Iktikaf Ala Pendaki

Dari depan, Masjid Habiburrahman tampak biasa saja. Masjid itu tidak terlihat sedang mengadakan agenda apapun. Namun, saat masuk ke dalam masjid, suasana menjadi berbeda.

Pelataran masjid yang biasa diisi jamaah kini disulap bak tanah lapang Suryakencana di Gunung Gede-Pangrango. Puluhan tenda pendaki gunung berdiri berwarna-warni di dalam masjid tersebut.

Namun, tidak ada kegiatan layaknya pendaki di aula tersebut. Mereka pemilik tenda terlihat tengah mengaji, shalat atau sekadar mengobrol.

‘Pendaki-pendaki’ ini ternyata bukan tengah menikmati pemandangan di gunung, melainkan sedang melaksanakan iktikaf di dalam Masjid Habiburrahman yang terletak di Jalan Pajajaran, Kota Bandung.

Neti (35 tahun), warga asal Kabupaten Sumedang, terlihat asyik bermain dengan ketiga anaknya di tenda yang ia buat di masjid, sedangkan suaminya tengah khusyuk membaca Alquran. Seperti kegiatan kemping lainnya, ia membawa perlengkapan seperti gelas, piring, termos, bantal, dan perlengkapan tidur.

Neti bercerita, ia sudah langganan beriktikaf di masjid ini sejak 2006. Ia beralasan, iktikaf di Masjid Habiburrahman menyenangkan karena ramai dan nyaman.

Tahun ini, ia kembali melaksanakan iktikaf untuk memberikan pembelajaran kepada anak-anaknya. Ia menyewa kavling tenda sebesar Rp 125 ribu selama iktikaf berlangsung hingga akhir Ramadhan.

“Anak-anak rajin shalat kalau di sini, “ katanya saat dijumpai Republika.co.id usai melaksanakan shalat Qiyamul Lail, belum lama ini.

Sama seperti jamaah yang lain, iktikaf ia lakukan untuk mendapatkan malam Lailatul Qadar. Selain itu, ia ingin memanfaatkan 10 hari terakhir Ramadhan dengan meningkatkan ibadahnya.

Berbeda dengan Neti yang beriktikaf bersama keluarga, Dian Lesmana memilih melaksanakan iktikaf dengan murid-muridnya. Guru SMP IT Qordova ini sengaja jauh-jauh datang dari Rancaekek, Kabupaten Bandung, untuk beriktikaf di Masjid Habiburrahman.

“Di sini lebih enak,” katanya.

Iktikaf bersama siswa ia lakukan guna memberikan pengetahuan agama kepada generasi penerus bangsa itu. Selain itu, beriktikaf dengan suasana yang unik tentu akan menambah semangat dalam beribadah.

Humas DKM Masjid Habiburrahman Rahmat Tarman mengatakan, masyarakat sangat berantusias untuk melaksanakan iktikaf di masjid ini. Tarman menyebutkan, ada 5.000 jamaah yang setiap malam melakukan iktikaf di masjid tersebut. Kebanyakan, warga yang beriktikaf berasal dari Bandung Raya, mencakup Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Sumedang, Kota Bandung, dan Cimahi.

Rahmat mengatakan, ada sejumlah kegiatan yang dilaksanakan selama iktikaf, di antaranya kajian Subuh dan shalat Qiyamul Lail.

Pria berkaca mata ini mengimbau warga untuk selalu berhati-hati dengan barang bawaan selama beriktikaf. Meskipun masjid sudah dilengkapi dengan kamera pengawas, pengawasan barang oleh jamaah tetap harus dilakukan.

“Ada saja laporan kehilangan, kebanyakan lupa,” ujarnya.

Di masjid yang berdampingan dengan PT Dirgantara Indonesia ini juga tersedia beberapa jenis makanan dan minuman untuk sahur dan berbuka puasa bagi para jamaahnya. “Kita mengajak dan memfasilitasi masyarakat untuk bisa bersama-sama menghidupkan 10 hari terakhir Ramadhan dan menggapai malam Lailatul Qadar,” tuturnya.

