Stuart Seldowitz, Islamofobia dan Usia Pernikahan Aisyah

Stuart Seldowitz, seorang mantan penasihat pada masa Pemerintahan Presiden Obama, menimbulkan kontroversi dengan melontarkan ujaran kebencian terhadap seorang penjual makanan Muslim yang memiliki food truck. Seldowitz menyebut Nabi Muhammad sebagai seorang pemerkosa (pedofilia) karena menikahi anak di bawah umur.

Pernyataan ini merujuk pada sebuah hadis yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad menikahi ‘Aisyah ketika berusia 6 tahun dan hidup bersamanya ketika usianya mencapai 9 tahun. Tentu ini juga bukan satu-satunya Riwayat dalam menjelaskan usia pernikahan Nabi dengan Aisyah. Menurut Abdurrahman bin Abi Zina, Aisyah saat pertama kali satu rumah dengan Nabi adalah berusia 17 tahun atau 18 tahun. Riwayat lain dari Abdurrahman bin Abu Abi Zannad dan Ibnu Hajar, umur Aisyah ketika menikah dengan Nabi adalah 19 tahun atau 20 tahun.

Terlepas dari perbedaan riwayat tersebut, memahami konteks sejarah pada masa itu, usia pernikahan dan hubungan suami-istri di usia muda bukanlah sesuatu yang dianggap aneh. Penting untuk dicatat bahwa istilah dan penelitian tentang pedofilia baru muncul di akhir abad ke-19, dan istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh psikiater Richard von Krafft-Ebing. Pedofilia kemudian dipublikasikan dalam buku “Diagnostic and Statistical Manual (DSM): Mental Disorders” pada sekitar tahun 1950 oleh American Psychiatric Association.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa istilah dan aturan pedofilia tidak ada pada zaman Rasulullah, dan kondisi fisik serta psikologi anak-anak pada abad pertengahan atau tahun 600 Masehi tidak terdokumentasi secara akurat. Jika aturan pedofilia belum ada pada masa itu, pernikahan di bawah umur tidak dianggap tabu di dunia pada saat itu. Oleh karena itu, menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan Rasulullah dengan menikahi Aisyah di usia 6 tahun tidak dapat dianggap salah pada konteks waktu tersebut, dan tentu saja tidak dapat dijadikan landasan atau patokan di zaman sekarang.

Penting untuk memahami bahwa pandangan dan norma sosial mengenai pernikahan di bawah umur berbeda-beda di berbagai budaya dan agama. Agar memahami kontroversi ini secara komprehensif, kita harus melibatkan perspektif dari berbagai sumber dan tidak hanya memusatkan perhatian pada satu interpretasi atau sudut pandang.

Meskipun pernyataan Stuart Seldowitz mencerminkan kurangnya penghargaan dan pemahaman terhadap konteks sejarah, kita harus tetap membuka ruang untuk berbicara dan berdiskusi secara terbuka mengenai sejarah dengan niat untuk belajar dan memahami. Dialog yang adil dan inklusif memungkinkan kita mencapai pemahaman yang lebih baik tentang perbedaan budaya dan agama serta menghormati keragaman pandangan.

Menyambung dengan konteks islamofobia, pernyataan Seldowitz mencerminkan salah satu bentuk diskriminasi terhadap Islam. Islamofobia, atau ketakutan dan kebencian terhadap Islam atau Muslim, sering kali melibatkan stereotip negatif dan pemahaman yang dangkal terhadap ajaran dan praktik Islam. Dalam hal ini, islamofobia dapat memicu penilaian yang tidak adil terhadap sejarah dan praktik keagamaan, seperti yang terjadi dalam pernyataan Seldowitz.

Penting untuk menghadapi islamofobia dengan pendidikan dan dialog yang konstruktif, memerangi stereotip yang tidak benar, dan mempromosikan pemahaman yang lebih mendalam tentang keberagaman budaya dan agama. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan menghormati hak-hak setiap individu untuk mempraktikkan keyakinan agama mereka tanpa takut menjadi sasaran prasangka atau diskriminasi.

ISLAMKAFFAH