Hadis-hadis yang berkaitan dengan an-na’yu
An-na’yu adalah mengumumkan atau menyebarluaskan berita kematian seseorang. Berkaitan dengan masalah an-na’yu, kita jumpai beberapa hadis yang tampaknya saling bertentangan. Sebagian hadis menunjukkan bahwa hal itu terlarang, dan sebagian yang lain membolehkan.
Hadis yang melarang adalah hadis dari sahabat Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
إِذَا مِتُّ فَلَا تُؤْذِنُوا بِي، إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ نَعْيًا، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنِ النَّعْيِ
“Jika aku mati, janganlah kalian mengumumkan kematianku, karena aku takut hal itu termasuk dalam an-na’yu. Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dari an-na’yu.”
Hadis di atas diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 986 dan Ahmad no. 23455. At-Tirmidzi mengatakan, “Ini hadis hasan.” Dinilai hasan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (3: 117) dan juga Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi.
Hadis di atas memiliki penguat dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالنَّعْيَ، فَإِنَّ النَّعْيَ مِنْ عَمَلِ الجَاهِلِيَّةِ
“Janganlah kalian mengumumkan kematian seseorang, karena hal itu termasuk perbuatan jahiliyah.”
Hadis di atas diriwayatkan oleh Tirmidzi (no. 984) secara marfu’ (disandarkan sebagai perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Dinilai dha’if oleh Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Al-Bukhari, dan Ad-Daruquthni. (Lihat Tahdzib At-Tahdzib, 10: 353)
Namun, terdapat pula hadis yang menunjukkan bolehnya an-na’yu, yaitu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengumumkan berita kematian Raja An-Najasyi. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengumumkan kematian An-Najasyi pada hari kematiannya. Beliau pun keluar menuju tempat salat, lalu membariskan saf, kemudian takbir empat kali.” (HR. Bukhari no. 1245 dan Muslim no. 951)
Demikian pula hadis tentang para sahabat yang memakamkan jenazah di malam hari. Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَجُلٍ بَعْدَ مَا دُفِنَ بِلَيْلَةٍ قَامَ هُوَ وَأَصْحَابُهُ وَكَانَ سَأَلَ عَنْهُ فَقَالَ مَنْ هَذَا فَقَالُوا فُلَانٌ دُفِنَ الْبَارِحَةَ فَصَلَّوْا عَلَيْهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengerjakan salat jenazah untuk seorang laki-laki yang telah dikebumikan pada malam hari. Beliau mengerjakannya bersama dengan para sahabatnya. Saat itu beliau bertanya tentang jenazah tersebut, ‘Siapakah orang ini?’ Mereka menjawab, ‘Si fulan, yang telah dimakamkan kemarin.’ Maka mereka menyalatkannya.” (HR. Bukhari no. 1340)
Dalam riwayat Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,
أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي
“Mengapa kalian tidak memberitahukan kepadaku?” (HR. Muslim no. 956)
Dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyesalkan tindakan para sahabat yang tidak memberitahukan berita meninggalnya sahabat tersebut kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata ketika menjelaskan hadis tersebut, “Dalam hadis ini terdapat dalil disyariatkannya mengumumkan kematian si mayit.” (Tashiilul Ilmaam, 3: 42)
At-Tirmidzi rahimahullah mengatakan,
وَقَدْ كَرِهَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ النَّعْيَ، وَالنَّعْيُ عِنْدَهُمْ: أَنْ يُنَادَى فِي النَّاسِ أَنَّ فُلَانًا مَاتَ لِيَشْهَدُوا جَنَازَتَهُ، وقَالَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ: لَا بَأْسَ أَنْ يُعْلِمَ أَهْلَ قَرَابَتِهِ وَإِخْوَانَهُ وَرُوِيَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ أَنَّهُ قَالَ: لَا بَأْسَ بِأَنْ يُعْلِمَ الرَّجُلُ قَرَابَتَهُ
“Sebagian ulama menilai makruh an-na’yu. An-na’yu menurut mereka adalah mengumumkan dengan suara keras di tengah-tengah manusia bahwa si fulan meninggal dunia agar mereka menghadiri jenazahnya (yaitu agar mengurusi, menyalatkan, atau mendoakannya, pent.). Sebagian ulama mengatakan, ‘Tidak masalah mengumumkan (kematian) kerabat dan saudaranya.’ Dan diriwayatkan dari Ibrahim, bahwa beliau mengatakan, ‘Tidak masalah seseorang mengumumkan (kematian) kerabatnya.’” (Sunan At-Tirmidzi, 3: 303)
Karena hadis-hadis tersebut tampaknya bertentangan, maka perlu dikompromikan agar selaras dengan merinci hukum an-na’yu sebagai berikut.
