Hukum Pacaran dalam Islam

Pacaran, sebuah kata yang semakin mendapat tempat dalam kenyataan sosial budaya kita pada saat ini. Anak-anak sekolahan, mahasiswa, artis dan banyak orang muda yang melakukannya. Koran-koran, majalah, radio, seminar turut memberi andil pemasyarakatannya lewat ulasannya soal yang satu ini. Lantas, bagaimanakah hukum pacaran dalam Islam?

Dalam literatur kitab fikih, dijumpai beberapa keterangan yang menyatakan keharaman seseorang untuk pacaran berduaan dengan lawan jenis.  Keharaman ini juga berlaku kepada orang tua pasangan tersebut, mereka harus melarang putrinya atau keluarganya untuk berbaur dengan pacarnya, berduaan tanpa pengawasan, dan melakukan perbuatan lain yang dapat menyebabkan perempuan hancur kehormatannya.

Sebagaimana keterangan Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah berikut,

درج كثير من الناس على التهاون في هذا الشأن فأباح لابنته أو قريبته أن تخالط خطيبها وتخلو معه دون رقابة وتذهب معه حيث يريد من غير اشراف. قد نتج عن ذلك تعرضت المرأة لضياع شرفها وفساد عفافها واهدار كراماتها.

Artinya :“Lambat laun, banyak orang mengentengkan persoalan ini, sehingga mereka membolehkan putrinya, keluarganya untuk berbaur dengan tunangannya dan berduaan tanpa pengawasan, dan bebas keluyuran kemana saja tanpa arahan. Ini menyebabkan perempuan kehilangan kemuliaan, rusak akhlaknya, dan hancur kehormatannya.”

Namun demikian, bukan berarti Islam tutup pintu, dalam arti laki-laki ditutup aksesnya sama sekali untuk berhubungan  dengan perempuan yang belum dinikahinya.

Dalam Islam, laki-laki diperbolehkan untuk melihat wajah dan telapak wanita apabila dalam hatinya sudah ada kemantapan untuk menikahi wanita tersebut.

Sebagaimana Sabda Nabi dalam kitab Ma’alimus Sunan Lil Khuthabi, juz 3, halaman 196 berikut,

اِذَا خَطَبَ اَحَدُكُمْ الْمَرْأَةُ فَاِنْ اسْتَطَاعَ اَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا اِلَى مَا يَدْعُوْ اِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ

Artinya : “Jika diantara kalian ada yang meminang perempuan, jikalau ia bisa melihat si perempuan yang ia butuhkan untuk dinikahinya, maka hendaknya ia melakukan itu.”

Kalau dengan cara ini, laki-laki belum cukup puas atas pengetahuannya tentang perempuan yang ditaksirnya, misalnya ia ingin tahu lebih jauh tentang perangai perempuan tersebut, Sayyid Sabiq Fiqh al-Sunnah memberi jalan keluar berikut,

هَذَا بِالنِّسْبَةِ لِلنَّظَرِ الَّذِيْ يُعْرَفُ بِهِ الْجَمَالُ مِنَ الْقُبْحِ. وَاَمَّا بَقِيَّةُ الصِّفَاتِ الْخَلْقِيَةِ فَتُعْرَفُ بِالْوَصْفِ وَالاِسْتِصَافِ وَالتَّحَرى مِمَّنْ خَالَطُوْهَا بِالْمُعَاشَرَةِ اَوِ الْجَوَارِ اَوْ بِوَاسِطَةِ بَعْضِ اَفْرَادٍ مِمَّنْ هُمْ مَوْضِعُ ثِقَتِهِ مِنَ الْاَقْرِبَاءِ كَالْأُمِّ وَالْأُخْتِ

Artinya : “Melihat seperti ini, dapat mengungkapkan kecantikan. Adapun akhlaknya, diketahui dengan mengerti sifat-sifatnya dan meminta penjelasan terhadap orang  yang akrab dengan si perempuan, seperti tetangga atau dengan meminta penjelasan orang yang sangat pantas di percaya penjelasannya, seperti ibu atau saudari si perempuan tersebut.”

Jika dengan begini, masih saja ada  ganjalan di hati sehingga ia perlu mengobrol atau pergi bareng dengan perempuan itu untuk berbagi rasa, masih dipandang boleh oleh fikih. Dengan syarat pertemuan tersebut disertai mahram si perempuan, agar ada yang mengawasi dan mereka berdua tidak terjerumus melakukan hal-hal yang diharamkan.

Sebagaimana keterangan Yusuf al-Qardlawi dalam kitab al-Hala wa al-Haram fi al-Islam berikut,

قَالَ : بَلْ لَهُ –فِيْ نِطَاقِ الْحَدِيْثِ الشَّرِيْفِ- أَنْ يصحبها مَعَ أَبِيْهَا أَوْ اَحَدِ مَحَارِمِهَا-وَهِيَ بزيها الشَّرْعِيُّ- اِلَى مَا اِعْتَادَتْ اَنْ تَذْهَبَ اِلَيْهِ مِنَ الزِّيَارَةِ وَالْاَمَاكِنِ الْمُبَاحَةِ لِيَنْظُرَ عَقْلَهَا وَذَوْقَهَا وَملَامِحَ شَخْصِيَتَهَا فَاِنَّهُ دَاخًا فِي مَفْهُوْمِ الْبَعْضِيَةِ الَّتِي تَضَمَّنَهَا قَوْلُهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ (فقدر اَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا بَعْضَ مَا يدعه اِلَى زواجها)

Artinya : “Selanjutnya mereka berkata: bahwa si laki-laki itu boleh pergi bersama wanita tersebut dengan syarat disertai oleh ayah atau salah seorang mahramnya—dengan pakaian menurut syara’—ke tempat yang boleh dikunjungi untuk mengetahui kecerdikannya, perasaannya dan keperibadiannya.

Semua ini termasuk dalam kata sebagian yang disebut dalam hadits Nabi di atas yang mengatakan: “…..kemudian ia dapat melihat sebagian apa yang kiranya yang dapat menarik dia untuk mengawininya.”

Demikian penjelasan mengenai hukum pacaran dalam Islam. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH