Hiruk Pikuk Urusan Pilpres, Jangan Lupakan 5 Adab Bernegara

Prinsipnya, di mana saja berada, setiap muslim diwajibkan menjadi manusia yang baik, maka, sepatutnya, memiliih presiden yang memiliki worldview (pandangan hidup) yang benar

Oleh: Dr. Adian Husaini

SETELAH dilakukan tiga kali debat capres-cawapres, suasana pertarungan antar calon di media sosial semakin terasa memanas. Perdebatan di berbagai group WA terjadi juga di kalangan tokoh, kiai, juga ustadz.

Sampai-sampai ada yang menyarankan agar ustadz tidak perlu terlibat dalam dukung-mendukung capres-cawapres. Tapi, pendapat ini pun disanggah.

Kita percaya, para elite bangsa yang sedang terlibat dalam kontestasi pilpres kali ini, tetap memiliki niat baik untuk menjaga kerukunan dan keutuhan masyarakat dan bangsa Indonesia. Dikotomi “cebong” dan “kampret” disepakati tidak muncul lagi dalam perhelatan besar tahun 2024 ini. Alhamdulillah, harapan itu cukup terkabul.

Sejumlah ulama dan lembaga Islam sudah mengumumkan pilihan mereka. Tetapi, ormas-ormas Islam besar, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, al-Washliyah, Hidayatullah, PUI, DDII, dan sebagainya — secara resmi kelembagaan — memilih untuk tidak memberikan dukungan terhadap capres tertentu.

Mereka menyerahkan kepada masing-masing anggotanya untuk menentukan pilihan, meskipun ada panduan-panduan yang bisa ditafsirkan mengarah kepada capres tertentu.

Dalam situasi seperti ini, kita berharap para tokoh umat Islam tetap memberikan keteladanan dalam adab bernegara. Prinsipnya, adalah bagaimana memahami dan menyikapi segala sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang telah ditentukan oleh Allah SWT.

Pertama, memilih calon pemimpin terbaik, sesuai panduan Islam. Yakni, pemimpin yang paling mendekati sifat-sifat kenabian: jujur (siddiq), terpercaya (amanah), cerdas (fathanah), dan pejuang (tabligh).

Mungkin pengenalan masing-masing orang berbeda-beda terhadap sang capres/cawapres, tergantung informasi yang diterimanya. Yang penting, bukan memilih karena kepentingan pribadi atau kelompok, tetapi memilih karena sang calon adalah yang terbaik. Lebih baik lagi, sebelum menjatuhkan pilihan, meminta petunjuk kepada Allah dengan ikhlas dan sungguh-sungguh.

Kedua, menempatkan presiden/wakil presiden pada porsinya secara adil dan beradab; tidak berharap terlalu berlebihan kepada presiden mendatang dan juga tidak mengecilkan peran strategis presiden dalam melakukan perbaikan masyarakat, bangsa, dan negara.

Indonesia adalah negara demokrasi yang telah membagi-bagi kekuasaan pada banyak pihak; berbeda dengan sistem kerajaan, kekaisaran, keemiratan, atau kekhalifahan.

Ketiga, menjaga peran ulama dan para cendekiawan sebagai kekuatan pengawal, pengarah, dan pengontrol jalannya kekuasaan agar sesuai dengan amanah konstitusi.

Jangan sampai para ulama, semuanya, terkooptasi oleh penguasa, sehingga fungsi amar ma’ruh nahi munkar tidak berjalan dengan baik. Dalam hal ini, ormas-ormas Islam bisa memainkan perannya, sebagai lembaga perumus konsep-konsep ideal dan penyedia kader-kader negarawan yang unggul.

Keempat, menempatkan Allah SWT (Tuhan Yang Maha Esa) sebagai Satu-satunya Yang berhak mendapatkan loyalitas tertinggi. Jangan menempatkan presiden melebihi Tuhan, sehingga semua kata-kata dan kebijakannya disamakan posisinya seperti wahyu Tuhan. 

Secara konstitusional, Pembukaan UUD 1945 sudah memberikan panduan bernegara: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur…”

Juga ditegaskan: “…maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa…”.

Kelima, tugas terpenting presiden adalah menjaga dan menguatkan iman, taqwa, dan akhlak masyarakat, agar mereka selamat-sejahtera dunia-akhirat. Presiden berkewajiban memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, seperti: ibadah, sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.

Jadi, jangan mengecilkan kedudukan aspek keimanan, ibadah dan akhlak mulia. Ibadah adalah kebutuhan jiwa manusia yang paling mendasar, sebab untuk itulah manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa.

***

Kita maklum, lima adab bernegara itu tidaklah mudah untuk dipahami dan diamalkan. Apalagi, dalam iklim kehidupan yang serba sekular dan materialistik.

Tapi, besarnya tantangan itulah yang menentukan kualitas seorang Presiden dan juga rakyat Indonesia dalam pandangan Allah SWT. Bagaimana pun, presiden adalah hamba Allah dan akan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh kepemimpinannya. Rakyat pun akan dimintai pertanggungjawaban atas kewajibannya mentaati pemimpin dan memberikan nasehat-nasehat yang baik.

Yang penting, ada nilai-nilai ideal yang harus terus diperjuangkan. Dengan prinsip ini, kita insyaAllah bisa menjadi manusia yang baik,  meskipun tidak seluruh aturan dan lingkungan kehidupan sesuai dengan ajaran-ajaran Allah.

Sebab, pada prinsipnya, di mana saja berada, setiap muslim diwajibkan menjadi manusia yang baik. Maka, sepatutnya, sang presiden memiliki worldview (pandangan hidup) yang benar.

Misalnya, meskipun peraturan perundang-undangan negara belum secara resmi melarang dan menjadikan seluruh bentuk perzinahan sebagai satu tindakan kriminal, pandangan dan keyakinan sang presiden dan kita semua sebagai muslim, tidak boleh berubah, bahwa zina adalah perbuatan haram.

Bagi umat Islam, dalam sistem negara Indonesia seperti sekarang, siapa pun Presidennya 2024 nanti, kita tetap berpeluang dan wajib berjuang menjadi manusia yang baik (manusia yang taqwa).

Sebab, siapa pun presidennya, yang diminta pertanggungjawaban adalah amal perbuatan kita. Kepada para pemimpin, tanggung jawab kita adalah menyampaikan nasehat dengan cara-cara yang bijak.

Semoga Allah kita semua terlindung dari sikap angkuh dan membangkang terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Semoga kita TIDAK mengikuti jejak Iblis. AMIN.*/Depok, 5 Januari 2024

Penulis Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII)

HIDAYATULLAH