Pertanyaan:
Ustadz, bagaimana menyikapi beberapa metode pengobatan atau metode hidup sehat yang dinisbatkan kepada agama islam? Bolehkah demikian?
Jawaban:
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.
Beberapa metode pengobatan dinisbatkan kepada Islam, atau dinisbatkan kepada Al-Qur’an atau As-Sunnah. Mereka mengatakan, “Ini adalah pengobatan Islami”, atau “Ini adalah pengobatan Qur’ani”, atau “Ini adalah pengobatan yang sesuai Sunnah”. Maka untuk menyikapi masalah ini perlu kita sampaikan beberapa poin:
Pertama, mengaitkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan metode pengobatan tertentu, semata-mata dengan akal dan opini tanpa landasan ilmu yang benar, ini hukumnya haram dan terlarang melakukannya. Allah ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya” (QS. Al-Isra: 36).
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda:
من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار
“Barang siapa yang berkata tentang Al-Qur’an tanpa ilmu maka siapkanlah tempat duduknya di neraka” (HR. At-Tirmidzi 2950. Didhaifkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Dha’ifah [1783], Namun Syaikh Ibnu Baz dalam Fawaid Ilmiyah min Durus Baziyah (8/111) mengatakan: “hadits ini terdapat kelemahan, namun maknanya benar”.
Juga diriwayatkan dari Jundab bin Abdillah radhiyallahu’anhu:
من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ
“Barang siapa siapa yang berkata tentang Al-Qur’an sebatas dengan opininya, lalu kebetulan ia benar, maka ia tetap salah.” (HR. Tirmidzi no. 2952. Hadits ini lemah karena terdapat Suhail bin Abi Hazm, perawi yang lemah). Syaikh Ibnu Baz dalam Fawaid Ilmiyah min Durus Baziyah [8/111] mengatakan: “mengenai derajat hadits ini ada perselisihan yang ringan, namun maknanya benar”.
Oleh karena itu kita lihat generasi terbaik umat Islam yaitu para sahabat Nabi, para tabi’in, dan tabiut tabi’in, mereka tidak berani menafsirkan Al-Qur’an jika mereka tidak tahu tafsirnya.
Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu pernah ditanya mengenai makna abban atau al-abb dalam surat Abasa ayat 31: وَفَاكِهَةً وَأَبًّا, namun Abu Bakar mengatakan:
أي سماء تظلني؟ و أي أرض تقلني؟ إذا قلت في كلام الله ما لا أعلم
“Langit mana yang akan menaungiku? Bumi mana yang akan menopangku? Jika aku berkata tentang Kalamullah yang aku tidak ketahui (tafsirnya)” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, dinukil dari Mabahits fi Ulumil Qur’an, 352).
Suatu kala Sa’id bin Musayyib ditanya mengenai tafsir sebuah ayat, beliau mengatakan:
إنا لا نقول في القران شيئا
“Kami tidak (berani) beropini sedikit pun mengenai tafsir Al-Qur’an” (Diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwatha’, dinukil dari Mabahits fi Ulumil Qur’an, 352).
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:
مَنْ فَسَّرَ الْقُرْآنَ أَوْ الْحَدِيثَ وَتَأَوَّلَهُ عَلَى غَيْرِ التَّفْسِيرِ الْمَعْرُوفِ عَنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فَهُوَ مُفْتَرٍ عَلَى اللَّهِ مُلْحِدٌ فِي آيَاتِ اللَّهِ مُحَرِّفٌ لِلْكَلِمِ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَهَذَا فَتْحٌ لِبَابِ الزَّنْدَقَةِ وَالْإِلْحَادِ وَهُوَ مَعْلُومُ الْبُطْلَانِ بِالِاضْطِرَارِ مِنْ دِينِ الْإِسْلَامِ
“Siapa yang menafsirkan Al-Qur’an atau hadits dan menakwilkannya dengan penafsiran yang tidak dikenal oleh para sahabat dan tabi’in, maka ia telah berdusta atas nama Allah. Ia merupakan orang mulhid (menyimpang) dalam ayat-ayat Allah, yang memalingkan ayat-ayat dari tempatnya yang benar. Dan perbuatan ini membuka pintu bagi orang-orang zindiq dan mulhid juga dan merupakan kebatilan yang gamblang dan nyata dalam agama Islam ini” (Majmu’ Al-Fatawa, 13/243).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menasehati orang-orang yang bermudahan mengaitkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan sains sekedar dengan akal dan opini. Beliau mengatakan:
ومن هذا ما وقع أخيراً من أولئك الذين فسروا القرآن بما يسمى بالإعجاز العلمي، حيث كانوا يحملون القرآن أحياناً ما لا يتحمل، صحيح أن لهم استنباطات جيدة تدل على أن القرآن حق ومن الله عز وجل، وتنفع في دعوة غير المسلمين إلى الإسلام ممن يعتمدون على الأدلة الحسية في تصحيح ما جاء به الرسول عليه الصلاة والسلام، لكنهم أحياناً يحملون القرآن ما لا يتحمله
“Dari sini kita mengetahui kekeliruan apa yang terjadi akhir-akhir ini dalam menafsirkan Al-Qur’an. Yaitu fenomena yang mereka sebut dengan i’jaz al-ilmi (keajaiban sains Al-Qur’an). Yaitu ketika mereka memaknai ayat-ayat Al-Qur’an dengan makna yang tidak terkandung di dalamnya. Benar bahwa kesimpulan mereka akan semakin menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu haq dan datang dari Allah azza wa jalla. Dan juga memberi manfaat untuk mendakwahi non-Muslim kepada Islam, yang mereka lebih condong pada bukti inderawi untuk membenarkan ajaran Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Namun yang menjadi masalah adalah mereka memaknai ayat-ayat Al-Qur’an dengan makna yang tidak terkandung di dalamnya”.
مثل قولهم: إن قوله تعالى: (يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإنْسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ تَنْفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ فَانْفُذُوا لا تَنْفُذُونَ إِلَّا بِسُلْطَانٍ) (الرحمن: ٣٣) ، إن هذا يعني الوصول إلى القمر وإلى النجوم وما أشبه ذلك، لأن الله قال: (لا تَنْفُذُونَ إِلَّا بِسُلْطَانٍ) والسلطان عندهم العلم. وهذا لا شك أنه تحريف، وأنه حرام ان يفسر كلام الله بهذا
“Misalnya, firman Allah ta’ala (yang artinya) : “Wahai segenap jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya, kecuali dengan kekuatan (dari Allah).” (QS. Ar-Rahman: 33). Mereka mengatakan bahwa “sulthon” dalam ayat ini maksudnya adalah ilmu sains. Tidak ragu lagi ini adalah tahrif (pengubahan) terhadap makna ayat. Haram hukumnya menafsirkan Al-Qur’an dengan cara seperti ini” (Syarah Muqaddimah at-Tafsir, halaman 98-99).
Kedua, menisbatkan suatu metode pengobatan kepada sunnah Nabi artinya mengklaim bahwa metode pengobatan tersebut diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau beliau contohkan dengan perbuatan atau beliau setujui.
Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan makna “sunnah”, beliau mengatakan :
وأما معناها شرعا : أي في اصطلاح أهل الشرع ، فهي : قول النبي صلى الله عليه وآله وسلم وفعله وتقريره
“Adapun makna as-sunnah secara syar’i, yaitu dalam istilah para ulama, artinya adalah perkataan, perbuatan dan taqrir (persetujuan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haq min Ilmil Ushul, 1/131).
Dengan demikian, juga tidak diperbolehkan menisbatkan suatu metode pengobatan kepada sunnah Nabi kecuali terdapat dalil yang menunjukkannya. Jika tidak didasari dalil maka akan terjerumus dalam klaim dusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ كَذِبًا عَلَيَّ ليسَ كَكَذِبٍ علَى أَحَدٍ، مَن كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Sesungguhnya berdusta atas namaku, tidak sebagaimana berdusta atas nama orang biasa. Siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka” (HR. Al-Bukhari no.1291, Muslim no.3004).
