Rincian Hukum Tauriyah (Bag. 2)

Rincian hukum tauriyah

Dalam pembahasan sebelumnya telah kami sebutkan dalil-dalil yang menunjukkan diperbolehkannya tauriyah. Namun, bukan berarti bahwa hukumnya diperbolehkan secara mutlak dalam semua keadaan. Hal ini karena hukum ucapan itu sesuai dengan hukum tujuan.

Oleh karena itu, terdapat rincian hukum tauriyah dengan menimbang maksud atau tujuan si pembicara. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala.

Pertama, tauriyah yang hukumnya haram.

Yaitu tauriyah yang mengantarkan kepada kebatilan, baik diambilnya hak orang lain tanpa alasan yang dibenarkan, atau untuk berkelit dari kewajiban yang seharusnya dia tunaikan.

Misalnya, seorang pegawai bolos kerja karena malas ke kantor. Keesokan harinya, dia ditanya oleh bosnya ketika sudah masuk kerja kembali, dan menjawab, “Saya sakit.”

Si bos memahami bahwa dia betul-betul sakit sehingga bisa dimaklumi ketika kemarin tidak masuk kerja. Padahal, si pegawai sedang ber-tauriyah karena yang dia maksud adalah “sakit panu”, penyakit yang seharusnya tidak menghalangi masuk kerja.

Ini adalah tauriyah yang haram, karena mengantarkan kepada kebatilan, yaitu tidak adanya amanah.

Kedua, tauriyah yang hukumnya wajib.

Yaitu tauriyah yang mengantarkan kepada kewajiban atau untuk mencegah kedzaliman. Contoh tauriyah semacam ini telah kami sebutkan di awal seri tulisan ini, yaitu tentang adanya seseorang yang ingin mendzalimi orang lain.

Juga tauriyah yang dilakukan oleh para ulama untuk menghindar dari kedzaliman penguasa. Pada masa fitnah Al-Qur’an adalah makhluk, para ulama ahlus sunnah dipaksa untuk mengatakan ucapan kekafiran bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, dan jika tidak mau, mereka akan disiksa atau dibunuh.

Lalu datanglah sejumlah pasukan ke salah seorang ulama, dan beliau pun melakukan tauriyah. Sang ulama mengatakan, “Al-Qur’an, Taurat, Injil, Zabur, semuanya ini adalah makhluk.”

Ketika mengatakan, “Semuanya ini adalah makhluk”; beliau sambil memegang empat jari tangan kiri dengan tangan kanan. Sehingga yang beliau maksud sebenarnya adalah “Semua jari ini adalah makhluk, adapun Al-Qur’an, Taurat, Injil, Zabur, itu bukan makhluk.”

Tauriyah semacam ini hukumnya wajib, karena dengannya jiwa manusia dapat terhindar dari kedzaliman.

Ketiga, tauriyah yang hukumnya diperbolehkan karena adanya maslahat atau karena ada hajat (kebutuhan).

Jika ada kebutuhan atau maslahat tertentu yang ingin dicapai, maka tidak mengapa melakukan tauriyah.

Contoh tauriyah model ini adalah kisah Imam Ahmad rahimahullahu Ta’ala. Ketika itu, beliau kedatangan tamu, yaitu Al-Maruzi. Lalu ada seseorang yang mencari Al-Maruzi sampai ke rumah Imam Ahmad. Namun Al-Maruzi menyampaikan ke Imam Ahmad bahwa dia tidak ingin menemui orang tersebut dengan sebab (alasan) tertentu.

Lalu Imam Ahmad pergi menemui orang yang mencari Al-Maruzi tersebut dan berkata, “Al-Maruzi tidak ada di sini, buat apa Al-Maruzi ada di sini?”

Imam Ahmad mengatakan hal itu sambil berisyarat dengan tangannya. Sehingga makna yang dimaksud oleh Imam Ahmad adalah, “Al-Maruzi tidak ada di tanganku ini, buat apa dia ada di tanganku ini?” Namun makna yang ditangkap oleh si pencari Al-Maruzi adalah bahwa Al-Maruzi tidak ada di rumah Imam Ahmad.

