Sikap putus asa sering terjadi pada diri seseorang ketika yang diinginkan tidak tercapai. Sikap ini menunjukkan orang tersebut tidak memiliki kesabaran dan tidak yakin terhadap rahmat Allah swt. Allah swt tidak mengabulkan yang diinginkan bukan berarti Allah swt benci, tetapi yang diminta kurang tepat diberikan saat itu, atau Allah swt menggantinya kepada yang lebih baik. Sebab Allah swt lebih mengetahui terhadap apa yang dibutuhkan makhluk_Nya daripada yang diinginkan makhluk_Nya. Allah swt berfirman:
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al Baqarah: 216)
Dalam aspek Fiqh, ulama’ sepakat sikap putus asa termasuk dosa besar. Ada banyak dalil terkait larangan putus asa. Seperti ayat al Qur’an:
وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
Artinya: “jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (QS. Yusuf: 87)
Ayat ini memberikan dua pemahaman, Pertama, larangan berputus asa. Kedua, tindakan putus asa merupakan tindakan orang-orang kafir, orang-orang yang mengingkari akan qudrah Allah swt.
Dan banyak ayat lainnya yang menunjukkan secara tegas larangan berputus asa.
Di dalam hadits juga banyak ditemukan riwayat-riwayat yang secara tegas melarang berputus asa. Seperti riwayat dari Ibn Abbas ra:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مُتَّكِئًا, فَدَخَلَ عَلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ: مَا الْكَبَائِرُ؟ فَقَالَ: ” الشِّرْكُ بِاللهِ , وَالْإِيَاسُ مِنْ رَوْحِ اللهِ , وَالْقُنُوطُ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ
Artinya: “Suatu ketika Rasulullah saw menangis, lalu seorang laki-laki masuk kepadanya, dan ia bertanya: Apa saja dosa-dosa besar itu ?, Rasulullah saw menjawab: Syirik kepada Allah, putus asa terhadap anugerah Allah swt dan putus asa terhadap rahmat Allah swt” (HR. Shuhaib bin Abdul Jabbar dalam al Jami’us Shahih)
Sebab itu, para ulama’ mengatakan, sesungguhnya putus asa itu termasuk dosa besar. Di dalam kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah ditegaskan:
اَلْيَأْسُ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ وَالْقُنُوْطُ مِنْ فَرْجِهِ تَعَالَى مَنْهِيٌّ عَنْهُ وَمِنْ كَبَائِرِ الذُّنُوْبِ
Artinya: “Putus asa terhadap rahmat Allah dan kelapangan Allah ta’ala hukumnya dilarang dan termasuk dosa besar” (Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah, Juz 45, Hal 252)
Mengapa putus asa termasuk dosa besar ?
Menurut Ibn Hajar al Haitami, ada dua alasan mengapa putus asa termasuk dosa besar. Pertama, karena mengingkari terhadap nash sharih yang melarang putus asa. Dan banyak al Qur’an baik secara terang-terangan atau samar tentang larangan hal tersebut. Kedua, meyakini rahmat Allah swt tidak akan datang bagi orang tersebut. Karena dua alasan ini lah berputus asa termasuk dosa besar.