Ketiga, menisbatkan suatu metode pengobatan kepada agama Islam ini berarti bicara dalam ranah agama. Dan tidak boleh bicara dalam ranah agama, kecuali orang-orang yang berilmu. Ia memahami bahasa Arab, ilmu nahwu dan sharaf, ilmu balaghah, ilmu ushul fiqih, ilmu fiqih, ilmu hadits, ilmu musthalah hadits, ilmu tafsir, ilmu Al-Qur’an, dan ilmu lainnya yang dibutuhkan untuk memahami masalah agama. Allah ta’ala melarang bicara agama tanpa ilmu, sebagaimana dalam surat Al-Isra ayat 36 di atas. Allah ta’ala juga berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Hujurat: 1).
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:
أن الله تعالى نهى عن القول بلا علم بل بالظن الذي هو التوهم والخيال
“Allah ta’ala melarang untuk bicara agama tanpa ilmu, yaitu bicara dengan sekedar sangkaan yang merupakan kerancuan dan khayalan” (Tafsir Ibnu Katsir).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سيَكونُ في آخرِ أمَّتي أناسٌ يحدِّثونَكم ما لَم تسمعوا أنتُم ولا آباؤُكم . فإيَّاكُم وإيَّاهُم
“Akan ada di akhir zaman dari umatku, orang-orang yang membawakan perkataan (dalam masalah agama) yang tidak pernah kalian dengar sebelumnya, juga belum pernah didengar oleh ayah-ayah dan kakek moyang kalian. Maka waspadailah… waspadailah” (HR. Muslim dalam Muqaddimah-nya).
Bicara masalah agama tanpa ilmu akan lebih banyak merusak daripada membawa kebaikan. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah mengatakan:
من تعبد بغير علم كان ما يفسد أكثر مما يصلح
“Orang yang beribadah tanpa di dasari ilmu, lebih banyak merusak daripada memperbaiki” (Sunan Ad-Darimi, 1/102).
Masalah agama hanya diambil dari orang yang berilmu agama. Muhammad bin Sirin rahimahullah, beliau mengatakan:
إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
“Ilmu ini adalah bagian dari agama kalian, maka perhatikanlah baik-baik dari siapa kalian mengambil ilmu agama.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Al-Ilal, 1/355).
Keempat, demikian ilmu kesehatan, hanya diambil dari orang-orang ahli dalam masalah kesehatan. Tidak boleh dari sembarang orang. Karena ini termasuk berkata dan berbuat tanpa ilmu yang dilarang oleh Allah ta’ala. Surat Al-Isra ayat 36 berlaku untuk masalah agama atapun masalah dunia, tidak boleh bicara tentang sesuatu yang tidak diketahui dan tidak diilmui. Dan orang yang melakukannya akan dimintai pertanggungjawaban.
Berbicara tentang sesuatu dengan modal prasangka adalah akhlak yang tercela dan merupakan dosa. Allah ta’ala berfirman:
اِجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa” (QS. Al-Hujurat: 12).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إياكم والظنَّ، فإنَّ الظنَّ أكذب الحديث
“Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta” (HR. Bukhari-Muslim).
Ilmu kesehatan, harus diambil dari ahli kesehatan seperti dokter, tabib, dan semisalnya. Bukan orang yang hanya ikut pelatihan kesehatan. Ilmu herbal juga harus diambil dari ahli herbal. Yang bertahun-tahun belajar herbal. Bukan orang yang hanya ikut pelatihan herbal.
Orang yang tidak ahli dalam melakukan pengobatan, ia tidak boleh menjadi tabib untuk mengobati orang lain. Dari kakeknya Amr bin Syu’aib, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَن تطبَّبَ ولا يُعلَمْ منه طِبٌّ فهوَ ضامنٌ
“Barang siapa yang berlagak melakukan pengobatan padahal ia tidak mengetahui ilmu pengobatan, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban” (HR. Abu Daud no. 4586, dihasankan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).
