Oleh: Sahrim
Sikap yang sepatutnya ditampilkan ketika berhadapan dengan ahli ilmu, terlebih lagi bila ahli ilmu agama adalah harus hormat (takzim), memuliakannya (ikram), dan bila perlu melayani keperluannya (khidmah). Demikianlah akhlak seorang Muslim terhadap ulama, apalagi jika ia sedang atau pernah berguru langsung padanya.
Memuliakan ahli ilmu, mengagungkannya, bahkan melayaninya merupakan sikaf para salaf. Mereka melakukan hal itu karena mengharap keberkahan ilmu sang ulama turut pula mengalir kepadanya. Seorang ulama pernah bertutur, “Jika engkau menjumpai seorang murid sangat antusias memuliakan gurunya dan menghormatinya secara zahir dan batin disertai keyakinan kepada sang guru, mengamalkan ajarannya, dan bersikap dengan perilakunya, maka pasti dia akan mewarisi barakah ilmu sang guru.”
Pada masa lampau, mereka yang memuliakan guru atau ulama bukan saja para pelajar. Namun, para pemuka bahkan khalifah dan raja-raja melakukan hal serupa. Mereka itu pun mewariskan sikap demikian kepada anak keturunannya. Iman, ilmu, dan adab memang tidak bisa diwariskan begitu saja dari orang tua ke anak, tapi harus disertai keteladanan dari orang tua sendiri.
Syaikh Az-Zarnuji dalam Ta’lim Al-Mut’allim mengisahkan, suatu saat Khalifah Harun Ar-Rasyid mengirimkan putranya kepada Imam Al-Ashma’i, salah satu ulama besar yang menguasai bahasa Arab untuk belajar ilmu dan adab. Di sebuah kesempatan Harun Ar-Rasyid menyaksikan Al-Ashma’i sedang berwudhu dan membasuh kakinya, sedangkan putra Harun Ar-Rasyid menuangkan air untuk sang guru.
Setelah menyaksikan peristiwa itu, Harun Ar-Rasyid pun menegur Al-Ashma’i atas tindakannya itu, “Sesungguhnya aku mengirimkan anakku kepadamu agar engkau mengajarinya ilmu dan adab. Mengapa engkau tidak memerintahkannya untuk menuangkan air dengan salah satu tangannya lalu membasuh kakimu dengan tangannya yang lain?”
Putra Ar-Rasyid, Al-Amin dan Al-Makmun pernah berebut sepasang sandal Syekh Al-kisa’i. Keduanya berlomba untuk memasangkan sandal syekhnya itu di kakinya, sehingga mengundang kekaguman sang guru. Syekhnya lalu berucap, “Sudah, masing-masing pegang satu-satu saja.” Ketika dewasa, Khalifah Al-Makmun juga berusaha untuk menumbuhkan sifat tawadhu kepada para putranya. Ibnu Khalikan dalam Wafayat Al-A’yan telah mencatat peristiwa yang menunjukkan betapa Khalifah Al-Makmun berpayah-payah dalam berusaha agar putra-putranya kelak dewasa dengan sifat mulia ini.
Sikap menghormati, memuliakan, dan melayani ahli ilmu saat ini sudah semakin memudar. Teori-teori pendidikan modern menyepelekan nilai-nilai positif di atas. Teori yang lahir hanya bagaimana cara menyerap ilmu, menelannya, masuk ke otak hingga membuat cepat mengerti. Sedikit pun tidak disinggung bagaimana sikap terhadap orang yang lebih tua dan sikap terhadap guru.
Pendidikan yang tidak menekankan adab dan sopan santun hanya akan mentransfer ilmu sampai ke otak saja. Ilmu itu tidak akan sampai ke hati. Ilmunya sebatas teori tanpa praktik. Alhasil, nantinya lahir insan-insan yang cuma pandai beretorika, tapi miskin aplikasi. Cerdas berdiplomasi, cerdas pula mempermalukan orang lain. Hal ini karena penekanan pada perubahan akhlak, lebih-lebih hormat kepada orang lain, terutama ahli ilmu sudah tidak dianggap prioritas lagi dalam pendidikan.
Pendidikan yang menekankan pelayanan, penghormatan, dan kepatuhan pada guru (ahli ilmu) melahirkan hubungan antarpersonal yang sangat erat. Keterikatan emosional dan spiritual antara murid dan guru akan terus terjalin meski sang murid tidak lagi duduk belajar di hadapan sang guru. Bahkan, hingga sang guru meninggal pun hubungan timbal balik itu akan selalu dikenang dan tak akan terlupakan begitu saja. Kesannya akan terus membekas hingga kapan pun.
sumber: Republika Online