Keempat, tauriyah yang sekedar main-main, tidak ada kebutuhan, dan juga tidak mengantarkan kepada kebatilan.

Tauriyah semacam ini diperselisihkan oleh para ulama tentang boleh atau tidaknya.

Pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta’ala adalah tidak diperbolehkan. Hal ini karena tauriayh itu sisi lahiriyahnya menyelisihi maksud sebenarnya. Sehingga masih terdapat unsur kebohongan dalam tauriyah. Dan juga, terdapat sisi jelek dengan tauriyah yang sekedar main-main saja. Yaitu, ketika seseorang mengetahui bahwa jika secara kenyataan apa yang diucapkan oleh seseorang itu berbeda dengan makna yang dia pahami, hal ini akan menyebabkan si pengucap tersebut bisa dituduh berdusta dan tidak bisa dipercaya, juga menimbulkan buruk sangka kepadanya.

Akan tetapi, yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala adalah tidak mengapa, jika kadang-kadang dilakukan, lebih-lebih jika mengabarkan kepada sahabatnya tentang perkara di masa mendatang.

Misalnya, sahabat kita mengatakan, “Kapan ke rumah?” Kita katakan, “Besok.” Padahal yang kita maksud dengan “besok” itu tidak terbatas, tidak dalam waktu dekat ini.

Sejenis dengan ini adalah kisah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu ketika di masa perjanjian Hudaibiyah. ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَلَيْسَ كَانَ يُحَدِّثُنَا أَنَّا سَنَأْتِي البَيْتَ وَنَطُوفُ بِهِ؟

“Bukankah Engkau mengabarkan kepada kita bahwa kita akan mendatangi baitullah dan thawaf di sana?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

بَلَى، أَفَأَخْبَرَكَ أَنَّكَ تَأْتِيهِ العَامَ؟

“Iya benar. Akan tetapi, appakah aku mengatakan kalau kita akan mendatanginya tahun ini?”

‘Umar menjawab, “Tidak.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

فَإِنَّكَ آتِيهِ وَمُطَّوِّفٌ بِهِ

‘Sesungguhnya Engkau akan mendatanginya dan thawaf di sana.” (HR. Bukhari no. 2731 dan 2732) [1]

[Selesai]

***

@FK UGM, 13 Syawwal 1440/17 Juni 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47565-rincian-hukum-tauriyah-bag-2.html

Rincian Hukum Tauriyah (Bag. 1)

Di antara bentuk maksiat dan dosa lisan adalah perkataan dusta, yaitu mengatakan sesuatu berbeda dengan kondisi senyatanya. Namun terkadang ada beberapa kondisi yang jika kita berkata jujur, akan menimbulkan dampak buruk (mudharat) kepada diri kita. Dalam kondisi semacam ini, boleh berbohong, atau jika tidak, dia bisa mencari jalan keluar dengan mengucapkan kalimat-kalimat tauriyah. Tauriyah inilah yang akan kami bahas dalam tulisan ini.

Pengertian tauriyah (ma’aaridh)

Yang dimaksud dengan tauriyah adalah seseorang mengucapkan suatu kalimat atau perkataan, dan dia maksudkan dengan kalimat tersebut maksud yang benar dan tidak bohong, meskipun ketika kalimat itu ditangkap oleh orang lain, mereka akan memahami makna lain yang berbeda dengan maksud si pembicara.

Untuk memperjelas definisi di atas, berikut ini kami sampaikan satu contoh tauriyah:

Ada orang dzalim (si A) yang mengejar dan bermaksud untuk mendzalimi si B. Lalu si B lari dan bersembunyi di rumah kita. Dan ketika si B masuk ke rumah kita, kita sedang duduk di kursi teras rumah. Lalu datanglah si A dan menanyakan apakah melihat si B?

Karena kita mengetahui bahwa si A akan berbuat dzalim kepada si B, maka kita menjawab, “Sejak aku berdiri di sini, aku tidak melihat seorang pun.” Yang dipahami oleh si A dari kalimat ini adalah bahwa kita memang tidak melihat siapa pun, termasuk si B. Inilah makna yang ditangkap oleh si A.