 

REPUBLIKA

Ini Tata Cara Iktikaf di Masjid Menurut Ketua MUI

Ketua Komisi Dakwah Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis menjelaskan tentang tata cara beriktikaf di masjid untuk mendapatkan Lailatu Qadar. Namun, menurut dia, orang yang mendapatkan malam yang lebih baik dari seribu bulan itu tidak mesti orang yang melakukan iktikaf.

Ia mengatakan, untuk melakukan iktikaf di masjid pertama adalah harus berniat dan harus dalam keadaan bersih dari hadas besar. “Tata cara iktikaf itu dibersihkan. Yang harus adalah bersih dari hadas besar, karena tidak boleh orang junub itu masuk masjid,” ujarnya kepada Republika.co.id, Sabtu (17/6).

Namun, lanjut dia, yang lebih diutamakan orang yang akan melakukan iktikaf di masjid harus terlebih dahulu mempunyai wudhu. Setelah itu, baru masuk ke masjid.  “Masuk masjid lalu niat iktikaf, nawatul iktikaf lillahita’ala. Nah, dia hanya iktikaf, kalau mau baca-bacaan ya silakan. Tidak baca-baca pun yang penting masih di masjid dia iktikaf,” ucapnya.

Menurut dia, kegiatan iktikaf tersebut akan batal jika orang tersebut keluar dari masjid tersebut. “Pada saat dia keluar dari masjid itu sudah batal atau kalau dia junub maka dia batal untuk iktikaf di masjid,” katanya.

Ia menambahkan, untuk mendapatkan Lailatul Qadar umat Islam sejatinya tidak harus melakukan iktikaf di masjid. Berdasarkan penuturan sebagaian ulama, kata dia, selama hati orang tersebut tidak bersih maka tidak akan mendapatkan Lailatul Qadar.

“Lailatul Qadar tidak harus tidak harus iktikaf di masjid, ibu-ibu di rumah kalau hatinya bersih, ibadahnya baik, insyaallah akan mendapatkan Lailatul Qadar. Tapi kalau tidak ya belum tentu meskipun yang di masjid kalau hatinya belum bersih,” jelasnya.

 

REPUBLIKA

I’tikaf di Malam Hari, Siangnya Kerja

Ada yang bertanya, bolehkah di malam hari itu melakukan i’tikaf dan di siang harinya tetap bekerja.  Permasalahan yang ditanyakan ini kembali pada masalah batasan minimal waktu i’tikaf.

Jangka Waktu Minimal I’tikaf

Mengenai waktu minimal disebut i’tikaf terdapat empat pendapat di antara para ulama.

Pendapat pertama: Yang dianut oleh jumhur (mayoritas) ulama hanya disyaratkan berdiam di masjid. Jadi telah dikatakan beri’tikaf jika berdiam di masjid dalam waktu yang lama atau sebentar walau hanya beberapa saat atau sekejap (lahzhoh). Imam Al Haromain dan ulama lainnya berkata, “Tidak cukup sekedar tenang seperti dalam ruku’ dan sujud atau semacamnya, tetapi harus lebih dari itu sehingga bisa disebut i’tikaf.”

Pendapat kedua: Sebagaimana diceritakan oleh Imam Al Haromain dan selainnya bahwa i’tikaf cukup dengan hadir dan sekedar lewat tanpa berdiam (dalam waktu yang lama). Mereka analogikan dengan hadir dan sekedar lewat saat wukuf di Arofah. Imam Al Haromain berkata, “Menurut pendapat ini, jika seseorang beri’tikaf dengan sekedar melewati suatu tempat seperti ia masuk di satu pintu dan keluar dari pintu yang lain, ketika itu ia sudah berniat beri’tikaf, maka sudah disebut i’tikaf. Oleh karenanya, jika seseorang berniat i’tikaf mutlak untuk nadzar, maka ia dianggap telah beri’tikaf dengan sekedar lewat di dalam masjid.”

