SEMALAM saya menyusuri jalan-jalan kampung di Kabupaten Lamongan. Jalannya tak lebar, khas kampung. Lampu-lampu hias berkelap kelip menyambut HUT Kemerdekaan RI. Bendera merah putih berbagai ukuran berkibar melambaikan makna selamat. Saya lewat sambil berpikir tentang hebatnya nasionalisme orang-orang kampung.
Lampu rumah mereka tak semeriah lampu hias itu. Lampu rumah mereka tak 24 jam dihidupkan demi penghematan. Sementara lampu hias itu hidup terus demi hidupnya nuansa ke-Indonesiaan. Baju mereka tak sebaru bendera merah putih. Mungkin mereka tak mampu selalu membeli baju, namun selalu mampu bersama membeli bendera merah putih. Demi Indonesia.
Begitu murninya nasionalisme mereka, nasionalisme penuh kebanggaan dan kesyukuran, bukan nasionalisme pura-pura yang menjadi tempat bersembunyinya kepentingan politik golongan dan ketamakan ekonomi pribadi. Saya sungguh salut pada nasionalisme orang kampung.
Orang kota tak perlu protes tulisan ini. Saya tahu bahwa masih ada orang kota yang terus berteriak lantang untuk negeri ini. Namun saya ngeri mendengar dan membaca berita akhir-akhir ini tentang siapa dapat apa, bukan siapa berbuat apa. Diskusi dan perdebatan yang viral di media massa dan media sosial sepertinya mempertontonkan kerakusan tanpa kendali dan arogansi tanpa batas. Lalu di manakah Pancasila dan Merah Putih bertempat?
Di kampung, di warung dan pematang sawah, di pasar tradisional dan tengah tambak, diskusi masyarakat adalah tentang mensyukuri yang ada. Di kota, di mall dan tempat kerja, di jalan raya dan di toko-toko, orang sibuk berdebat tentang yang belum ada dengan semangat menggapainya tanpa kenal aturan dan etika. Salam untuk orang-orang kampung dan orang-orang kota yang nasionalisme seirama dengan orang kampung, nasionalisme yang original.
Oleh :Â KH Ahmad Imam Mawardi