Husein Ja’far Al-Hadar: Habib Kok Begini

Wajahnya sering muncul di berbagai platform media sosial. Sebagai seorang pendakwah, ia memilih jalur digital untuk mendekatkan diri dan mengedukasi kaum muda tentang ajaran-ajaran Islam. Baginya, ini adalah cara paling efektif dari pada menunggu mereka mendatangi masjid atau musholla untuk belajar agama.

Husein Ja’far Al-Hadar atau yang sering dipanggil dengan Habib Ja’far adalah keturunan Nabi Muhammad SAW generasi ke-38. Hal ini diperkuat oleh legalitas dari Maktab Daimi, bagian dari Robithah Alawiyah yang secara khusus mencatat dan mengurusi mahzah-mahzab para keturunan nabi khususnya di Indonesia. Baginya, ada sudut pandang menarik tentang takdirnya sebagai pembawa ‘darah’ nabi di dalam tubuhnya.

“Mungkin kita tidak melihat itu sebagai beban tapi melihat itu sebagai tanggung jawab yang muncul sebagai konsekuensi dari kelebihan yang Tuhan berikan kepada kita sebagai keturunan Nabi Muhammad. Kita percaya bahwa setiap kelebihan itu ada tanggung jawabnya, maka kita yang diberi kelebihan menjadi anak cucu Nabi Muhammad itu dibekali tanggung jawab,” ungkap Habib Ja’far kepada tim Sosok detikcom, Minggu (6/11).

Mengemban tanggung jawab, bukanlah hal yang mudah. Namun, keikhlasannya untuk menjalani peran sebagai pendakwah membuat hal itu tidak menjadi beban. Berkat didikan ayahnya, ia memahami bagaimana norma-norma berjalan beriringan tanpa saling tumpeng tindih dan bergesekan.

Sejak kecil, ia sudah akrab dengan ilmu-ilmu universal yang diperoleh dari buku-buku orang tuanya. Jiwa nasionalismenya pun tumbuh dalam setiap masanya berziarah ke makam pahlawan bersama ayahnya.

“Ayah yang memang berpandangan berprinsip dan terbuka yang memperkenalkan saya pada pahlawan pahlawan di kampung saya dan setiap tahun di hari pahlawan saya berziarah ke makam pahlawan. Dari sanalah saya belajar tentang nasionalisme yang mengajarkan saya untuk berkenalan dengan pendeta-pendeta di kampung saya, mengucapkan selamat natal setiap hari natal bahwa orang yang berbeda agama bukan berarti lawan kita, bukan berarti musuh kita. Ayah saya yang membuka mindset bahwa seorang muslim itu harus penuh cinta,” ungkap Habib Ja’far.

Sosok ayah, baginya, merupakan satu dari tiga hal yang paling berperan dalam membentuk karakternya saat ini. Habib Ja’far paham benar bagaimana menjadi seorang pendakwah yang impulsif dan progresif di masa kini.


“Kamu tidak wajib baik di mata orang lain…” Halaman Selanjutnya.

Habib Ja’far menuturkan, ada dua risiko besar yang mungkin akan dialaminya. Pertama, kedekatannya dengan setiap pihak mendorong orang untuk berpikir bahwa dirinya kurang berpendirian kokoh. Artinya, pada titik tertentu, ia akan dijauhi oleh suatu kelompok karena dinilai dekat oleh kelompok lain. Kedua, toleransi yang berlebihan akan suatu hal menurutnya dianggap kurang Islam oleh beberapa pihak.

Ia menuturkan bahwa targetnya adalah mendorong umat muslim memperoleh nilai-nilai keislaman dengan cara yang sederhana dan mudah dipahami. Oleh sebab itu, menurutnya, kreativitas dalam berdakwah perlu ia kedepankan. Sehingga, ia perlu dekat dan memahami ilmu serta budaya baru yang tengah berkembang di masyarakat.

“Saya berhadapan dengan segmen yang berbeda karena itu saya harus memiliki kreativitas dalam berdakwah dengan memilih pendapat pendapat yang memudahkan orang lain agar orang lain bisa masuk ke dalam nilai nilai Islam secara berangsur-angsur, secara enjoy. Tapi untuk diri saya sendiri saya menerapkan hukum yang keras karena begitulah ajaran spiritual dalam islam atau tasawuf, sufi-sufi. Keras ke dalam, lembut ke luar,”

Soal suara-suara nyinyir yang sering ia dengar, Habib Ja’far tidak terlalu menghiraukannya. Sebab, ia selalu berpegang teguh dengan ucapan ayahnya tentang bagaimana menghadapi situasi semacam ini.

“Intinya ‘habib kok begini’ tapi kan ayah saya pernah bilang ‘kamu itu tidak wajib baik di mata orang lain tapi wajib baik di mata Allah’. Jadi saya nggak pernah peduli dengan pandangan orang lain jika memang pandangan itu tidak valid dan tidak berbasis kepada fakta,” katanya.

DETIKHIKMAH