Kenikmatan dan rasa cinta terhadap harta hakekatnya adalah ilusi. Allah SWT berfirman, “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS Ali Imran ayat 14)
Dalam Surah lain, Allah SWT mengingatkan kecintaan seseorang terhadap harta. Allah SWT berfirman, “Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan. Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut, dan datanglah Tuhanmu; dan malaikat berbaris-baris, dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahanam; pada hari itu sadarlah manusia, tetapi tidak berguna lagi baginya kesadaran itu.” (QS Al Fajr ayat 20-23)
Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan ihwal kekayaan yang sejati. Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Kekayaan itu bukan soal keberlimpahan harta benda dunia, melainkan kekayaan yang sejati adalah kekayaan jiwa.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dari hadits tersebut, diketahui bahwa kekayaan sejati bukanlah kekayaan yang membawa seseorang pada kesombongan dan membuatnya merendahkan orang lain. Sebab hal ini jauh dari prinsip-prinsip syariat.
Kekayaan sejati yang sesuai tuntunan syariat bukanlah keberlimpahan harta duniawi tetapi kekayaan jiwa. Bukan dengan berlimpahnya harta atau uang. Seseorang yang miskin jiwa adalah orang selalu ingin memperbanyak harta karena ketamakannya, padahal semuanya telah dia miliki. Dengan sikap seperti ini, maka dia ibarat orang yang miskin.
Banyak dari mereka yang telah diberikan harta yang berlimpah, tetapi tidak mengambil manfaat darinya. Akibatnya, ia terus-menerus sibuk memperbanyak harta, tidak peduli dari mana asalnya. Dia cemas pada hidupnya, sehingga menjadi kikir dan hanya mementingkan diri sendiri tanpa peduli orang lain. Orang seperti ini sama saja menjalani kemiskinan dengan rasa takut dan cemas.
Adapun orang dengan kekayaan jiwa, dia ridha atas ketetapan Allah SWT. Sebab ia menyadari kekayaan itu bukan karena banyaknya harta. Dia lebih percaya pada apa yang dimiliki Allah SWT daripada apa yang ada di tangannya. Ia menggunakan harta sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT.