Masuknya Islam di Indonesia dan Andalusia dapat menjadi refleksi bersama tentang bagaimana Islam pernah berjaya dengan dua dampak yang berbeda. Keduanya memiliki dinamika yang berbeda, tetapi memiliki satu pandangan yang sama tentang proses penyebaran Islam atau islamisasi.
Islam masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan baik dari Arab, India maupun China. Banyak sejarawan yang terus bertukar pikiran dalam menentukan titik awal apakah sejak abad 7 M atau 11 M seterusnya serta unsur dominan dari jalur mana Islam di Indonesia pertama kali hadir. Namun, secara umum Islam di Indonesia datang dengan pendekatan kebudayaan atau kultural. Bukan sebuah arus kekuatan structural.
Islam di Indonesia masuk secara gradual dengan melibatkan faktor budaya dan kultur lokal. Interaksi antara Islam dengan agama sebelumnya, seperti Hindu-Budha serta kebudayaan lokal memainkan peran penting. Pendekatan ini ditambah pula dengan pendekatan kearifan yang lembut, toleran dan terbuka terhadap keragaman.
Tentu saja, puncak kejayaan itu ketika Islam mulai menjadi pusat kekuasaan di nusantara. Tercatat banyak sekali kerajaan-kerajaan Islam di berbagai wilayah di Nusantara dari Aceh hingga Maluku. Demak misalnya menjadi salah satu kerajaan Islam yang sangat megah pada masanya yang menjadi pusat peradaban Islam Nusantara. Sampai saat ini, kerajaan Islam masih bertahan dalam struktur negara bangsa Indonesia. Islam tetapi menjadi mayoritas.
Andalusia tentu hal yang sama dalam penyebaran Islam dalam konteks sejarah. Islam pertama kali masuk ke Andalusia pada abad 8 M sekitar tahun 711 M melalui jalur Afrika. Spanyol yang kala itu dikenal Iberia/Asbania, Andalusi dikuasai bangsa Vandal, karena itulah masyarakat Arab menjebutkan Andalusia.
Islam masuk dengan melakukan penaklukan dan menjadikan Andalusia sebagai salah satu pusat pemerintahan Islam masa dinasti Umayyah. Islam tidak hanya menjadi pusat kekuatan, tetapi pusat pengetahuan. Tokoh-tokoh ilmuwan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusdy, Kwarizi dan sebagainya telah memberikan sumbangsih penting bagi pengetahuan dunia hingga saat ini.
Pemerintahan Islam berkuasa selama 275 Tahun dengan 16 Khalifah sebelumnya akhirnya mengalami penaklukan oleh Reconquista. Kekuasaan Islam di Andalusia menjadi semakin kecil dan terpecah dalam bentuk raja-raja kecil. Pengusiran terhadap umat Islam di Andalusia serta penolakan kembali dari masyarakat terhadap kekuasaan menjadi semakin menghilangkan jejak Islam di Andalusia. Buku-buku dan peninggalan pusat pengetahuan Islam dibakar.
Kedua Islamisasi itu menjadi salah satu pelajaran penting tentang bagaimana penerimaan Islam sebagai ajaran oleh masyarakat menjadi paling utama dibandingkan dengan persoalan penerimaan kekuasaan. Ketika Islam dikenalkan dengan kekuasaan, ia akan menjadi rapuh ketika kekuasaan itu lemah. Sebaliknya, Islam yang dikuatkan dengan kebudayaan masyarakat dan ditanamkan menjadi bagian masyarakat tidak akan punah walaupun kekuasaan itu sirna.
Keruntuhan Islam di Andalusia bukan karena persoalan ajaran Islam itu sendiri, tetapi pola pendekatan dan faktor politik ketidakmampuan umat Islam dalam merawat kebudayaan Islam dengan kebudayaan masyarakat setempat. Sebagai agama pendatang Islam tidak didudukan menjadi salah satu identitas kebangsaan setempat, tetapi sebagai identitas politik kekuasaan.
Sifat kekuasaan itu selalu terbatas, tetapi sifat kebudayaan itu langgeng di tengah masyarakat apabila selalu dirawat dengan baik. Pertemuan Islam dengan kekuasaan akan selalu mengalami pasang surut, tetapi pertemuan Islam dengan kebudayaan akan selalu lekang sebagaimana Islam dan budaya nusantara yang menjadi identitas kebangsaan.