Serial Fikih Muamalah (Bag. 2): Keistimewaan Khusus Fikih Muamalah dalam Islam

Baca pembahasan sebelumnya Serial Fikih Muamalah (Bag. 1): Mengenal Perspektif Islam terhadap Fikih Muamalah

Pertama: Hukum asal transaksi adalah boleh, baik itu akadnya maupun syarat-syaratnya

Dalam masalah ibadah, hukum asalnya adalah terlarang dan haram sampai terdapat dalil dari Allah Ta’ala yang membolehkannya. Hal ini bertujuan agar jangan sampai ada seseorang yang membuat sebuah perkara baru (bid’ah) dalam perkara agama, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengatakan,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Berbeda halnya dalam masalah muamalah (transaksi), hukum asalnya adalah boleh dan tidak ada yang terlarang, kecuali jika memang ada larangannya dari dalil yang sahih dan jelas. Jika tidak ada dalil pelarangannya, maka boleh untuk dilakukan dan dipraktikkan. Allah Ta’ala berfirman,

اللَّهُ الَّذِي سَخَّرَ لَكُمُ الْبَحْرَ لِتَجْرِيَ الْفُلْكُ فِيهِ بِأَمْرِهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ * وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Allahlah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya dan supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Al-Jasiyah: 12-13)

Di ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ أَرَءَيْتُم مَّآ أَنزَلَ ٱللَّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَامًا وَحَلَٰلًا قُلْ ءَآللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى ٱللَّهِ تَفْتَرُونَ

“Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.’ Katakanlah, ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?’” (QS. Yunus: 59)

Ayat ini turun berkenaan dengan kaum musyrikin yang telah mengharamkan apa-apa yang Allah Ta’ala halalkan dari berbagai jenis makanan dan berbagai bentuk transaksi hanya karena hal-hal tersebut bertabrakan dengan adat serta kebiasaan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

“Berdamai dengan sesama muslimin itu diperbolehkan, kecuali perdamaian yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu yang halal. Dan kaum muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati, kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram.” (HR. Tirmidzi no. 1352 dan Ibnu Majah no. 2353)

Hadis ini merupakan pondasi dalam perkara syarat-syarat, yang menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah diperbolehkan dan tidak ada yang dilarang, kecuali jika di dalamnya terdapat suatu hal yang menyelisihi syariat.

Dari sini dapat dipahami bahwa ucapan ‘Mana dalil yang membolehkan bentuk transaksi ini?’; atau ucapan ‘Mana dalil yang menunjukkan bolehnya persyaratan ini?’ merupakan sebuah ucapan yang tidak diperbolehkan. Justru yang seharusnya ditanyakan adalah ‘Mana dalil yang melarang transaksi ini?’ Keistimewaan ini membuka pintu terhadap banyaknya bentuk transaksi baru di zaman sekarang yang belum pernah disebutkan, baik di Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

Barulah kemudian tugas seorang fakih meneliti bentuk transaksi yang baru tersebut, meminta pendapat kepada ahli ekonomi yang mumpuni, agar ia bisa mendeskripsikan dengan tepat bentuk transaksi yang sedang ia teliti tersebut. Karena menghukumi sesuatu itu bisa tercapai setelah adanya proses identifikasi dan deskripsi yang tepat dan benar.

Kedua: Transaksi (muamalah) dibangun atas dasar sebuah alasan dan kemaslahatan

Jika dalam perkara ibadah seringkali tidak dapat dinalar oleh akal dan tidak memiliki sebab (alasan) khusus, namun seorang muslim wajib untuk menaatinya (seperti jumlah rakaat salat, syariat mencium hajar aswad dan lain sebagainya). Berbeda halnya dalam perkara muamalah (transaksi), sebagian besarnya dapat dinalar dan tentunya memiliki sebab dan alasan yang mendasari bolehnya transaksi tersebut. Asy-Syatibi Rahimahullah mengatakan,

الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى المكلَّف التَّعَبُّدُ دُونَ الِالْتِفَاتِ إِلَى الْمَعَانِي، وَأَصْلُ الْعَادَاتِ الِالْتِفَاتُ إِلَى الْمَعَانِي

“Konsep dasar dalam fikih ibadah jika dinisbatkan kepada seorang mukallaf (yang dibebani kewajiban syariat) adalah penghambaan mutlak bukan menoleh kepada substansi, sementara dalam fikih muamalah prinsipnya adalah melihat isi dan substansi.” (Al-Muwafaqat, karya As-Syaatibi, 2: 300)

Di antara dalil yang menunjukkan perhatian muamalah terhadap sebuah sebab dan kemaslahatan adalah firman Allah Ta’ala,

إِنَّمَا يُرِيدُ ٱلشَّيْطَٰنُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ ٱلْعَدَٰوَةَ وَٱلْبَغْضَآءَ فِى ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ

“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu.” (QS. Al-Maidah: 91)

Oleh karenanya, Islam melarang segala macam transaksi yang mengandung perjudian, sebab hal tersebut akan menimbulkan permusuhan dan kebencian.

Konsekuensi ketergantungan hukum-hukum muamalah dengan kemaslahatan yang ingin dicapai mengharuskan perubahan hukum jika kemaslahatannya berubah, atau ketika muamalah (transaksi) tersebut sudah tidak sejalan dengan visi syariat. Al-‘Izz bin Abdi As-Salam dalam kitabnya Qawaid Al-Ahkam fii Mashaalih Al-Anaam menetapkan sebuah kaidah,

كُلُّ تَصَرُّفٍ تَقَاعَدَ عَنْ تَحْصِيلِ مَقْصُوده فَهُوَ بَاطِلٌ

“Setiap transaksi yang tidak bisa mencapai tujuannya, maka dianggap batal dan tidak sah.”

Di antara contohnya, dahulu kala para sahabat meminta kepada nabi untuk menentukan harga barang dagangan mereka ketika terjadi lonjakan harga, namun Nabi menolak permintaan mereka dan bersabda,

إنَّ اللَّهَ هوَ المسعِّرُ القابضُ الباسطُ الرَّازقُ ، وإنِّي لأرجو أن ألقَى اللَّهَ وليسَ أحدٌ منكُم يطالبُني بمَظلمةٍ في دمٍ ولا مالٍ

“Sesungguhnya Allahlah yang (berhak) menetapkan harga dan menahannya, melapangkan dan memberi rezeki. Sungguh aku berharap bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun di antara kalian menuntutku karena sebuah kezaliman (yang aku lakukan) dalam perkara nyawa dan harta kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3451 dan Tirmidzi no. 1314)

Namun, di zaman tabi’in kita dapati sebagian dari ahli fikih ada yang berpendapat akan bolehnya ‘penentuan harga dari pemerintah’ setelah melihat kemaslahatan dan tujuan yang baik dari perbuatan tersebut.

Ketiga: Mayoritas hukum muamalah dibangun atas dasar suatu kebiasaan dan adat

Di antara contohnya:

Pertama: Penulisan harga sebuah barang atau biaya sebuah barang sewaan merupakan pengganti ucapan (akad) yang seharusnya keluar dari penjual dan pembeli. Jika memang kebiasaan di sebuah daerah seperti itu, maka kedua belah pihak sah transaksinya tanpa mengucapkan, ‘Aku menjual’ dan ‘Aku membeli’.

Kedua: Banyaknya jenis transaksi yang diperbolehkan karena melihat adanya kebiasaan dan sebuah adat. Seperti jual beli dengan pembayaran di depan (payment in advance) dan juga jual beli dengan sistem pemesanan pembuatan barang khusus sesuai kriteria pemesan (istishnaa’).

Ketiga: Kriteria cacat pada suatu barang dagangan yang menjadikan batalnya sebuah akad jual beli takarannya menyesuaikan adat yang ada.