Padahal makna yang kita maksud, dan ini juga makna yang benar, adalah bahwa kita tidak melihat siapapun itu sejak kita berdiri. Karena tadi si B masuk ke rumah kita, ketika kita sedang duduk. Jadi apa yang kita sampaikan itu sebetulnya bukan kebohongan. Akan tetapi, makna yang ditangkap oleh orang lain itu seolah-olah adalah bohong karena mereka menangkap maksud lain dari kalimat kita.

Contoh lain dari tauriyah adalah tauriyah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam, sebagaimana dalam riwayat dalam Shahih Bukhari.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan bahwa pada suatu hari, Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam sedang bersama dengan Sarah, istrinya. Beliau datang kepada seorang raja yang zhalim, lalu raja tersebut diberi informasi bahwa akan ada seorang laki-laki bersama seorang wanita yang paling cantik. Sehingga diutuslah seseorang menemui Ibrahim, lalu utusan itu bertanya kepadanya.

Utusan itu bertanya, “Siapakah wanita ini?”

Ibrahim menjawab, “Dia saudaraku.” Lalu Sarah datang, maka Ibrahim pun berkata,

يَا سَارَةُ: لَيْسَ عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ مُؤْمِنٌ غَيْرِي وَغَيْرَكِ، وَإِنَّ هَذَا سَأَلَنِي فَأَخْبَرْتُهُ أَنَّكِ أُخْتِي، فَلاَ تُكَذِّبِينِي

“Wahai Sarah, tidak ada di muka bumi ini orang yang beriman selain aku dan dirimu. Orang tadi bertanya kepadaku, aku sampaikan bahwa kamu adalah saudariku. Karena itu, jangan Engkau anggap bahwa aku berbohong.” (HR. Bukhari no. 3358)

Kata “saudara” bisa dimaksudkan dengan “saudara seiman atau seagama”; dan bisa juga dimaksudkan dengan “saudara kandung”. Nabi Ibrahim memaksudkan jawaban beliau sebagai “saudara seiman” (dan ini makna benar, tidak bohong). Meskipun yang dipahami oleh utusan raja adalah “saudara kandung” (dan ini makna yang tidak benar). Dengan kalimat tersebut, Nabi Ibrahim sedang berusaha menghindarkan istrinya, Sarah, dari kezaliman yang akan dilakukan oleh sang raja.

Tauriyah adalah jalan keluar daripada melakukan kebohongan secara terang-terangan

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan sejumlah riwayat dari ulama salaf yang menunjukkan bahwa tauriyah ini adalah jalan keluar daripada harus berkata yang murni bohong dan dusta.

‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

إن في معاريض الكلام ما يغني الرجل عن الكذب

“Sesunggguhnya dalam bahasa-bahasa tauriyah itu sudah mencukupi seseorang sehingga dia tidak perlu berdusta secara terang-terangan.” (Ighatsatul Lahafaan, 1: 381)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

ما يسرني بمعاريض الكلام حمر النعم

“Tidaklah membahagiakanku ketika bahasa-bahasa tauriyah itu diganti dengan unta merah (harta yang paling mahal ketika itu, pent.)” (Ighatsatul Lahafaan, 1: 381)

Jadi, menemukan kalimat-kalimat tauriyah yang bisa menyelamatkan seseorang dari dusta itu jauh lebih berharga dari unta merah yang merupakan harta yang paling mahal ketika itu.

Seorang ulama masa tabi’in, Hammad rahimahullahu Ta’ala, jika seorang tamu datang ke rumah beliau namun beliau tidak mau menemui dan berbicara dengannya, maka beliau meletakkan tangan atau jarinya ke giginya, sambil mengatakan,

ضرسي، ضرسي

“Gigiku, gigiku … “ (Afaatul Lisaan, hal. 50)

Orang mengira bahwa beliau sedang sakit gigi, sehingga mereka pun pulang karena merasa tidak enak. Padahal yang dimaksud Hammad adalah sekedar ingin menunjukkan bahwa ini gigi, dan ini tentu benar karena yang ditunjuk adalah gigi, bukan bagian tubuh yang lain.

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47559-rincian-hukum-tauriyah-bag-1.html