Pendapat ketiga: Diceritakan oleh Ash Shoidalani dan Imam Al Haromain, juga selainnya bahwa i’tikaf dianggap sah jika telah berdiam selama satu hari atau mendekati waktu itu.

Pendapat keempat: Diceritakan oleh Al Mutawalli dan selainnya yaitu disyaratkan i’tikaf lebih dari separuh hari atau lebih dari separuh malam. Karena kebiasaan mesti dibedakan dengan ibadah. Jika seseorang duduk beberapa saat untuk menunggu shalat atau mendengarkan khutbah atau selain itu tidaklah disebut i’tikaf, haruslah ada syarat berdiam lebih dari itu sehingga terbedakanlah antara ibadah dan kebiasaan (adat). Demikian disebutkan dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 6: 513.[1]

Pendapat Jumhur Ulama

Sebagaimana dikemukakan di atas, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat minimal waktu i’tikaf adalahlahzhoh, yaitu hanya berdiam di masjid beberapa saat. Demikian pendapat dalam madzhab Abu Hanifah, Asy Syafi’i dan Ahmad.

Imam Nawawi berkata, “Waktu minimal itikaf sebagaimana dipilih oleh jumhur ulama cukup disyaratkan berdiam sesaat di masjid. Berdiam di sini boleh jadi waktu yang lama dan boleh jadi singkat hingga beberapa saat atau hanya sekejap hadir.” Lihat Al Majmu’ 6: 489.

Alasan jumhur ulama:

1. I’tikaf dalam bahasa Arab berarti iqomah (berdiam). Berdiam di sini bisa jadi dalam waktu lama maupun singkat. Dalam syari’at tidak ada ketetapan khusus yang membatasi waktu minimal I’tikaf.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “I’tikaf dalam bahasa Arab berarti iqomah (berdiam). … Setiap yang disebut berdiam di masjid dengan niatan mendekatkan diri pada Allah, maka dinamakan i’tikaf, baik dilakukan dalam waktu singkat atau pun lama. Karena tidak ada dalil dari Al Qur’an maupun As Sunnah yang membatasi waktu minimalnya dengan bilangan tertentu atau menetapkannya dengan waktu tertentu.” Lihat Al Muhalla, 5; 179.

2. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ya’la bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata,

إني لأمكث في المسجد الساعة ، وما أمكث إلا لأعتكف

“Aku pernah berdiam di masjid beberapa saat. Aku tidaklah berdiam selain berniat beri’tikaf.” Demikian menjadi dalil Ibnu Hazm dalam Al Muhalla 5: 179. Al Hafizh Ibnu Hajr juga menyebutkannya dalam Fathul Bari lantas beliau mendiamkannya.

3. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ibnu Hazm berkata, “Allah Ta’ala tidak mengkhususkan jangka waktu tertentu untuk beri’tikaf (dalam ayat ini). Dan Rabbmu tidaklah mungkin lupa.” Lihat Al Muhalla, 5: 180.

Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).” (Al Inshof, 6: 17)

Bedakan dengan I’tikaf Nadzar

Beda halnya jika i’tikafnya adalah i’tikaf nadzar, maka harus ditunaikan sesuai dengan hari yang ditentukan. Misalnya, jika ia bernadzar i’tikaf 3 hari 3 malam, maka ia harus menjalaninya tanpa keluar-keluar dari masjid ketika itu. Contohnya saja dari perbuatan ‘Umar bin Khottob yang bernadzar untuk i’tikaf semalam. ‘Umar berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ، قَالَ  فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ

Aku dahulu pernah bernadzar di masa Jahiliyah untuk beri’tikaf selama satu malam di masjidil harom.” Beliau pun bersabda, “Tunaikanlah nadzarmu.” (HR. Bukhari no. 2032 dan Muslim no. 1656). Ibnu Hazm berkata, “Dalil ini adalah umum yaitu perintah untuk menunaikan nadzar berupa i’tikaf. Dan dalil tersebut tidak khusus menerangkan jangka waktu i’tikaf. Sehingga kelirulah yang menyelisihi pendapat kami ini.” (Al Muhalla, 5: 180)

Jawaban …

Sehingga jika ada yang bertanya, bolehkah beri’tikaf di akhir-akhir Ramadhan hanya pada malam hari saja karena pagi harinya mesti kerja? Jawabannya, boleh. Karena syarat i’tikaf hanya berdiam walau sekejap, terserah di malam atau di siang hari. Misalnya sehabis shalat tarawih, seseorang berniat diam di masjid dengan niatan i’tikaf dan kembali pulang ke rumah ketika waktu makan sahur, maka itu dibolehkan.

Baca penjelasan selengkapnya mengenai masalah ini di artikel: Batasan Minimal Waktu I’tikaf.

Hanya Allah yang memberi taufik.

 

Artikel Rumaysho.Com

Menggapai Kenikmatan Iktikaf Kala Umrah Ramadhan

Umrah Ramadhan sangat diincar oleh umat Muslim Indonesia agar bisa beriktikaf di Tanah Suci.

“Beriktikaf bisa dilakukan kapan saja. Namun, Rasulullah sangat menganjurkan di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Inilah waktu yang baik bagi kita untuk bermuhasabah dan taqarub secara penuh kepada Allah SWT guna mengingat kembali tujuan diciptakannya kita sebagai manusia,” ulas Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia Prof Ahmad Satori Ismail, beberapa waktu lalu.

Ia memaparkan, iktikaf, secara bahasa, berarti tinggal di suatu tempat untuk melakukan sesuatu yang baik. Jadi, i’tikaf adalah tinggal atau menetap di dalam masjid dengan niat beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Para ulama sepakat bahwa iktikaf, khususnya 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, adalah ibadah yang disunnahkan oleh Rasulullah. Beliau sendiri melakukanya 10 hari penuh di bulan Ramadhan.

Aisyah, Umar bin Khattab, dan Anas bin Malik menegaskan hal itu, “Adalah Rasulullah saw. beriktikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan, pada tahun wafatnya Rasulullah beri’tikaf selama 20 hari.

Para sahabat, bahkan istri-istri Rasulullah selalu melaksanakan ibadah ini. Sehingga Imam Ahmad berkata, “Sepengetahuan saya tak seorang ulama pun mengatakan iktikaf bukan sunnah.”

“Iktikaf disyariatkan dengan tujuan agar hati beriktikaf dan bersimpuh di hadapan Allah, berkhalwat dengan-Nya, serta memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk dan berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah,” begitu kata Ibnu Qayyim.

Urgensi iktikaf, terang Satori, ruh manusia memerlukan waktu berhenti sejenak untuk disucikan.

“Hati kita butuh waktu khusus untuk bisa berkonsentrasi secara penuh beribadah dan bertaqarub kepada Allah SWT. Kita perlu menjauh dari rutinitas kehidupan dunia untuk mendekatkan diri seutuhnya kepada Allah bermunajat dalam doa dan istighfar serta membulatkan iltizam dengan syariat sehingga ketika kembali beraktivitas sehari-hari kita menjadi manusia baru yang lebih bernilai,” ujar Satori.

Iktikaf sendiri yang disyariatkan ada dua macam, yaitu:

1. Iktikaf sunnah, yaitu iktikaf yang dilakukan secara sukarela semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah. Contohnya iktikaf 10 hari di akhir bulan Ramadhan.

2. Iktikaf wajib, yaitu iktikaf yang didahului oleh nadzar. Seseorang yang berjanji, “Jika Allah SWT menakdirkan saya mendapat proyek itu, saya akan iktikaf di masjid tiga hari,” maka iktikaf-nya menjadi wajib.

 

sumber: Republika Online