Inilah Sebab-Sebab Terjatuh ke Dalam Kesyirikan (Bag. 2)

Mengikuti hawa nafsu dan syahwat

Hawa nafsu dan syahwat merupakan salah satu faktor utama yang membuat seseorang menyimpang dari fitrahnya serta membawanya kepada kemusyrikan dan kesesatan. Siapapun yang mengikuti keinginan dan kemauan hatinya kemudian bersembunyi di balik syahwatnya, maka ia akan merasa sempit terhadap apa yang Allah Ta’ala turunkan dan perintahkan. Allah Ta’ala  berfirman,

فَخَلَفَ مِنۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُوا۟ ٱلشَّهَوَٰتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam: 59)

Allah Ta’ala juga berfirman,

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ

“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti keinginan (hawa nafsu) mereka.” (QS. Al-Qasas: 50)

Allah Ta’ala menyebutkan bahwa penghalang seseorang dari menjawab panggilan dan seruan dakwah Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah karena hawa nafsu yang telah menguasainya. Karena hawa nafsu inilah, hati ini berpaling dari terangnya hidayah menuju gelapnya kesesatan dan kemaksiatan.

Di dalam Al-Qur’an disebutkan dengan jelas bahwa hawa nafsu merupakan salah satu sebab berpalingnya kaum musyrikin dari seruan para nabi-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

كُلَّمَا جَآءَهُمْ رَسُولٌۢ بِمَا لَا تَهْوَىٰٓ أَنفُسُهُمْ فَرِيقًا كَذَّبُوا۟ وَفَرِيقًا يَقْتُلُونَ

“Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang yang tidak diinginkan oleh hawa nafsu mereka, (maka) sebagian dari rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh.” (QS. Al-Ma’idah: 70)

Lihatlah, bagaimana buruknya pengaruh hawa nafsu terhadap perilaku dan keputusan seseorang. Hanya karena Nabi tersebut membawa perintah yang tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka, dengan serta merta mereka dustakan atau bahkan mereka bunuh.

Begitu pula dalam hal kesyirikan, seseorang yang terbiasa mengikuti hawa nafsunya, maka bisa saja ia sampai pada tahap “menuhankan” hawa nafsunya tersebut. Melakukan kemaksiatan, syirik kecil, bahkan syirik besar karena mengikuti kemauan hawa nafsunya. Allah Ta’ala berfirman,

أفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

“Maka, pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka, siapa yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat?) Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS. Al-Jasiyah: 23)

Rasa sombong

Kesombongan ini memiliki tingkatan. Diawali dengan penghinaan terhadap manusia dan merasa jumawa serta lebih tinggi kedudukannya dari mereka, dan berakhir dengan perasaan angkuh serta merasa tidak butuh untuk beribadah dan menyembah Allah Ta’ala. Kesemuanya ini merupakan perilaku tercela yang hanya muncul dari jiwa yang sakit. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ ». قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ « إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ»

“Tidak akan masuk surga orang yang masih memiliki sikap sombong di dalam hatinya walau seberat biji sawi.” Maka, ada seorang sahabat yang bertanya kepada beliau, “Sesungguhnya orang menyukai kalau pakaiannya itu bagus dan sandalnya bagus.” Maka, Nabi menjawab, “Sesungguhnya Allah itu Mahaindah yang mencintai keindahan. (Yang dinamakan) sombong ialah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR. Muslim no. 91)

Al-Qur’an menjelaskan kepada kita bahwa kesombongan merupakan salah satu sebab kekufuran dan kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana disebutkan dalam kisah Raja Namrud,

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّي الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنْ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنْ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan, ‘Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan.’ Orang itu berkata, ‘Saya dapat menghidupkan dan mematikan.’ Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat.’ Lalu, terdiamlah orang kafir itu dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 258)

Di dalam kisah Fir’aun, Allah Ta’ala juga mengisahkan,

وَنَادٰى فِرْعَوْنُ فِيْ قَوْمِهٖ قَالَ يٰقَوْمِ اَلَيْسَ لِيْ مُلْكُ مِصْرَ وَهٰذِهِ الْاَنْهٰرُ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِيْۚ اَفَلَا تُبْصِرُوْنَۗ * اَمْ اَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْ هٰذَا الَّذِيْ هُوَ مَهِيْنٌ ەۙ وَّلَا يَكَادُ يُبِيْنُ

