih tetap dikenai kewajiban melaksanakan shalat jum’at. Hal ini karena mereka termasuk seseorang yang dianggap sah sholat Jum’atnya meskipun tidak dapat menjadikan shalat jum’at. Sebagaimana dalam keterangan kitab I’anah Al-Tholibin, juz 2, halaman 54 berikut,
واعلم) أن الناس في الجمعة ستة أقسام: أولها: من تجب عليه، وتنعقد به، وتصح منه، وهو من توفرت فيه الشروط كلها. وثانيها: من تجب عليه، ولا تنعقد به، وتصح منه، وهو المقيم غير المستوطن، ومن سمع نداء الجمعة، وهو ليس بمحلها.
Artinya : “ketahuilah bahwasanya terdapat enam klasifikasi orang dalam sholat jum’at. Pertama, seorang yang wajib melaksanakan, dapat menjadikan dan sah sholatnya. Dia adalah sesorang yang telah terpenuhi semua syarat-syaratnya.
Kedua seorang yang wajib melaksanakan sholat jum’at, tidak dapat menjadikan tapi tetap sah sholat jum’atnya mereka adalah seorang yang muqim dan tidak mustauthin dan orang yang mendengar suara nida’ jum’at sementara dia tidak berada ditempat itu.”
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa mendirikan shalat jum’at di sekolah dapat dihukumi sah apabila terdapat adanya kebutuhan untuk mendirikan shalat jum’at sendiri di lingkungan tersebut, seperti sulitnya untuk berkumpul dengan penduduk sekitar di satu tempat. Shalat jumat itu juga harus dihadiri oleh 40 orang penduduk asli yang berdomisili di tempat tersebut.
Apabila syarat diatas tidak terpenuhi, maka shalat Jum’at yang didirikan sekolah dihukumi tidak sah.
Demikian penjelasan mengenai hukum mendirikan shalat Jum’at di sekolah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.