Keempat: Muamalah (transaksi) dalam Islam menggabungkan antara prinsip ibadah dan prinsip pelaksanaan hukum

Semua jenis transaksi yang kita lakukan (jika sesuai dengan aturan syariat), maka itu bernilai ibadah kepada Allah Ta’ala. Mengapa? Karena berpegang teguh terhadap prinsip-prinsip pemanfaatan harta termasuk salah satu tuntutan keimanan dan ketauhidan kita kepada Allah, di mana kita hanya menjadikan ajaran Allah dan Rasul-Nya sebagai patokan dan landasan hukum atas semua hal yang dilakukan.

Sebaliknya, tidak berhukum dengan hukum yang telah Allah Ta’ala turunkan atau bahkan bertentangan dengannya, maka jelas ini merupakan pintu kerusakan, kezaliman, dan kefasikan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Ma’idah: 45)

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Al-Ma’idah: 47)

Adapun maksud dari ‘prinsip pelaksanaan hukum’ adalah ketika seorang muslim dihadapkan pada situasi di mana ia harus menolak dan tidak menyetujui sebuah akad karena mengandung kebatilan, maka ia tidak perlu menunggu keputusan otoritas pengadilan untuk membatalkan transaksi tersebut. Yang harus ia lakukan adalah bergegas membatalkan akad karena kesadaran dirinya. Sikap dan prinsip ‘pelaksanaan hukum’ inilah yang mencerminkan perasaan selalu diawasi oleh Allah Ta’ala (muraqabah).

Kelima: Muamalah Islam lebih mengedepankan kepentingan orang banyak

Layaknya bahasan-bahasan fikih Islam yang lain, muamalah bertujuan demi kemaslahatan individu dan komunitas orang banyak secara bersamaan, imbang antara keduanya tanpa saling bertabrakan antara satu kemaslahatan dengan yang lainnya. Muamalah tidak hanya bertujuan untuk membangun masyarakat (kelompok) yang baik. Lebih dari itu, muamalah memiliki tujuan untuk membahagiakan seorang individu maupun kelompok, baik di dunia maupun di akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

مَّن كَانَ يُرِيدُ ثَوَابَ الدُّنْيَا فَعِندَ اللَّهِ ثَوَابُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ

“Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat.” (QS. An-Nisa: 134)

Berbeda halnya dengan hukum dan undang-undang ekonomi masa kini, entah lebih mementingkan kemaslahatan orang banyak dan menjatuhkan hak-hak individu serta mengesampingkannya, ataupun sebaliknya. Ada undang-undang yang memberikan kebebasan penuh bagi individu, demi meraih manfaat yang tinggi bagi dirinya sendiri tanpa mempertimbangkan kemanfaatannya untuk orang banyak.

Di dalam syariat Islam, saat tidak memungkinkan untuk menggabungkan antara kepentingan individu dan kepentingan orang banyak, maka yang lebih didahulukan adalah kepentingan orang banyak. Para ulama telah menyusun beberapa kaidah terkait hal tersebut, di antaranya,

يتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام

“Bahaya yang bersifat khusus dan individual ditanggung (diambil dan dihadapi) untuk menolak bahaya yang bersifat umum dan meluas.” (Al-Asybah wa An-Nadhaa’ir karya Ibnu Nujaim, hal. 87)

تصرف الإنسان في خالص حقه إنما يصح إذا لم يتضرر به غيره

“Pemanfaatan seseorang atas hak individunya dipandang sah manakala tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain.” (Al-Qawaid Al-Kulliyah karya Muhammad Syubair, hal. 181)

إذا تعارضت مفسدتان روعي أعظمها ضررا بارتكاب أخفهما

Jika dihadapkan pada dua mafsadat, maka mafsadat yang lebih besar harus dihindari dengan cara mengambil  mafsadat yang lebih ringan. (Al-Asybah wa An-Nadhaa’ir karya Imam As-Suyuti, hal. 87)

Wallahu A’lam Bisshowaab.

[Bersambung]

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel: www.muslim.or.id

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/75752-serial-fikih-muamalah-bag-2.html