Mengumumkan berita kematian yang dilarang
An-na’yu yang dilarang adalah mengumumkan berita kematian sebagaimana ciri khas jaman jahiliyah, berupa berteriak-teriak di pintu rumah, di pasar, atau dari tempat yang tinggi. Demikian pula, an-na’yu menjadi terlarang jika hal itu dilakukan sebagai sarana untuk melakukan hal-hal yang diharamkan, misalnya menampakkan kesedihan dan duka cita secara berlebihan, dan sejenis itu. (Lihat Minhatul ‘Allam, 4: 291)
Mengumumkan berita kematian yang diperbolehkan
Mengumumkan berita kematian seseorang diperbolehkan jika hal itu untuk memenuhi hak-hak si mayit. Misalnya, mengumumkan kematian seseorang dan juga mengumumkan waktu dan tempat pelaksanaan salat jenazah untuk si mayit, mendoakannya, dan juga agar kaum muslimin bisa menghadiri pemakamannya. Tentu saja, itu semua akan mendatangkan pahala bagi kaum muslimin. Juga hal itu akan bermanfaat untuk si mayit, misalnya agar wasiatnya tertunaikan, hutang-hutangnya dilunasi, dan semacamnya.
Hukum an-na’yu bisa menjadi wajib jika hal itu merupakan sarana untuk menunaikan kewajiban terhadap si mayit, misalnya memandikan si mayit, mengkafani, dan menyalatkannya. (Lihat Minhatul ‘Allam, 4: 292-293)
Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan,
“An-na’yu itu ada tiga jenis:
Pertama, mengabarkan kepada kerabat dan keluarga si mayit agar menghadiri pengurusan jenazah dan menyalatinya. Ini hukukmnya mustahab (dianjurkan). Di antara contohnya adalah an-na’yu yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Raja Najasyi agar (kaum muslimin) bisa menyalatinya.
Kedua, an-na’yu yang dimaksudkan untuk berbangga diri atau menyombongkan diri dengan banyaknya orang yang hadir. Ini adalah an-na’yu yang hukumnya makruh. Karena tidak memiliki maksud (tujuan) yang benar, akan tetapi hanya bertujuan menyombongkan diri.
Ketiga, an-na’yu yang merupakan ciri khas jahiliyah. Yaitu meratapi kepergian si mayit dan meninggikan suara (bersuara keras) untuk menyebut-nyebut kelebihan si mayit, menghitung-hitung kebaikannya, dan menyesali kepergiannya (semua itu dilakukan secara berlebihan, pent.). Ini adalah an-na’yu yang haram.” (Tashiilul Ilmaam, 3: 42-43)
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan,
النَّعْي لَيْسَ مَمْنُوعًا كُلّه , وَإِنَّمَا نُهِيَ عَمَّا كَانَ أَهْل الْجَاهِلِيَّة يَصْنَعُونَهُ فَكَانُوا يُرْسِلُونَ مَنْ يُعْلِن بِخَبَرِ مَوْت الْمَيِّت عَلَى أَبْوَاب الدُّور وَالأَسْوَاق
“An-na’yu tidak terlarang semuanya. Yang terlarang adalah jika serupa dengan yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Mereka mengutus orang untuk mengumumkan dengan suara keras tentang kematian seseorang ke rumah-rumah, gang-gang, dan pasar-pasar.” (Fathul Bari, 3: 117)
Demikian penjelasan singkat ini, semoga bermanfaat.
***
Penulis: M. Saifudin Hakim
Sumber: https://muslim.or.id/75181-hukum-mengumumkan-berita-kematian-seseorang-an-nayu.html