OLEH: HAEDAR NASHIR
Thalut diragukan kemampuannya ketika melawan Zhalut. Anak muda yang saleh dari bani Israil ini dianggap tak memiliki apa- apa. Umatnya bahkan menelisik dengan nada mengejek, “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan darinya sedangkan dia pun tidak diberi kekayaan yang banyak?”
Umat bani Israil itu sering aneh dan tak pandai bersyukur. Pascawafatnya Musa AS dan Yusa bin Nun hingga kehadiran pemimpin mereka bernama Shamil, mereka sesungguhnya kehilangan tonggak kepemimpinan yang memberi arah jalan.
Mereka meminta kelahiran sosok pemimpin baru untuk melawan rezim Amaliqah. Lalu, Tuhan mengirim Thalut. Dia hanya penggembala miskin, padahal yang diharapkan ialah pemimpin keturunan Lawi bin Ya’kub atau Yahuza bin Ya’kub.
Namun, Tuhan memberi ilmu dan hikmah kepada Thalut. Akhirnya, dengan izin Allah, Thalut mampu mengalahkan Zhalut sang perkasa dari negeri Amaliqah sebagaimana dikisahkan dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 246-248.
Insan beriman niscaya belajar banyak rahasia hidup dengan radar iman dan ilmu yang melampaui. Belajar ilmu hikmah untuk membaca ayat- ayat kauniyah Tuhan yang sering kali penuh misteri dalam hidup di semesta raya ini.
Alquran mengungkap kisah-kisah sarat hikmah, seperti Ashab al-Kahfi, Lukman al-Hakim, Dzulqarnain, pertemuan Musa dan Khidir, Ibrahim dan Ismail berkurban, dan banyak lainnya sebagai ibrah.
Membacanya tidak memadai hanya dengan nakar verbal dan instrumental. Manusia beriman, siapa pun dia, sikap hidupnya tentu bukan sekadar berwawasan duniawi atau indrawi belaka. Dunia sendiri disebut Tuhan al-mata al-ghurur, penuh senda gurau, dan permainan. Kejayaan duniawai tetap nisbi dan tak pernah absolut.
Kehebatan manusia siapa pun dia memiliki batas lebih dan kurang. Di dalam kelebihannya terdapat kekurangan dan dalam kelemahannya tersimpan kekuatan. Fir’aun yang superperkasa pun memiliki kelemahan, dia sepanjang hayatnya dibayang-bayangi ketakutan sosok bayi laki-laki yang akan merenggut kedigdayaannya.
Ilmu manusia itu terbatas, betapa pun ia merasa hebat. Apalagi, sekadar ilmu akademik. Allah SWT dalam surah al-Israa’ayat 37 mengingatkan kaum beriman agar tidak arogan. Manusia sombong itu, menurut sabda Nabi, memiliki dua sifat, bathar al-haqq wa ghamthu al-nas, yakni suka menolak kebenaran dari orang lain dan merendahkan sesama. Baru memperoleh ilmu dan merambah dunia sebahu, sudah bertepuk dada seolah setinggi langit. Padahal, di atas langit ada lagi langit.
Belajarlah ilmu hikmah bersama agar semakin tinggi kian merunduk. Hikmah adalah pengetahuan dan kebaikan yang melampaui batas syariat menembus titik hakikat dan makrifat. Hikmah menembus jiwa dan makna ihsan ke jantung terdalam.
Mereka yang diberi ilmu minus hikmah, seperti Musa, kala muda yang merasa serba tahu, tetapi akhirnya terpaksa harus belajar kepada Khidzir yang ilmunya menembus batas cakrawala yang tak terjangkau nalar verbal. Berilmu plus hikmah akan melahirkan kecerdasan yang arif mencerahkan.
Hikmah diraih karena berkah Allah. Difirmankan, yang artinya “Allah memberikan hikmah kepada sesiapa yang dikehendakinya. Dan, barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebaikan yang banyak.” (QS al- Baqarah: 269). Lukman al-Hakim juga satu di antara hamba Allah yang diberi hikmah yang dari dirinya lahir banyak kebaik an dan suri teladan bagi kehi – dup an, bak pelita di tengah kegelapan.