Dan Fir‘aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata, ‘Wahai kaumku! Bukankah kerajaan Mesir itu milikku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku? Apakah kamu tidak melihat? Bukankah aku lebih baik dari orang (Musa) yang hina ini dan yang hampir tidak dapat menjelaskan (perkataannya)?’ (QS. Az-Zukhruf: 52)

Pada kedua ayat tersebut Allah Ta’ala menjelaskan bahwa pembangkangan dan ketidakpatuhan kedua raja tersebut terhadap seruan dakwah dan kesyirikan mereka kepada Allah Ta’ala, tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh kepongahan dan kesombongan yang ada di hati mereka. Dalam hal ini, Allah Ta’ala menyebutkan sebuah kaidah yang menyeluruh terkait penyakit kesombongan ini. Ia berfirman,

اِنَّ الَّذِيْنَ يُجَادِلُوْنَ فِيْٓ اٰيٰتِ اللّٰهِ بِغَيْرِ سُلْطٰنٍ اَتٰىهُمْ ۙاِنْ فِيْ صُدُوْرِهِمْ اِلَّا كِبْرٌ مَّا هُمْ بِبَالِغِيْهِۚ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan (bukti) yang sampai kepada mereka, yang ada dalam dada mereka hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang tidak akan mereka capai, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Melihat. (QS. Ghafir: 56)

Saat seseorang telah dibutakan oleh kesombongan, maka yang ada di hati mereka hanyalah ambisi untuk menguasai dan menyombongkan diri di depan kebenaran. Tidak peduli siapa yang menyampaikannya, tidak peduli apapun kebenarannya, maka akan mereka tolak.

Ikut-ikutan secara membabi buta dan menjunjung adat-istiadat yang tidak bersumber dari dalil

Perbuatan semacam inilah yang pada akhirnya menyebabkan tersebarnya fenomena-fenomena kesyirikan  di tengah kita serta membuat kesyirikan tersebut terus berlanjut melalui zaman yang panjang. Ikut-Ikutan secara membabi buta serta berlebih-lebihan di dalam mencintai adat istiadat yang berlaku akan membawa seseorang pada jurang kemusyrikan dan kesesatan.

Bersikukuh di dalam sebuah kesyirikan karena beralasan bahwa hal tersebut telah dilakukan sejak lama oleh nenek moyangnya terdahulu, lalu takut untuk meninggalkan kesyirikan tersebut karena menganggap bahwa hal itu merupakan bentuk pelecehan terhadap budaya leluhur yang telah mengakar kuat dalam kehidupan mereka adalah sebab susahnya hidayah masuk ke dalam diri seseorang. Allah Ta’ala berfirman,

وَكَذٰلِكَ مَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِيْ قَرْيَةٍ مِّنْ نَّذِيْرٍۙ اِلَّا قَالَ مُتْرَفُوْهَآ ۙاِنَّا وَجَدْنَآ اٰبَاۤءَنَا عَلٰٓى اُمَّةٍ وَّاِنَّا عَلٰٓى اٰثٰرِهِمْ مُّقْتَدُوْنَ

Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekedar pengikut jejak-jejak mereka.’” (QS. Az-Zukhruf: 23)

Tidak hanya di zaman dahulu saja, di zaman sekarang sering kita jumpai orang musyrik tetap berada dalam kemusyrikannya dengan dalih ini. Meskipun telah sampai kepada mereka dalil- dalil dan bukti-bukti yang begitu banyak akan kesesatan yang mereka lakukan.

