Istri Melakukan Puasa Sunnah Syaban, Apakah Harus Izin Suami?

Pada sebuah hadis yang bersumber dari Shahih Muslim dijelaskan bahwa bulan Sya’ban, Rasulullah senantiasa menjalankan puasa sunnnah. Bahkan Aisyah, mengatakan Syaban bulan yang Nabi memperbanyak puasa di bandingkan bulan lain. Nabi bersabda:

وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ، أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلَّا قَلِيلًا

Artinya: “Aku tidak melihat Nabi Muhammad tidak berpuasa lebih banyak daripada puasa di Sya’ban, sungguh beliau berpuasa sebulan penuh, beliau berpuasa di bulan Sya’ban kecuali hanya beberapa hari (tidak berpuasa)” (HR. Muslim)

Pada hadis lain, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa Nabi memperbanyak puasa Sya’ban. Kesaksian tersebut memperkuat hadis di atas, bahwa Nabi men-dawami, puasa Syaban. Ini sekaligus menunjukkan, sunnah hukumnya melakukan puasa Syaban: 

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ . فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ

Artinya: “Nabi Saw biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Nabi Saw berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Shahih Bukhari)

Penjelasan dua hadis di atas menunjukkan bahwa puasa Syaban senantiasa dilakukan oleh Rasulullah. Kita, sebagai umatnya seyogianya mengikuti jejak Rasulullah tersebut. Namun, yang jadi persoalan bagaimana jika seorang istri ingin melaksanakan puasa Syaban, haruskah izin suami?

Penjelasan terkait persoalan tersebut telah dibahas secara mendalam dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah—ensiklopedi fiqih terbitan Kementrian Waqaf Kuwait. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa istri diperbolehkan puasa tanpa izin suami terlebih dahulu. Akan tetapi dalam kitab tersebut dijelaskan, jika puasa tersebut berulang-ulang, maka sebaiknya meminta izin terlebih dahulu. Berbeda halnya dengan yang tidak berulang-ulang (arafah, asyura), maka tidak butuh izin suami. 

 ولو صامت المرأة بغير إذن زوجها صح مع الحرمة عند جمهور الفقهاء ، والكراهة التحريمية عند الحنفية ، إلا أن الشافعية خصوا الحرمة بما يتكرر صومه ، أما ما لا يتكرر صومه كعرفة وعاشوراء وستة من شوال فلها صومها بغير إذنه ، إلا إن منعها

Artinya: Jika istri mengerjakan puasa tanpa izin suaminya, maka puasanya tetap sah, akan tetapi puasa itu dibarengi dengan Tindakan haram. Itulah pendapat kebanyakan ulama fiqih. Ulama Hanafiyah menganggapnya makruh tahrim. Hanya saja ulama dari mazhab Syafi’iyah mengkhususkan keharaman tersebut berlaku jika puasa tersebut dilakukan berulang kali. Adapun jika puasa tersebut tidak terjadi berulang-ulang, seperti puasa Arafah, puasa Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka dia boleh melakukannya tanpa izin suaminya, kecuali jika memang suaminya melarangnya.

Pada sisi lain, bila suaminya berada di luar kota, apakah harus izin terlebih dahulu? Dalam kitab I’anah Thalibin, dijelaskan seorang istri yang suaminya berada di luar kota, maka boleh berpuasa tanpa izin terlebih dahulu.

وخرج بكونه حاضرا في البلد ما إذا كان غائبا عنها فلا يحرم عليها ذلك بلا خلاف

Artinya: dikeluarkan dari keadaanya berada kampung (daerah tersebut), yaitu Ketika suami berada di luar kota, maka tindakan melakukan puasa tersebut tidak haram, pendapat ini tidak ada perselisihan di antara ulama. 

Kesimpulannya, seorang istri boleh melaksanakan puasa sunnah Syaban tanpa izin suami jika posisi mereka sedang tidak tinggal bersama. Apabila sang suami sedang tinggal bersama, maka izin dari suami diperlukan meskipun jika ia melakukan tanpa izin puasanya tetap sah tapi disertai makruh bahkan haram menurut sebagian ulama. 

BINCANG MUSLIMAH