Ash-Shan’ani rahimahullah mengatakan:
الْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى تَضْمِينِ الْمُتَطَبِّبِ مَا أَتْلَفَهُ مِنْ نَفْسٍ فَمَا دُونَهَا سَوَاءٌ أَصَابَ بِالسِّرَايَةِ أَوْ بِالْمُبَاشَرَةِ وَسَوَاءٌ كَانَ عَمْدًا، أَوْ خَطَأً، وَقَدْ ادَّعَى عَلَى هَذَا الْإِجْمَاعَ. وَفِي نِهَايَةِ الْمُجْتَهِدِ إذَا أَعْنَتَ أَيْ الْمُتَطَبِّبُ كَانَ عَلَيْهِ الضَّرْبُ وَالسَّجْنُ وَالدِّيَةُ فِي مَالِهِ وَقِيلَ: عَلَى الْعَاقِلَةِ
“Hadits ini merupakan dalil tentang wajibnya mutathabbib (orang yang berlagak melakukan pengobatan) bertanggung jawab atau kerusakan yang ia buat. Baik karena obat yang ia sebarkan atau karena pengobatan secara langsung. Baik karena sengaja ataupun karena tidak sengaja. Para ulama mengklaim ijma akan hal ini. Dalam kitab Nihayatul Mujtahid disebutkan, jika mutathabbib menyebabkan kerusakan (pada kesehatan seseorang) maka ia wajib dicambuk, atau dipenjara atau membayar diyat dari hartanya. Sebagian ulama mengatakan ia wajib membayar aqilah (ganti rugi yang dituntut oleh korban)” (Subulus Salam, 2/363).
Kelima, oleh karena itu tidak semua pengobatan yang dianjurkan ulama itu disebut sebagai Thibbun Nabawi (pengobatan ala Nabi). Dr. Mahmud Nazhim An-Nasimi mendefinisikan Thibbun Nabawi :
الطب النبوي مجموع ما ثبت وروده عن النبي صلى الله عليه وسلم مما له علاقة بالطب، سواء كانت آيات قرآنية أو أحاديث نبوية شريفة
“Ath-Thibbun Nabawi adalah kumpulan riwayat-riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkait dengan pengobatan. Baik berupa ayat Al-Qur’an ataupun hadits-hadits Nabi yang mulia” (Ath-Thibbun Nabawi wal Ilmu wal Hadits, 1/7).
Maka tidak semua yang diajarkan para ulama dalam kitab-kitab pengobatan bisa disebut sebagai thibbun nabawi, karena sebagiannya adalah ijtihad dari mereka.
Bahkan sebagian metode pengobatan yang ada dalam hadits, tidak dinisbatkan oleh para ulama sebagai bagian dari agama. Contohnya bekam. Dalam hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhum, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشِّفَاءُ فِي ثَلاثَةٍ شَرْبَةِ عَسَلٍ وَشَرْطَةِ مِحْجَمٍ وَكَيَّةِ نَارٍ وَأَنْهَى أُمَّتِي عَنِ الْكَيِّ
“Kesembuhan itu ada pada tiga hal : meminum madu, sayatan pisau bekam, dan kay. Namun aku melarang umatku melakukan kay” (HR. Bukhari no.5680).
Ulama khilaf apakah anjuran berbekam adalah anjuran lil istihbab (mencari pahala) atau lil irsyad (menyarankan suatu hal yang baik)?.
* Sebagian ulama yang mengatakan anjuran tersebut lil istihbab. Sehingga bekam merupakan bagian dari agama dan berpahala melakukannya. Ini pendapat yang dikuatkan Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini.
* Sebagian ulama yang mengatakan anjuran tersebut lil irsyad. Sehingga bekam bukan bagian dari agama dan mengerjakannya boleh dan meninggalkannya juga boleh. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Abdul Muhsin Al-Badr, Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Mayshur Alu Salman, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Ar-Rajihi, Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak, Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili.
Jika demikian, maka bagaimana lagi metode-metode pengobatan yang tidak dituntunkan oleh dalil sama sekali?
Terakhir, pengobatan adalah masalah muamalah sehingga hukum asalnya boleh saja, selama tidak berobat dengan cara yang haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ اللهَ خلق الداءَ و الدواءَ ، فتداوُوا ، و لا تتداوُوا بحرامٍ
“Sesungguhnya Allah telah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah! Namun jangan berobat dengan yang haram” (HR. At-Tirmidzi no. 3874, dihasankan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 1633).
Namun metode pengobatan apapun yang digunakan hendaknya tidak dinisbatkan kepada agama Islam kecuali terdapat dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Wallahu a’lam. Semoga Allah ta’ala memberi taufik.
Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.