Pengeroyokan terhadap Ade Armando dalam aksi demontrasi kemaren 11 April 2022 menjadi perbincangan publik. Lebih-lebih ada teriakan halal darahnya. Tak ayal, banyak tokoh agama terkemuka ikut turun gunung mengomentari peristiwa tersebut.
“Halal darahnya” makna dari ungkapan tersebut adalah orang tersebut boleh dibunuh. Seharusnya ungkapan tersebut harus dijaga agar tidak memprovokasi seseorang bertindak anarkis. Lebih-lebih masalah pembunuhan.
Dalam Islam, nyawa seseorang sangat dijaga dan dilindungi. Allah swt berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
Artinya: “Janganlah kalian membunuh jiwa seseorang yang Allah haramkan, kecuali karena ada haq” (QS. Al An’am: 151 dan Al Isro’: 33)
Ayat ini salah satu ayat yang melarang membunuh orang lain sekalipun itu non muslim kecuali ada hak. Makna dari adanya hak yaitu seseorang melanggar aturan yang memang sampai pada taraf dibunuh, maka bagi penegak hukum berhak membunuh orang tersebut, seperti qishas dan rajam.
Di dalam agama Islam, ada beberapa kategori orang yang boleh dibunuh, yaitu sebagaimana sabda Nabi saw:
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِ وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
Artinya: “Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah, kecual sebab salah satu tiga perkara: Tsayyib (orang yang berkeluarga) yang melakukan zina, orang yang membunuh jiwa seseorang, dan orang yang meninggalkan agamanya yaitu orang yang meninggalkan golongannya” (HR. Muslim)
Siapapun yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, maka haram darahnya, sekalipun ia telah melakukan dosa besar, kecuali telah melakukan tiga hal: Pertama, orang yang sudah memiliki istri atau suami, tetapi ia melakukan zina. Kedua, seseorang yang telah membunuh orang lain tanpa ada hak. Ketiga, orang yang meninggalkan agama Islam, dan memisah dari kelompoknya. Menurut Ibn Rajab Al Hanbali, yang dimaksud orang yang meninggalkan Islam adalah orang murtad yang kembali kepada agama sebelumnya menjadi kafir[1].
Namun kebolehan membunuh orang dengan salah satu tiga kategori di atas, tidak dilakukan dengan sembarangan, namun ada tahap-tahap tertentu. Semisal ada bukti kuat bahwa orang tersebut telah melakukan salah satu tiga perkara di atas. Sebab itu, darah seseorang tidak boleh sampai menetes jika hanya dengan bukti syubhat atau masih terdapat perbedaan pendapat. Imam Al Qurtubi berkata:
وَدِمَاءُ الْمُسْلِمِيْنَ مَحْظُوْرَةٌ لَا تُسْتَبَاحُ إِلَّا بِيَقِيْنٍ وَلَا يَقِيْنَ مَعَ الْاِخْتِلَافِ
Artinya: “Darahnya orang muslim hukumnya haram, artinya tidak diperbolehkan kecuali sebab yang diyakini. Dan tidak ada keyakinan yang bersama adanya perbedaan”[2]
Selain harus ada bukti jelas, pembunuhan tidak boleh dilakukan dengan main hakim sendiri, harus melalui penegak hukum. Ini yang dimaksud dalam ayat di atas dengan “bil haq”. Selain hakim dalam hal ini sama sekali tidak berhak melakukan pembunuhan kepada siapapun.
Sebab itu, perlu hati-hati dalam mengungkapkan lisan terhadap seseorang yang dibenci, jangan sampai memprovokasi orang lain untuk bertindak kepada perbuatan yang dibenci oleh Allah swt. Bukankah dalam Kaidah Fiqh telah dijelask:
مَا حَرُمَ فِعْلُهُ حَرُمَ طَلَبُهُ
Artinya: “Apa-apa yang haram dilakukan maka haram juga mengajak orang lain melakukannya”
[1] Ibn Rajab Al Hanbali, Jami’ul Ulum Wal Hikam, Juz 1, Hal 327
[2] Al Qurtubi, Tafsir Al Qurtubi, Juz 2, Hal 48