Berilmu semestinya naik tangga menuju ilmu berhikmah bukan sekadar ilmu verbal dan instrumental. Banyak orang berilmu, tetapi ilmunya tak mence – rahkan sekitar, bahkan tak mampu menerangi dirinya. Mereka yang berilmu tinggi pun tak jarang tersesat arah jalan sehingga mengalami disorientasi hidup.
Apalagi, baru ilmu sejengkal yang menyentuh kulit luar. Mereka sering merasa benar di jalan sesat. Maka, untuk apa merasa digdaya dengan ilmu dan segala atribut kuasa yang dimiliki manakala tak mampu membuahkan hikmah dalam kehidupan?
Banyak hal dalam hidup ini menj adi berantakan dan salah kaprah karena manusia kehilangan hikmah. Politik dan segala aktivitas perebutan akses kehidupan di manapun menjadi serbagarang karena minus hikmah. Hanya karena satu posisi yang tak seberapa manusia beriman sering saling mengancam dan menerkam sesama.
Merasa hebat, namun kerdil. Merasa menjadi pewaris para Nabi pun sekadar baju luar, minus ilmu hikmah untuk mengajarkan se gala kearifan hidup. Akhirnya, ma nusia bisa saling memangsa da lam hukum homo homini lopus.
Nilai autentik Belajar kepada Lukman al- Hakim, Khidhir, Dzulkarnain, lebih-lebih kepada para Nabi dan Rasul kekasih Allah sungguh tak mudah. Juga kepada para sosok- sosok saleh dan cerdas di manapun tempatnya yang menyiramkan benih-benih kebaikan semesta.
Menyerap serbuk kebajikannya pun boleh jadi merupakan suatu pendakian yang sangat berat. Apalagi, untuk meneladani para Nabi dan Rasul dalam seluruh gerak hidup selaku insan beriman yang sering tersandera oleh banyak topeng dan kepentingan-kepentingan serbainstan yang menyala-nyala.
Maka, menjadi penting mem bangkitkan api iman yang autentik berbingkai hikmah sebagai sikap Muslim yang hanif di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang sering kali membuat diri mengalami disorientasi dan sesat jalan. Setiap hari seorang Muslim berdoa, “Tunjukkan kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula (jalan) mereka yang sesat.” (QS al-Fatihah: 6-7).
Doa itu selain membuka pintu berkah dan perkenan Tuhan, sesungguhnya menularkan energi positif untuk menjalani hidup dengan nilai- nilai ruhaniah yang berwawasan hikmah. Boleh jadi hidayah iman dan Islam dalam makna verbal selalu melekat dalam diri setiap Muslim.
Namun, tak tertutup kemungkinan jalan hidupnya berbelok arah karena iman dan Islamnya tak menghunjam ke kalbu terdalam dan mem buah – kan ihsan serbakebaikan. Iman dan Islam yang harus menjadi – kan setiap insan Muslim berada di jalan lurus dan berperilaku serbabajik yang menyebarkan kesalehan di manapun berada.
Keberimanan dan keberislaman yang benar-benar menampilkan sikap hidup yang tulus, jujur, amanah, damai, welas asih, rendah hati, toleran, dan memuliakan sesama tanpa diskriminasi. Bukan keimanan dan keislaman dalam pesona lisan, teori, dan retorika yang biasanya jauh lebih indah ketimbang aslinya.
Ketika nilai iman dan Islam yang autentik melebur dalam diri insan Muslim, luruhlah kesombongan, keserakahan, ajimumpung, culas, kekerdilan, dusta, nifaq, dan segala penyakit diri. Bersamaan dengan itu diri menjelma menjadi sosok berperangi ihsan yang menyebarkan segala benih kebaikan dalam bingkai Nur Ilahi yang menyejukkan lingkungan kehidupan di sekitar.
Pada titik inilah setiap Muslim mikraj ruhaniah dari sekadar manusia biasa menjadi insan fiahsani at-taqwim yang berperangai utama. Dalam tarikan napasnya selalu ingin menggapai keutamaan hidup yang hakiki melampaui segala penjara duniawi yang indrawi.