Dalam pandangan Islam, Allah SWT menilai hamba-hamba-Nya berdasarkan kualitas iman dan ketakwaan mereka, bukan dari garis keturunan. Prinsip ini menegaskan bahwa nasab seseorang tidak akan menyelamatkannya pada hari kiamat. Kisah inspiratif dari kehidupan Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, yang dikenal sebagai Zainul Abidin, cicit Rasulullah SAW, adalah contoh nyata dari prinsip ini.
Kualitas Iman dan Ketakwaan di Atas Nasab
Zainul Abidin, yang juga dikenal sebagai “hiasan para ahli ibadah,” merendahkan diri di hadapan Allah SWT meskipun memiliki garis keturunan mulia. Dia merasa bahwa perasaan kurang dalam beribadah, terutama dalam shalat, bisa menjadi penghalang keselamatannya di akhirat. Kekhawatirannya adalah menjadi bagian dari orang-orang yang lalai dalam shalat, sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Ma’un ayat 4:
“Maka, kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat.“
Penghayatan mendalam Zainul Abidin ini menunjukkan bahwa bahkan orang dengan nasab mulia pun tidak kebal dari introspeksi dan perbaikan diri. Ia sadar bahwa nasab tidak menjamin keselamatan, seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Kahfi ayat 99:
“Kemudian ditiup lagi sangkakala, maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka hari itu.“
Fenomena Golongan Ba’alawi di Indonesia
Fenomena golongan Ba’alawi di Indonesia, yang mengaku sebagai keturunan Rasulullah SAW, sering kali dikaitkan dengan nasab mereka sebagai tanda kehormatan dan kemuliaan. Namun, sebagaimana yang diajarkan oleh Zainul Abidin, memiliki nasab dari Rasulullah SAW bukanlah jaminan untuk mendapatkan surga. Yang lebih penting adalah kualitas iman dan ketakwaan yang dimiliki.
Dalam masyarakat Indonesia, golongan Ba’alawi sering dihormati karena dianggap sebagai ahli waris keilmuan dan spiritualitas dari Rasulullah SAW. Namun, penting untuk diingat bahwa setiap individu, terlepas dari nasabnya, harus berusaha untuk menjaga iman dan amal shalihnya. QS. Al-Anbiya ayat 28 menegaskan:
“Mereka tiada memberi syafaat, melainkan kepada orang yang diridhai Allah.“
Hal ini menunjukkan bahwa syafaat hanya diberikan kepada mereka yang diridhai Allah, bukan semata-mata berdasarkan garis keturunan.
Pelajaran Penting dari Kehidupan Zainul Abidin
Zainul Abidin menekankan bahwa rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik, seperti yang tercantum dalam QS. Al-A’raf ayat 56:
“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.“
Kisah Zainul Abidin memberikan pelajaran penting bahwa meskipun seseorang memiliki garis keturunan yang mulia, amalan saleh dan ketakwaan tetap menjadi kunci utama untuk mendapatkan ridha Allah dan syafaat Rasulullah SAW. Fenomena golongan Ba’alawi di Indonesia mengingatkan kita bahwa kehormatan nasab harus diiringi dengan tanggung jawab moral untuk menjaga kemurnian iman dan berkontribusi positif kepada masyarakat.
Kesimpulan
Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, atau Zainul Abidin, adalah teladan bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan dengan penuh ketakwaan dan kerendahan hati. Kisahnya dan fenomena golongan Ba’alawi di Indonesia menegaskan bahwa nasab tidak bisa menjamin surga. Hanya iman dan amal saleh yang dapat mengantarkan kita ke jalan yang benar. Semoga kita semua bisa meneladani sikap tawadhu Zainul Abidin dan golongan Ba’alawi yang berfokus pada peningkatan kualitas iman dan ibadah. Aamiin.