Kenapa Nabi Tidak Pernah Memukul Istri?

Meningkatnya kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga; KDRT (العُنْفُ الأُسَرِيُّ) mengingatkan perlunya intropeksi bagi setiap muslim. KDRT tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di dunia Arab dengan tekanan krisis global yang berdampak pada ekonomi setiap negara. Lembaga Riset Nasional Mesir menyimpulkan bahwa KDRT merupakan bentuk praktek kekerasan terbanyak di Mesir pada tahun 2022 dan perempuan sebagai pihak paling lemah dan terdampak. Di antara sebabnya adalah ketiadaan Undang-Undang/UU yang mengkriminalisasi prakter tersebut, jika pun ada tidak efektif. Lembaga Fatwa Mesir menyebut kekerasan fisik kepada istri bukan sikap kesatria, melainkan kriminal yang harus ditindak secara hukum.

Seorang Aktifis HAM Irak Busyro al-Ubaidi melalui sumber berita www.alaraby.com menyebut perempuan di Arab tidak hanya sering menerima kekerasan fisik, seksual dan psikologis, melainkan juga kekerasan politik dengan melokalisir peran politik mereka. Menurutnya, budaya patriarki membuat hak pilih perempuan terhalang untuk disuarakan. Dilihat dari kacamata Sudan, pernyataan Busyro tidak sepenuhnya benar mengingat partisipasi politik perempuan di Sudan sebagai bagian dari Arab  cukup besar. Meskipun dalam hal ini kekerasan fisik terhadap istri kadang terjadi secara tertutup dan tidak diberitakan di media sosial sebagaimana berita seorang perempuan yang dipukul oleh saudaranya hingga tulang hidungnya pecah dan meninggal dunia. Anehnya, tidak ada vonis sebagai tindakan kriminal.

Memperlakukan istri dengan baik, penuh cinta dan kasih sayang merupakan ajaran mulia sebagaimana termaktub dalam Surah al-Rum ayat 21. Nabi Muhammad Saw telah memberikan teladan bagaimana menyayangi istri dan secara lisan menyatakan: “sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istrinya dan saya adalah terbaik diantara kalian semua dalam bermuamalah dengan istri”, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam Sunannya.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Muhammad disebut tidak pernah memukul istri dan pembantu,  apalagi melakukan KDRT yang membekas pada fisik dan kejiwaan sang istri. Nabi sangat ramah, penyabar dan tidak pernah memukul siapapun kecuali dalam kondisi perang. Masalah sebisa mungkin diselesaikan dengan cara indah sebagaimana Allah itu indah dan mencintai keindahan. Menyelesaikan masalah rumah tangga dengan kekerasan merupakan cara orang-orang lemah dan tidak memiliki i’tikad baik.

Adapun kebolehan memukul istri sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, Surah an-Nisa’ ayat 24 adalah dalam batasan ketika istri terus menerus meninggalkan kewajibannya. Itu pun harus dengan pelan, pukulan tidak sampai membekas, apalagi melukai. Artinya, kebolehan memukul istri dalam Islam sifatnya tidak mutlak. Semestinya salah satu mengalah dan menahan diri sebelum melampiaskan kemarahan yang berujung pada penyesalan.

Hukuman fisik kepada Istri atau yang disebut KDRT menurut syariat adalah haram. KDRT dalam bentuk apapun tidak ada kaitannya dengan Islam. Sumber-sumber hukum Islam telah mendorong pentingnya menumbuhkan cinta dan kasih sayang berumah tangga. Jika kekerasaan seorang suami kepada istrinya sebanya sangat banyak dan bermacam-macam, maka Islam selalu menghadirkan solusi terbaik agar masalah “dapur” keluarga tidak sampai berujung kekerasan fisik maupun psikologis, apalagi sampai keluar batas rumah dan viral di media sosial. Disini pentingnya suplemen hati yang bisa berupa nasehat, dzikir atau menghadiri majelis ilmu. Prinsipnya, membina keluarga jangan sampai putus dari majelis ilmu.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi Muhammad Saw pernah menerima laporan dan pengaduan dari Hindun yang sedih karena suaminya Abu Sufyan sangat pelit, tidak mencukupi kebutuhan dirinya berserta anaknya. Kemudian   Hindun lapor kepada Nabi telah mengambil uang suami tanpa sepengetahuannya. Ternyata Nabi membenarkan hal itu dan berkata: “ambil saja sekedar mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara yang baik”. Dalam hal ini, ukuran nafkah bisa ditentukan melalui tanda kerelaan suami istri, keputusan pengadilan atau melalui adat nafkah setempat. Nafkah juga bisa bertambah dan bisa berkurang sesuai situasi dan kondisi.

Jika KDRT dipicu oleh perselingkuhan, maka yang perlu disadari,  kesuksesan rumah tangga bukan ditentukan oleh persoalan hasrat (syahwat) semata, melainkan juga hal-hal lain yang bersifat ruhani atau intuitif. Jamak diketahui bahwa sejak zaman Nabi Adam manusia merupakan makhluk yang memiliki dua unsur sekaligus; fisik dan ruh. Sebagai makhluk biologis, manusia berasal dari tanah yang tidak memiliki taklif atau beban hukum sebagai hamba tanpa adanya ruh didalamnya. Keberadaan ruh ini yang kemudian membuat para Malaikat sujud kepada Adam.

Pentingnya dimensi ruhaniyah menjadikan satu suap nasi yang diberikan kepada istri bernilai pahala. Intusi tidak bisa dilepaskan dari materi sebagaimana Allah menjadikan “mawaddah wa rahmah” dalam kehidupan agamis suami istri. Sebuah hadis menyebutkan bahwa Allah melaknat para penikmat laki-laki maupun perempuan sebagaimana  orang yang suka menikah hanya untuk melampiaskan nafsu birahi. Padahal tujuan menikah secara umum adalah menjaga lima kebutuhan darurat; agama, keturunan, nyawa, akal dan harta.

Keluarga merupakan tempat satu-satunya meraih ketenangan hati dengan cara-cara manusiawi. Istilah lainnya, “rumahku adalah surgaku”. Jika suami atau istri nampak tidak tenang di rumah  sendiri pertanda ada masalah yang harus dicarikan solusinya. Kedisiplinan sosial harus ditanamkan di lingkup rumah tangga melalui cinta dan ketegasan. Sebab rumah tangga bahagia adalah rumah tangga yang bersyukur, terus mencari ilmu, memiliki target terukur dan seni bertutur serta membahagiakan orang lain dan tidak berat hati mensyiarkan agama Allah.

Rumah tangga yang tidak putus mencari ilmu adalah rumah tangga beruntung. Dengan modal “niat mencari ilmu sampai mati”, Allah memudahkan dirinya meraih husnul khatimah. Meningkatkan kualitas agama pun harus dengan ilmu sebagaimana sebelum nikah, laki-laki dianjurkan mencari istri yang agamis. Jika memilih istri karena kekayaan, kecantikan atau nasab tanpa pertimbangan agamanya, ibarat menggenggam pasir yang tidak ada nilainya. Faktor agama merupakan yang terpenting sebelum membina rumah tangga yang menjadi tiang penyangga   baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur

ISKAM KAFFAH