Kezuhudan dan ketajaman spiritual itulah yang menempatkan Muhammad bin Waasi’ sebagai sosok penuh karamah. Ketika itu Muhammad bin Waasi’ pernah terlibat berperang bersama panglima besar Qutaibah bin Muslim al-Bahili yang berperang dari Marwa menuju Bukhara.
Belum lagi pasukan Qutaibah bin Muslim menyeberangi sungai Seihun, tiba-tiba penduduk Bukhara melihat pasukan Muslimin. Mereka memukul genderang perang di seluruh penjuru dan meminta bantuan negeri tetangga, seperti Suged, Turki, Cina, dan sebagainya. Maka berduyun-duyunlah kelompok-kelompok prajurit yang bermacam-macam warna kulit, bahasa, dan agama hingga jumlah mereka berlipat ganda dibandingkan pasukan Muslimin.
Mendengar kabar tersebut, Ibnu Waasi’ menyerukan untuk menggelar doa qunut nazilah. Terbentuklah satu pasukan pembantu, yaitu pasukan tangguh yang terdiri dari sukarelawan dari seluruh negeri. Gerakan itu muncul berkat seruan Ibnu Waasi’.
Saat berada di medan perang, justru Qutaibah menanyakan keberadaan Ibnu Waasi’. Jelas dari segi kuantitas, umat Islam kalah jauh dari pasukan musuh. Qutaibah menyadari hal itu, tetapi ia tak putus harapan. Beliau segera berkeliling dari satu kompi ke kompi yang lain untuk membangkitkan semangat mereka.
Kemudian beliau memandang ke kanan dan kiri seraya bertanya, “Di mana Muhammad bin Waasi’ al-Uzdi?” Mereka menjawab, “Beliau di barisan sebelah kanan, wahai amir.” Qutaibah berkata, “Apa yang tengah dilakukannya?” Mereka berkata, “Bersandar pada tombaknya, menata ke depan sambil mengarahkan telunjuknya ke langit untuk berdoa. Apakah Anda menginginkan agar kami memanggil beliau?”
Qutaibah, “Tidak perlu, biarkanlah dia. Demi Allah, telunjuknya itu (doa beliau) lebih aku sukai daripada seribu pedang pilihan yang dihunus oleh seribu pemuda jagoan. Maka biarkanlah dia berdoa, kita mengetahui bahwa doanya mustajab.” Syahdan, setelah perang berkecamuk, Allah memberikan pertolongan kepada umat Islam.