Setan dan tipu dayanya

Allah Ta’ala berfirman,

كَانَ ٱلنَّاسُ أُمَّةً وَٰحِدَةً فَبَعَثَ ٱللَّهُ ٱلنَّبِيِّۦنَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ ٱلْكِتَٰبَ بِٱلْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ ٱلنَّاسِ فِيمَا ٱخْتَلَفُوا۟ فِيهِ ۚ

“Dahulu manusia itu adalah umat yang satu. Maka, Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar.” (QS. Al-Baqarah: 213)

Dahulu kala, manusia dari zaman Nabi Adam sampai zaman Nabi Nuh ‘alaihimas salam beriman kepada Allah Ta’ala, kemudian setan menghasut dan menipu mereka hingga terjadilah perselisihan di antara mereka sendiri. Ketika itu, tipuan pertama setan kepada manusia adalah dengan memperdaya mereka untuk berdiam diri dan duduk-duduk di kuburan orang-orang saleh serta membuat lukisan dan patung mereka dengan dalih agar senantiasa mengingat-ingat kesalehan dan kebaikan orang-orang saleh tersebut. Hingga terjadilah kesyirikan pertama di bumi ini ketika setan sukses menipu kaum Nuh ‘alaihis salam untuk menyembah patung-patung dan lukisan-lukisan yang telah mereka buat tersebut.

Syekhul Islam dalam Majmu’ Fatawa-nya mengatakan,

“Seperti inilah  keadaan kebanyakan ahli bid’ah, sesat, dan kaum musyrik yang mengaku-ngaku menjadi bagian dari umat ini. Salah seorang dari mereka berdoa dan memohon pertolongan kepada gurunya dan syekhnya yang dia hormati sedangkan gurunya tersebut telah meninggal. Dia saksikan bahwa gurunya tersebut mendatanginya dengan terbang di udara, membantunya untuk menolak beberapa keburukan yang tidak disukainya, atau berdialog dengannya mengenai sebagian hal yang ia tanyakan kepadanya. Dia tidak mengetahui bahwa setan-setan itu berubah wujud menyerupai gurunya untuk menyesatkan mereka, sehingga nampak baik di mata mereka kesyirikan kepada Allah Ta’ala, berdoa kepada selain-Nya, dan meminta tolong kepada selain-Nya.” (Majmu’ Fatawa, 17: 456 secara ringkas)

Berpegang dengan riwayat-riwayat palsu dan mimpi-mimpi yang batil

Pemalsuan hadis dan kebohongan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah sesuatu yang spontan. Melainkan sebuah rencana yang sudah terorganisir yang diciptakan oleh para ahli bid’ah untuk melawan Islam sebagai bentuk pelampiasan akan kebencian mereka yang terpendam. Mereka berupaya untuk membuat hadis-hadis palsu dan menyebarkannya di tengah masyarakat, menciptakan hadis-hadis palsu yang bertentangan dengan konsep tauhid. Seperti hadis yang berbunyi,

إذا أعيتكم الأمورُ فعليكم بأهلِ القبورِ ، أو فاستعينوا بأهلِ القبورِ

Jika kalian sedang dirundung masalah, maka kembalilah kepada ahli kubur atau mintalah pertolongan kepada ahli kubur.

Hadis ini atau yang semisalnya, sengaja mereka buat untuk menghalalkan perkara-perkara yang telah dilarang Allah Ta’ala dan Nabi-Nya, baik itu membolehkan meminta tolong kepada ahli kubur yang telah meninggal dunia, atupun perbuatan kesyirikan dan kemaksiatan lainnya.

Begitu pula dengan mimpi-mimpi orang-orang yang dianggap sebagai wali. Mimpi-mimpi yang mendukung mereka untuk berbuat kesyirikan, berlebih-lebihan di dalam mengkultuskan seseorang ataupun mengagungkannya melewati batas yang diperbolehkan oleh syariat ini.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita dan anak cucu kita dari terjatuh ke dalam perbuatan syirik, menjauhkan kita dari segala macam wasilah dan sebab yang akan mengantarkan kita ke dalam jurang kesyirikan dan kemaksiatan.

اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ , وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ

Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan (syirik) yang menyekutukan-Mu, sedangkan aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa-apa yang tidak aku ketahui.

Berdoalah sebagaimana doa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam,

رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ

“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Makkah) sebagai negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.(QS. Ibrahim: 35)

Wallahu A’lam bisshawab.

[Selesai]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88003-inilah-sebab-sebab-terjatuh-ke-dalam-kesyirikan-bag-2.html